Persoalan Ulayat di Lembata dan Cara Kita Menyelesaikannya
![]() |
Manusia terbuat dari tanah (ilustrasi AI) |
RakatNtt - Saya baru saja melihat postinga pada beberapa akun facebook terkait persoalan ulayat yang menimpah dua warga adat di Desa Wailolong (weilolon) dan Dikesare (Lewolein). Sampai saat ini saya belum mengetahui akar masalah yang menimbulkan gejolak ini terjadi. Namun, kalau kita membaca sejarah lokal khusus di Kedang, kontroversi ulayat mulai menguasai warga adat Kedang sejak proyek pertambangan mulai masuk ke bumi Uyelewun dan hadirnya aturan negara dalam rupa prona atau PTSL.
Dalam ulasan ini, saya menggunakan nama Kedang karena tak bisa dibantah, kampung Lewolein secara adat masuk dalam wilayah Kedang. Dengan demikian, dalam sebuah spanduk menggunakan nama Kedang untuk seolah-olah melawan orang Dikesare adalah sesuatu yang salah. Ini bukan menyelesaikan persoalan secara arif melainkan narasi profokatif.
Dalam sebuah catatan, Barnes mengutip Gomang yang menulis tentang nama Lewolein di Munaseli, Pantar, yang kemudian sebagian warganya bermigrasi ke kampung Lewolein Desa Dikesare Lembata. Barnes menduga, nama Lewolein di Lembata dibawa oleh warga yang bermigrasi dari Munaseli. Di Munaseli memang ada dua kampung - saya pernah ke sana - ada kampung Helangdohi yang disebut sebagai kampung kepala letaknya di puncak bukit dan ada kampung Munaseli yang letaknya di pesisir disebut sebagai kampung kaki atau Lewolein.
Para leluhur Lembata ada sebagai manusia pengembara. Mereka mewariskan kisah sejarah yang tidak sama. Namun, pada suatu saat tertentu, mereka melahirkan budaya atau tatanan yang mengatur keharmonisan manusia, salah satunya mereka mewariskan tentang hukum-hukum tanah. Kalau kita omong ulayat dalam kearifan lokal Kedang sudah tentu berbeda dengan definisi yang dibuat negara. Ulayat kearifan Lokal Kedang tidak berkaitan dengan hak milik material melainkan spiritual.
Misalnya salah satu suku bisa memiliki hak ulayat yang sangat besar tetapi tidak berarti semua tanah itu menjadi kebun suku tersebut. Suku-suku lain - baca marga - bisa membuka kebun di atas ulayat suku lain tanpa meminta izin. Sebab walaupun suku tersebut punya ulayat luas tetapi jika anggota sukunya kurang tidak mungkin mereka menggarap seluruhnya tanah itu. Dengan demikian, siapa yang lebih dulu mengolah, maka otomatis kebun itu miliknya.
Namun, masalahnya seringkali orang yang membuka kebun tidak mau mengakui ulayat suku tersebut dengan rupa-rupa alasan. Justru inilah yang melahirkan masalah. Para pemegang ulayat, saya ibaratkan sebagai penjaga kesakralan tanah. Karena itu, suku pemilik ulayat juga mesti tahu diri dan tahu tugas bukan mengganggu orang yang membuka kebun.
Tugas suci pemilik ulayat misalnya tikam tanah jika ada kematian, letak batu pertama jika ada pembangunan dan makan wutu’ ale (bagian tertentu dari daging kurban ritus sebagai orang yang bertanggung jawab penuh). Namun, dua tugas pertama sudah jarang dilakukan lagi oleh pemilik ulayat. Cara pandang kekinian yang lebih instan cenderung menghilangkan kesucian dan kekayaan kearifan lokal tentang ulayat Kedang.
Masalah-masalah
Mengapa ulayat yang sakral kini menjadi masalah? Siapa yang salah? Kita memulai dengan melihat apa itu ulayat Kedang. Terminologi untuk menyebut ulayat dalam kearifan lokal Kedang pun masih diperdebatkan. Namun, secara umum orang sering menggunakan nama Uhe awu’ atau uhe ara. Dua istilah ini jika kita terjemahkan berarti lapisan tanah terdalam.
Namun, dalam sebuah catatan, Eman Ubuq menulis sebutan ulayat yang tepat di Kedang adalah duli uhe. Hal ini bukan berkaitan dengan lapisan tanah terdalam tetapi penguasaan tanah oleh leluhur setiap suku di Kedang berdasarkan sejarah migrasi atau dorong dopeq.
Persoalan terminologi ini kemudian bisa ditemukan benang merahnya dengan dua ungkapan ini yakni Uhe rian ara bara’ dan uhe utun ara eho’. Uhe rian ara bara’ mencakup lapisan tanah terdalam yang merupakan milik komunal orang Kedang yang tidak diperoleh berdasarkan sejarah migrasi. Ia ada sebagaimana adanya. Sedangkan uhe utun ara eho’ bisa merujuk pada penyebutan duli uhe atau tanah yang diperoleh berdasarkan sejarah migrasi.
Jadi terminologinya berbeda tetapi substansinya sama. Berikutnya adalah soal kesakralan tanah ulayat Kedang. Baik uhe rian ara bara’ maupun uhe utun ara eho’ memiliki nama sakral. Uhe rian ara bara’ hanya memiiki satu nama sedangkan uhe utun ara eho’ yang merujuk pada duli uhe punya banyak nama dan dimiliki oleh masing-masing marga atau suku. Artinya, ulayat di Kedang melekat dengan nama suku bukan nama kampung.
Dengan demikian, persoalan ulayat antara warga Desa Dikesare dan Wailolong mesti mempertemukan dua suku bukan dua Desa. Hal ini perlu dipahami dulu. Nama-nama sakral ulayat ini sering disebut saat molan atau imam adat membuat ritus. Jadi ulayat di Kedang sebenarnya sudah sangat jelas, tidak bisa diputar ke atas ke bawah, kecuali oleh orang yang tidak punya dasar pengetahuan jelas. Nama-nama sakral ini biasanya diambil dari nama moyang dari suku bersangkutan (biasanya moyang yang sudah punah keturunannya).
Kehadiran Negara
Masalah lain adalah intervensi negara baik dalam bentuk proyek tambang maupun PTSL. Sekitar tahun 2007/2008, kita tahu sebuah sejarah besar di Kedang. Sesama warga Kedang berdebat tentang ulayat gara-gara ada proyek tambang. Jadi, negara berambisi tanpa memahami lebih dulu hukum adat tentang tanah. Hal lainnya adalah PTSL yang kehadirannya juga turut membenturkan warga, termasuk di kampung saya.
Artinya, pada konteks PTSL ini, negara punya tujuan mulia tetapi tentu seringkali tidak sesuai dengan harapan warga adat tertentu, maka perlu didudukan secara arif bukan berkompetisi siapa kalah dan menang, apalagi mendatangkan banyak penonton perempuan sebagai petugas tepuk tangan atau profokator.
Masalah lainnya datang dari warga adat sendiri. Misalnya tidak tahu jaga mulut, masalah sedikit tepuk dada klaim sebagai pemilik ulayat, padahal tidak mampu bertanggung jawab dengan ucapannya. Saya juga menemukan masalah lain yakni saling klaim ulayat ini masih ada dalam kampung-kampung. Namun, ketika masalah timbul, Pemerintah Desa sulit menyelesaikannya sampai final. Masalah digantung begitu saja dan dibiarkan sebagai persoalan yang tidak selesai. Akibatnya, relasi sosial antar warga terganggu dan suatu saat nanti, generasi penerus saling sikut lagi karena ulayat.
Jadi negara melalui Pemda maupun Pemdes, kadang lalai dan barangkali melihat masalah ulayat bukan sebagai sesuatu yang penting. Ini pola pikir yang salah dan harus terus dikritik agar ada kesadaran dari pemerintah setempat.
Peran Pemuda Desa
Ketika Pemerintah setempat lalai, maka pemuda yang berpikir progresif bukan konservatif mesti bersuara. Baku ajak untuk terus mendesak pemerintah mencari jalan keluar bukan malah ikut-ikut saja dengan kubu masing-masing. Hasilnya, pemuda pun menjadi konservatif tanpa arah. Pemuda mesti punya kemampuan meragukan setiap versi tutur yang ia dengar agar proses menemukan cerita yang paling benar bisa dimungkinkan.
Kecenderungan kita adalah ikut saja apa yang dikatakan tetua kita tanpa mencari tahu lebih dalam. Karena itu, kehadiran pemuda mesti menjadi simbol untuk melakukan perubahan dan perbaikan dalam konteks persoalan ulayat di Desa maupun antar-Desa.
Lembaga Adat dan Pemda
Persoalan ulayat bukan barang baru. Menurut saya yang bisa menyelesaikan persoalan ini hanyalah warga adat sendiri. Namun, tak kalah penting kita butuh Lembaga Adat Desa dan Pemda melalui Dinas Kebudayaan. LAD mesti mengidentifikasi masalah tanah yang berkaitan dengan ulayat di Desa lalu mencari jalan keluar arif untuk bersama-sama menyelsaikannya. Misalnya, LAD mengatur atau mengihidupkan kembali sistim Kale’ mata lalu disahkan secara adat.
Selain itu, Dinas Kebudayaan tak boleh diam. Persoalan ini lebih penting daripada festival Lamaholot maupun Uyelewun Raya. Dinas mesti menelusuri sumber-sumber konflik ulayat sebelum bom waktu meledak dan melahirkan masalah yang lebih serius. Apalagi ulayat berkaitan dengan tanah dan petani. Karena itu, Bupati Tuaq mesti mengajak rekan kerjanya untuk selesaikan barang ini.
Cara Menyelesaikan
Ulayat itu sakral. Artinya, susungguhnya ulayat tidak bermasalah jika warga adat mau bicara jujur. Salah satu akar persoalan ulayat adat adalah suka memanipulasi kebenaran atau tidak jujur demi kepentingan diri. Orang bahkan masih berpikir bahwa gelar sebagai pemilik ulayat itu seolah-olah sangat istimewa melebihi gelar Presiden - apakah setiap bulan pemilik ulayat dapat gaji? Artinya, persoalan ulayat ada dalam otak kita yang tidak beres.
Kearifan lokal sudah mengatur secara sakral tak boleh dilanggar atau dipermainkan. Namun, hari ini fakta problematis. Bahkan anak muda yang pulang kuliah dan tidak mendalami kearifan lokal omong sangat enteng bahwa ulayat adat itu tidak ada. Sombong sekali!
Untuk menyelesaikan persoalan ulayat di Kedang. Pertama kita harus tahu prinsip bahwa ulayat itu punya nama dan batas. Jika kita tidak tahu nama sakral ulayat dan batas-batasnya, maka jangan suka klaim sembarangan. Sebab saya menemukan ada orang mengklaim sebagai pemilik tapi ketika disuruh menjelaskan, ia sama sekali tidak tahu. Lalu kenapa anda klaim? Inikah tipe warga adat yang jujur?
Ketika dua suku tetap saling klaim, maka Pemerintah menyediakan ruang tengah dan meminta mereka menguji sejarah proses mendapatkannya, menuturkan batas-batas dan nama sakral ulayat. Namun, tak ada hasil akhir, maka dalam aturan adat, kita juga punya jalan penyelesaian paling akhir yakni sumpah makan tanah (pahi awu’) sebab kebenaran dalam kearifan lokal bersifat fundamental.
Nah, bagaimana dengan orang Wailolong dan Dikesare? Suku apa saja yang bermasalah soal ulayat? Apakah dua suku ini punya nama sakral ulayat dan batas-batas (ang ba’a ular doro) yang akurat dan jelas? Silahkan diuji dalam nuansa bersaudara. Pemilik ulayat tidak dapat gaji tiap bulan jadi jangan terlalu sensitif. Ubah pola pikir kita! Ulayat soal harga diri dan kebenaran juga soal mewariskan kekayaan budaya kita. Jika ada selisih paham, maka duduk bersama, bukan pamer-pamer spanduk bernuansa profokatif.
Bupati juga jangan titi jagung terus. Lihat persoalan ini secara serius. Selesaikan sampai habis jangan seperti di kampung saya, hehee.
Post a Comment for " Persoalan Ulayat di Lembata dan Cara Kita Menyelesaikannya "
Komentar