Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Ulayat Adat di Kedang antara Mengakui atau Tidak Mengakui

Jangan bertengkar karena tanah rumah kita bersama, ia ibu kita



RakatNtt Pikiran Terakhir Saya tentang Ulayat Adat di Kedang antara Mengakui atau Tidak Mengakui. Pikiran sederhana ini saya tulis sebagai sumbangan untuk memberi jalan tengah bukan mencoreng atau mencoret sebuah tatanan yang kita sebut dalam bahasa Indonesia sebagai ulayat. Saya bukan seorang ahli hukum sehingga saya tidak omong ulayat dari kacamata hukum positif atau kacamata orang yang tinggal di kota. Namun, saya dapat sedikit referensi bahwa negara mengakui hukum adat yang dimiliki oleh masyarakat adat.

Dengan demikian, negara tahu diri bahwa ia baru lahir. Sedangkan hukum adat sudah ada. Hal lainnya tentu juga bahwa setiap daerah punya konteks masing-masing untuk memahami ulayat dalam versi lokal termasuk kami di Kedang, Lembata, NTT.

Sebagai anak muda Kedang, saya punya prinsip bahwa yang namanya sebuah tatanan adat itu sudah diatur dan sah. Makanya saya bilang huru-hara tentang ulayat di Kedang itu akarnya ada dalam otak kita yang tidak beres. Tentu dipengaruhi oleh beragam faktor mulai dari gengsi tanpa pengetahuan lengkap, pendidikan tanpa membaca konteks, politik yang serakah dan masih banyak lagi.

Faktor-faktor ini kemudian membenturkan satu teori dengan teori lain dan akhirnya masyarakat adat yang paham adat pun menjadi terpengaruh. Maka lahir pula apa yang kita sebut mengakui ulayat atau tidak mengakui ulayat.

Menghadapi problematika ini, menurut saya ulayat itu kebenarannya bersifat fundamental. Kalau kita orang adat kita percaya filosofi muar, muar ruang, kehe, kehe ruang. Artinya, tatanan sah ulayat tidak bisa diubah atas kepentingan parsial tertentu. Saya sepakat dengan tulisan Eman Ubuq bahwa kontroversi ulayat ini mulai lahir dan memuncak sejak proyek tambang masuk Kedang, mulai di Atenila dan yang terbaru di Wei Puhe dan sekitarnya di Buyasuri pada sekitar tahun 2007/2008.

Namun, kalau kita gali jauh sebelum tambang masuk Kedang, kontroversi ulayat juga pernah diperdebatkan dan diperjuangkan secara kolektif agar tak boleh satu orang menjadi pemilik seluruh tanah Kedang. Namun, referensi yang patut kita refleksikan ini masih berkutat pada cerita lisan, kita  belum punya upaya serius untuk menulis secara menyeluruh. Padahal dinamika setiap periode di tanah Kedang punya cerita  masing-masing. Kita berhak tahu itu tanpa perlu sembunyikan. Masa lalu punya cerita sendiri. Kita harus berjiwa besar mengungkap dan merefleksikan untuk kebaikan bersama.

Dari beberapa kisah ini, sudah saya katakan bahwa persoalan ulayat dalam versi lokal Kedang itu akar masalahnya ada di otak kita yang penuh dengan kepentingan. Sekarang orang mulai bangun  argumentasi untuk akui dan tidak akui sebagai sebuah pilihan. Argumentasi ini bersifat politis sebab sejatinya ulayat itu fundamental; ia tidak butuh pengakuan sebab setiap hari kita hidup di atas tanah ulayat kita. Satu suku misalnya sebagai pemilik ulayat - entah disebut uhe wala atau duli wala - tidak berarti ia berkuasa atas ulayat itu secara penuh. Tugasnya hanya berkaitan dengan nilai-nilai spiritual atau aspek sermonial ritus. Tidak lebih dari itu! 

Jika demikian, mengapa hari ini orang ribut gadu tentang ulayat? Jawaban yang pasti selain proyek tambang, semua ini akarnya adalah kepentingan politik, ekonomi dan pendidikan yang terlampau tekstual tanpa memahami konteks. Orang pergi sekolah lalu pulang bawa teori dari kota lalu seenaknya omong ulayat dalam kaca mata lokal itu tidak ada tanpa diam dan merefleksikan untuk menemukan konteksnya.

Namun, jika kita disuruh memilih antara mengakui atau tidak, jawabannya kembali kepada diri kita masing-masing sebagai masyarakat adat Kedang. Jangan sampai kita klaim diri sebagai masyarakat adat jika ada kepentingan untuk diri, lalu orang lain punya kita mulai sengaja hilangkan.

Untuk menemukan sedikit benang merah atau solusi dari alternatif mengakui atau tidak, menurut saya kembali pada diri kita. Kalau mau mengakui silahkan, kalau tidak mau mengakui silahkan. Catatannya adalah, jika kita tidak mau mengakui maka jangan mengklaim sebagai pemilik. Sebab ketika kita tidak mengakui orang punya tetapi mengklaim diri sebagai pemilik ulayat maka akan ada benturan. Justru di situ, kita butuh jalan tengah yakni duduk menguji ulang tentang kontroversi ulayat agar menemukan titik yang paling benar. Jangan sampai kita mengklaim tapi sama sekali tidak tahu tentang sejarah perolehan ulayat dan nama sakralnya, ini lucu dan sangat disayangkan.

Dalam setiap ritus adat di Kedang, nama-nama sakral ulayat itu sudah pasti disebut oleh molan, jadi kita boleh tidak mengakui di atas kertas atau di depan publik tapi saat buat ritus kita mengakui ada nama sakral ulayat bersangkutan. Artinya, kita sedang berbohong atas sebuah warisan sakral yang sangat kaya dalam budaya lokal kita.

Karena itu, supaya aman, jika kita tidak saling mengakui, maka solusinya adalah setiap kita harus jaga mulut, jangan cerewet tak tahu diri. Hidup tenang-tenang sebagai saudara, jangan pancing-pancing duluan tentang ulayat. Jika ada kematian, maka silahkan tikam tanah masing-masing, jangan ganggu orang. Sebab risikonya ditanggung sendiri. Soal tikam tanah ini, di bebarapa tempat saya amati berbeda-beda. Ada yang ditikam oleh uhe wala/duli wala, tapi ada pula oleh pemilik lahan. Silahkan saja supaya kita hidup damai dan aman. Ada istilah Kedang bahwa tuan uhe nore til nore mato, nuo nape nena tibang toye’.

Jika kita tahu mengungkapkan kata-kata sakral saat tikam tanah, silahkan saja. Namun, masih ragu-ragu dan hanya untuk angkat nama suku dan cari viral, maka pikir baik-baik. Hal lainnya, di setiap kampung, selain ada suku yang punya tuan huna (kampung lama) ada juga suku yang baru datang karena faktor kekeluargaan. Nah, suku yang datang karena faktor kekeluargaan ini juga sering menjadi rebutan suku-suku yang punya tuan huna di kampung. Karena itu, suku yang diistilahkan sebagai adan ola ka pai’ min perlu hati-hati mengambil keputusan. Jika keputusanmu salah, maka akan lahir konflik.

Sakralnya Ulayat Kedang

Ssebagai seorang anak muda Kedang, saya sangat percaya tentang sakralnya ulayat di Kedang, terlepas dari kontrovesi terminologi yang juga sangat penting. Ulayat itu sakral karena pemberian nama tanah ulayat diambil dari nama-nama leluhur, nama manusia sehingga ia hidup, punya mata dan telinga. Ulayat juga sakral karena diperoleh atas perjuangan leluhur (migrasi/dorong dope’).

Yang lebih dulu dapat tanah dan tinggal menetap sudah pasti ia menjadi pemilik pertama; ia menyiapkan tempat bagi keturunannya maupun keturunan lain yang baru datang yang juga adalah saudaranya sendiri. 

Ibarat seorang tuan rumah menyiapkan rumah untuk kita tinggal bersama, lalu karena kita ego, kita mulai sengaja hilangkan nama tuan rumah, ini juga keliru karena kita sedang main bohong-bohongan pada sesuatu yang seharusnya kita jaga  dan rawat bersama sebagai kekayaan budaya kita.

Sakralnya ulayat Kedang bukan saja berkaitan dengan ritus atau hal-hal spiritual melainkan konsekuensi nyata yang akan menimpah orang yang suka memanipuasi ulayat. Saya katakan ini karena saya punya pengalaman pribadi, melihat langsung dengan mata dan kepala saya sendiri.

Dari pengalaman inilah, saya dengan penuh percaya diri mengatakan ulayat itu sakral, jangan main gila dengan ulayat hanya untuk cari nama viral menjelang Pemilu. Orang punya ya orang punya. Ada tugas yang harus mereka jaga. Jangan manipulasi kalau kita tidak punya dasar dan pengetahuan yang lengkap.

Dari tulisan ini, bagaimana dengan Anda mau mengakui atau tidak mau? Bisa juga anda memilih lebih baik diam dan tenang atau tutup mulut saja jangan cari gara-gara dengan ulayat kalau anda tidak tahu. Namun, jika anda tahu, katakanlah dengan jujur agar identitas budaya dan kearifan lokal kita yang kaya raya tetap kita jaga. Pohon beringin yang rindang karena ditopang oleh akar yang kuat.

Post a Comment for "Ulayat Adat di Kedang antara Mengakui atau Tidak Mengakui"