Duli Wala dan Uhe Wala dalam Keyakinan Orang Kedang yang Dipolitisasi
RakatNtt - Sampai saat ini, kepala saya masih “sakit”,
otak saya masih penasaran setelah membaca ulsan Eman Ubuq – yang saya anggap
sangat penting untuk kita semua sebagai orang Kedang baca dan dalami bersama. Secara
fenomenologis, tak bisa kita bantah, saling klaim sebagai pemilik tanah adat
hampir kita temukan di setiap kampung di Kedang tercinta.
Sampai saat ini, mayoritas warga Kedang memparalelkan penyebutan Uhe Ara niku niwang dengan tanah ulayat. Namun, kita harus bertanya, apa pendasarannya? Tulisan Eman Ubuq menurut saya harus kita baca bersama karena walaupun singkat tapi masuk akal dan menurut saya sebuah ulasan yang jujur.
Eman menjelaskan sesungguhnya penyebutan ulayat dalam budaya Kedang merujuk pada sebutan Duli Pali Uhe Ara bukan uhe ara niku niwang – setelah membaca ulasan itu, saya harus katakan bahwa saya sepakat. Artinya, konflik saling klaim tentang tanah ulayat di Kedang bukan kesalahan atau dosa masyarakat adat kita, melainkan akarnya adalah muatan politik yang mulai beredar sejak tahun 1980-an melalui proyek tambang sebagaimana ulasan Eman Ubuq – sangat masuk akal!
Eman menegaskan berdasarkan penelusurannya bahwa Uhe ara niku niwang yang bernama kipa kire’ wahin sara dst adalah milik
bersama semua orang dan amat sakral dan abstrak. Hal ini kemudian saya dalami
lebih lanjut ketika mengikuti setiap ritus adat dan memang para molan sudah
pasti akan menyebut nama uhe tersebut lebih dulu.
Setelah itu baru mereka menyebut nama sakral (duli pali) tempat dilangsungkannya ritus tersebut. Dari segi bahasa Kedang sangat gampang kita definisikan bahwa uhe ara itu lapisan terdalam dan sudah pasti tidak bisa dijangkau. Dengan demikian, kita harus mulai buka mata dan hati untuk baca ulang sebutan uhe ara niku niwang sebagai milik bersama bukan milik satu suku.
Duli Pali Uhe Ara
Eman Ubuq membantu kita dengan menjelaskan bahwa ulayat
dalam bahasa Kedang merujuk pada duli
pali uhe ara – pemiliknya disebut duli
wala (bukan uhe wala). Proses mendapatkannya sudah jelas sejak zaman
nomaden atau dorong dope’. Dengan demikian,
menurut saya kita mesti melihat ulang lagi sebutan ruten uhe repe’ ara, bisa jadi yang seharusnya adalah ruten duli repe’ pali.
Tugas-tugas duli wala juga hanya sebatas seremonial adat, ka wutu’ ale dst (menurut saya harus dipertahankan sebagai identitas masyarakat adat). Namun, kalau kita jelih melihat, ada orang-orang tertentu sengaja mengklaim diri sebagai pemilik ulayat untuk kepentingan proyek tambang yang kini mulai dihembuskan lagi.
Merujuk pada tulisan Eman, maka sebenarnya duli wala (pemilik ulayat) tidak berhak menyerahkan duli pali sebagai lokasi tambang sebab duli pali adalah hamparan tanah bagian atas untuk berkebun dan berkehidupan lainnya. Sedangkan proyek tambang akan berkaitan dengan uhe ara niku niwang yang jauh di dasar bumi Kedang; yang merupakan milik bersama orang Kedang. Karena itu, sebagai edukasi dan antisipasi, kita harus satukan pikiran bahwa uhe ara adalah milik bersama kita bukan milik penggila proyek tambang.
Bagaimana dengan Konflik Uhe di Kedang?
Saya mengulas ini karena sejak kecil saya dihantui dengan
konflik klaim uhe ara sampai melihat
langsung ritus hitam pahi awu’. Hal ini
membuat saya terus bertanya tentang cara orang Kedang melihat kebenaran tanah
adat di setiap kampung. Selain itu, kampung saya juga sering dilanda konflik
tentang uhe ara.
Bahkan bukan baru kali ini, tahun 1962 – sedang saya garap dalam sebuah buku kecil saya, semoga jadi – pernah diadakan perundingan yang kini disebut boq uhe atau bagi uhe oleh beberapa suku. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan di kampung saya Hobamatan yang jumlah penduduknya padat ini selalu tak ada kata sepakat kalau omong tentang uhe ara – sehingga pernah diadakan ritus hitam.
Karena itu, saya berani ulas tulisan ini untuk sama-sama
kita buka mata. Pertama, kita mesti kembali melihat terminologi yang benar
antara uhe ara niku niwang dan duli pali
uhe ara. Saya sepakat dengan hasil temuan Eman Ubuq bahwa sesungguhnya
kepemilikan tanah adat di setiap kampung
merujuk pada sebutan duli pali uhe ara
(duli wala) bukan uhe ara niku niwang
(uhe wala).
Kedua, kita juga mesti tahu bahwa setiap hanparan duli pali diperoleh ribuan tahun lalu bukan baru kemarin. Dengan demikian, duli pali bersifat mutlak dan fundamental. Namun, mengapa hari ini, kita sering konflik? Yang jelas, jawabannya adalah kepentingan politik proyek tambang 1980-an sampai 2007/2008.
Ketiga, untuk mengetahui persoalan tanah adat Kedang di
setiap kampung, kita harus jujur katakan sejarah pengklaiman tanah sejak
1950-an sampai 1960-an. Sejarah seperti ini tak boleh dirahasiakan apalagi dengan
alasan kearifan lokal dan keharmonisan.
Justru keharmonisan dan kearifan lokal itu menuntut kita berkata jujur. Artinya, sejak awal mula, pemahaman yang keliru sudah terjadi oleh para leluhur kita. Jadi bukan baru 1980-an tapi sudah sejak 1950-an. Namun, dampak yang lebih menyata adalah akibat dari proyek tambang; penguasa dan pengusaha bersatu memanipulasi keluhuran tanah Kedang.
Keempat, merujuk pada tulisan Eman Ubuq juga kisah kecil
di kampung halamanku tahun 1962, maka pertanyaannya; siapa yang salah? Sudah tentu
kita tidak bisa mempersalahkan leluhur kita, sebab doktrinasi yang mengubah duli wala menjadi uhe wala dilakukan oleh
kekuatan eksternal.
Artinya ada paksaan, ada feodalisme. Karena itu, doktrinasi inilah yang harus kita robek dan makan sama-sama, hehe.
Ketika kita bisa berdiskusi membaca ulang penyebutan uhe wala dan duli wala, saya yakin, tak akan ada konflik lagi. Sebab duli pali maupun uhe ara itu fundamental. Tidak perlu juga kita bernarasi mengakui atau tidak mengakui karena justru narasi itulah yang menegaskan ada muatan politik di dalamnya. Ketika kita sudah mengetahui akar persoalan awal mula, disitulah kita bisa langsung tahu kebenaran duli pali uhe ara atau duli wala.
Contoh, misalnya di kampung saya pada tahun 1962, ada perundingan sepihak untuk boq uhe (yang seharusnya boq duli) hingga kini masih dianggap sebagai versi yang paling benar oleh beberapa suku. Sedangkan suku lain yang sangat berkaitan dengan nama sakral dari duli pali (Tuan wo’ menjadi tuan duli) tersebut justru dianggap tidak punya hak – akar masalah ini sangat kompleks. Ini juga perlu dibuka supaya kita tahu akar persoalan yang berakibat sampai hari ini, kita selalu saja konflik, konflik dan konflik terus hahaha.
Saya kira pembahasan tentang ini, harus terus kita
diskusikan, generasi muda, tetua suku (kita minta mereka untuk jujur-saya yakin
mereka tahu soal ini) juga Pemerintah Desa dan seterusnya.
Post a Comment for "Duli Wala dan Uhe Wala dalam Keyakinan Orang Kedang yang Dipolitisasi"
Komentar