Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Pertanyaan Kritis dari Boleng tentang Tradisi Buku Telu di Kedang

 

Generasi muda bertanggung jawab terhadap budayanya


RakatNtt - Tradisi dari kata latin yakni tradere atau sesuatu yang bertahan terus. Artinya, tradisi itu dianggap baik. Ia bertahan terus-menerus sehingga tradisi menjadi budaya masyarakat tertentu. Walaupun demikian, harus kita pahami bahwa budaya bukan sesuatu yang kaku, tidak bisa dikritik atau diubah. Sifat dasar budaya adalah dinamis, tidak tetap dan berkelanjutan. Artinya, budaya bisa diubah jika manusia sebagai pemilik  budaya menghendakinya.

Nah, hari ini muncul konten dari ade Boleng, seorang perempuan pesisir Kedang yang memberikan pertanyaan kritis tentang tradisi Buku Telu di Kedang bagian pedalaman yang masih dipraktikkan hingga saat ini. Boleng tidak menghina atau memaksa untuk mengubah buku telu. Boleng memberikan pertanyaan reflektif yang sangat kritis. Misalnya, ia menghubungkan tradisi buku telu dan hoaq dengan kekuatan ekonomi orang Kedang. Apakah tradisi ini tidak membebankan ekonomi keluarga?

Beberapa pertanyaan yang seharusnya membantu kita untuk melihat tradisi secara kritis justru ditampar oleh beberapa pembuat konten lainnya yang rata-rata perempuan muda. Mereka  malah memberikan komenar yang jauh dari pertanyaan Boleng.

Kita semestinya mengapresiasi Boleng karena sebagai anak muda, ia berani mengganggu kemapanan budaya yang sebenarnya bisa berdampak pada ekonomi masyarakat. Walaupun belum ada riset mendalam tentang tradisi buku telu dan ekonomi warga, tapi beberapa mama tua di Kedang pernah mengeluh soal tradisi ini. Ada yang bilang isi buku telu harganya sekitar 140 ribu. Jika satu minggu ada tiga kali pesta maka hitung sudah.

Bahkan sadar atau tidak di Kedang tradisi buku telu ini berlangsung hampir setiap hari. Ada yang satu hari bisa tiga kali pesta. Tentu ini membebankan ekomoni kita.

 Namun, kita masih mempertahankan tradisi dengan berargumentasi bahwa ini budaya. Apa itu budaya yang kita pahami? Budaya itu berkelanjutan. Artinya, anak-anak muda bertanggung jawab terhadap budaya salah satunya dengan memberikan pertanyaan terhadap budayanya sendiri. Sedangkan orangtua hanya bertugas menuntun bukan memaksa. Ketika ada pertanyaan seperti Boleng, maka sebenarnya ada harapan untuk berbenah; kita tidak bisa bertahan dengan konsep besar atas nama budaya. 

Kalau kita tanya pada orang-orang kita, mereka cenderung beralasan buku telu adalah tradisi pohing ling holo wali dan gengsi. Namun, di balik itu ada hal yang bermasalah. Saya sendiri belum tahu sejak kapan budaya buku teu ini lahir. Namun, bisa diperkirakan tradisi ini baru lahir sebab dulu orang tidak mengenal buku telu.

Melalui pertanyaan ade Boleng, kita bertanya, apakah tradisi ini layak kita pertahankan hanya atas nama gengsi dan konsep budaya yang bersifat abstrak? Ataukah sudah saatnya kita jujur mengakui bahwa kita mau mengubah tradisi ini bukan menghilangkannya? Kalau demikian, saya mengusulkan agar kita mulai diskusikan tradisi ini di dalam Desa masing-masing. Kita undang kaum perempuan sebagai narasumber karena mereka lebih tahu soal buku telu.

Jika ada rekomendasi, maka serahkan kepada pihak Kecamatan untuk memfasilitasi seminar budaya tentang Buku telu. Dulu, ada seminar Meluwiting tentang belis, mengapa seminar Buku telu tidak bisa? Kita diskusikan dengan pertanyaan; apakah Buku telu bisa kita ubah atau sederhanakan?

Post a Comment for "Pertanyaan Kritis dari Boleng tentang Tradisi Buku Telu di Kedang "