Redefinisi Uyelewun Raya, dari Desain Politik Menuju Strategi Budaya
RakatNtt - Banyak orang menilai bahwa bapak politik identitas di Lembata adalah alm. Yance Sunur, khususnya saat membentuk komunitas Uyelewun Raya. Padahal, jika kita runut lebih ke belakang, politik identitas dimaksud sudah ada sebelumnya. Suku Kedang pada masa sebelum Yance Sunur dilihat sebagai “yang kecil” dalam politik, makanya ada istilah Kedang bodoh bayang wato dan Sampai kucing bertanduk orang kedang tidak akan jadi Bupati – secara simbolik juga kita bisa melihat melalui istilah Lewo Tana yang meredam Leu Awu’.
Dua istilah sarkas yang merupakan tekanan dahsyat eksternal ini coba dihalau, dilawan oleh kehadiran sosok Jhon Lake dalam dua kali Pilkada tetapi gagal. Moralitas politik orang Kedang kemudian perlahan-lahan diperbaiki oleh Yance Sunur ketika menjabat menjadi Bupati Lembata 2 periode yang penuh dengan dinamika itu. Menjelang Pemilu periode kedua, Yance Sunur membentuk komunitas yang bernama Uyelewun Raya bahkan demi komunitas ini, ia alpa dalam debat kandidat (Fredi Wahon dkk).
Kehadiran komunitas UR yang lahir di kota Lewoleba ini tampil gagah dengan narasi-narasi budaya. Walaupun demikian, narasi budaya dan aktivitas festival UR adalah fenomena atau yang tampak tetapi yang tak tampak adalah ide politik di baliknya. Yance Sunur mampu membaca psikologi masyarakat Kedang yang masih memilih budaya sebagai jalan untuk mencapai kekuasaan. Hal ini ia lakukan dengan sangat berani; melakukan festival UR, tarian peluk gunung dan lain sebagainya. Walaupun Yance bergerak dengan kekuatan budaya, setelah berkuasa, metodologi pembangunan dilakukan bertolak dari prinsip-prinsip budaya lokal. Sebut saja kasus Awololong, lokasi reklamasi di Balauring dan semangatnya membangun tempat wisata di Pahengwa’.
Ia berperang menggunakan senjata masyarakat adat yang bernama budaya tetapi kemenangannya tak selalu membawa damai untuk masyaraka adat. Pada kasus di Balauring misalnya, masyarakat adat Dolu harus bersusah payah melawan kekuatan raksasa Pemda – bahkan lahir pula narasi diskriminatif terhadap warga Dolu berseliweran di Medsos – di lokasi wisata Paheng Wa’, dua kubu masyarakat adat bahkan berpotensi bentrok dan juga yang lebih parah adalah Awololong yang merugikan Daerah dan oknum tertentu harus masuk “hotel mewah.” Juga kita bisa melihat ada bangunan yang mubazir dan menjadi tempat nyaman bagi kambing-kambing. Tentu ada banyak hal positip yang ia lakukan – anda bisa cari sendiri.
Dari sejarah UR dan kekuasaan Yance Sunur khususnya pada periode kedua, terlihat cukup jelas bahwa jalan kekuasaan melalui budaya cenderung manipulatif. Orang yang setiap hari hidup di kota bisa tiba-tiba menjadi orang kampung demi merebut hati warga adat. Setelah Yance pergi, datanglah Kanis Tuaq yang menjadi Bupati Lembata kini. Ia bersama Nasir mengusung narasi NTT dan berhasil meraih suara terbanyak di Kedang.
Perjuangan Kanis Tuaq untuk duduk di kursi kekuasaan pun dilakukan mirip-mirip dengan Bupati sebelumnya. Kita bisa lihat tatkala Tunas mengadakan kampanye politik di Kalikur; ditandu saat memasuki ruang sakral yang kita sebut sebagai Leu Puhe Alang Aya’. Tempat di bawah pohon besar ini telah tertanam kuat batu-batu sakral sebagai simbol persatuan 44 kampung di Kedang di bawah kendali Sarabiti Musa.
Nama besar ruang sakral ini kemudian diprofankan untuk lokasi kampanye – saya tidak persoalkan aspek geografis. Artinya, ruang yang dianggap sakral dalam balutan sejarah dan budaya direduksi menjadi milik satu orang yakni Kanis Tuaq. Bahwa benar tempat strategis secara geografis di Kalikur, Leu Puhe menjadi paling tepat untuk kampanye tetapi kita bisa periksa pada narasi-narasi yang digunakan. Seolah-olah dengan menggunakan nama besar kekuasaan masa lalu dan simbol persatuan 44 kampung, psikologi mayoritas masyarakat Kedang pun akan terpengaruh dengan kehadiran Kanis Tuaq.
Strategi ini terlihat jitu dan cantik. Namun, tanpa disadari, ruang sakral masyarakat 44 kampung di Kedang telah direduksi menjadi milik pribadi tokoh-tokoh tertentu. Bukan hanya Kanis Tuaq, hampir setiap pasangan Kandidat pada Pilkada terbaru menggunakan narasi-narasi identitas budaya. Lukas Witak misalnya saat kampanye di Leuhapu, Desa Mahal 2 menggunakan narasi hubungan sayin bayan Kedang dan Ileape. Artinya, di Lembata ini, kandidat yang berpeluang menang tidak dilihat dari kemampuan bernarasi yang diuji coba saat debat melainkan ia yang bisa omong bahasa daerah, bisa makan sirih pinang dan bisa pukul gong gendang.
Apakah Politik Identitas Salah?
Tentu tidak salah sebab sampai saat ini tak ada larangan jelas soal politik identitas yang melahirkan pemimpin populis – pura-pura sederhana, angkat nama budaya mayoritas atau agama supaya dipilih mayoritas. Semuanya adalah strategi para politisi untuk meraih kemenangan. Masalahnya adalah jalan politik identitas akan membuat masyarakat tidak bisa berpikir kritis dan tajam. Masyarakat tidak bisa mengukur kandidat dari asek-aspek tertentu misalnya – meminjam Rocky Gerung – etikabilitas dan intelektualitas. Yang ada hanyalah viralitas. Ini adalah problem kita di Lembata. Yang ada hanyalah budaya dipaksa, dirampas oleh kaum feodal yakni politisi.
Akibat lanjutnya yakni terjadi kompetisi budaya, etnis, agama dan seterusnya dan biasanya nama suku Tionghoa selalu disudutkan di Medsos. Namun, faktanya menarik, Yance Sunur menang dua periode dan Jimi Sunur runner up. Sudah tentu Yance dengan strategi UR dan Jimi Sunur dengan kemampuan personal, sosial maupun nama besar Partai Politik. Lalu bagaimana dengan Kanis Tuaq? Sejauh ini kita belum disuguhkan informasi-informasi politik Tunas yang bersifat progresif sesuai narasi NTT. Prof. Bagus Putra Muljadi mengatakan, narasi besar harus dipertanggungjawabkan. Misalnya ketika China bernarasi sebagai pusat dunia, mereka bertanggung jawab dengan kereta cepatnya, demikianpun Rusia dll. Sementara Indonesia masih ambigu narasi besarnya. Dalam skala Lembata, narasi seperti Uyelewun Raya maupun NTT mesti dipertanggungjawabkan.
Spirit Budaya
Dari penjelasan-penjelasan sederhana di atas, satu hal yang dimungkinkan dari gaya politik identitas adalah spirit budaya untuk politik. Budaya bersifat berkelanjutan, dinamis. Artinya, aktivitas politik yang merusak keberlanjutan harus dilawan misalnya KKN. Bupati Tuaq akhir-akhir ini ditampar oleh isu Nepotisme yang ramai di Medsos. Jika ini fakta, maka Tunas yang ditandu memasuki ruang sakral yang diprofankan di Desa Kalikur hanyalah bayang-bayang kejayaan. Sebab faktanya, terbalik. Spirit budaya yang bertiup dari Timur Lembata diiringi bunyi gong gendang harus betul-betul menubuh dalam gerakkan politik Tunas. Sederhanya adalah mewujudkan harapan politik NTT secara adil dan merata.
Bagaimana dengan mayoritas petani peladang di mata Tunas? Ketika jagung titi dipromosikan tetapi Bupati Tuaq turun ke Desa-desa membagikan jagung hibrida maka sedang terjadi paradoks atau berpikir salah dan bertindak bengkok, menabrak budaya. Dengan demikian, seharusnya setiap politisi yang berkompetisi dengan mengusung nama besar budaya tertentu harus paham makna budaya sebagai kekuatan budi dan daya atau akal.
Harus mampu membuat refleksi atas kemampuan pribadi bukan karena dipaksa Partai Politik untuk maju padahal anda sadar bahwa anda tidak mampu – jadi boneka pemilik proyek. Budaya membentuk kemampuan kolektif sebagaimana politik. Maka memetik spirit dari budaya untuk menghidupkan api politik adalah keharusan.
Menuju Strategi Budaya
Kita coba meredefinisikan kembali istilah Uyelewun Raya dalam konteks orang Kedang. Dari dunia politik kita bawa pulang ke dalam rumah budaya yang jujur. Narasi besar UR harus kita pertanggungjawabakan bukan untuk kepentingan politik walaupun fakta terjadi benturan tetapi sebagai strategi budaya. Maksud saya UR yang sudah terkenal coba dimodifikasi kembali bukan dalam bentuk festival atau pesta rakyat Kedang melainkan sebagai referensi untuk melihat persoalan-persoalan terbaru. Sebut saja tawuran antar-remaja, hilangnya pangan lokal jagung dalam pesta-pesta di Kedang, seminar budaya tentang belis dan seterusnya.
Saya
pikir bahwa dengan redefinisi semacam ini, budaya bisa hadir sebagai referensi
untuk melihat jati diri dan persoalan-persoalan orang Kedang. Namun, jika
dibiarkan untuk dirampas oleh para politisi yang tidak hidup dan bergerak dalam
budaya sejak awal akan menjadi bahaya dan bersifat feodalistik. Masyarakat akan
dibutahurufkan dengan bunyi gong gendang dan makan sirih pinang, selebihnya
kolong pohong.

Post a Comment for "Redefinisi Uyelewun Raya, dari Desain Politik Menuju Strategi Budaya "
Komentar