Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Tawuran Remaja di Kedang dan Penyelesaian Secara Adat-Surat untuk para Kades

 

Ate di'en Edang


 

RakatNtt - Teman-teman muda Kedang yang baik, ade-ade remaja, saya menulis ini bukan untuk kepentingan pragmatis FB pro – walaupun satu sisi memang demikian – melainkan saya mau mengemukakan sebuah harapan yang lahir dari keresahan saya secara pribadi. Mengapa sampai tahun 2025 tawuran antar-remaja di Kedang masih terus terjadi? Apa akar masalahnya? Apa upaya solutif yang mesti dilakukan?

Beberapa pertanyaan penuntun ini coba kita sama-sama renungkan dan cari benang merahnya. Pada zaman dulu, pertandingan bola kaki di Kedang tidak dilihat dari seni permainan tetapi dari seberapa kuat menendang bola, apalagi jika bolanya langsung pecah di ujung sepatu sang libero. Pasti nama pemain bola tersebut akan diceritakan dimana-mana sebagai the best player. Namun, ketika zaman berubah, manusia pun turut berubah di dalamnya. Demikian pepatah latin.

Permainan bola kaki yang mengandalkan kekuatan fisik tanpa seni permainan telah berubah. Orang mengagumi Real Madrid bukan semata karena Ronaldo punya tubuh kekar melainkan karena ia tampil dengan indah dan menghibur mata penonton. Bukan karena Ronaldo mampu menendang bola sampai pecah melainkan mampu merobek gawang lawan setelah melalui permainan yang indah. Artinya, istilah bola boleh lewat tapi manusia tak boleh lewat sudah usang.

Hal yang sama coba kita komparasikan dalam fenomena yang sering terjadi yakni tawuran remaja di Kedang yang masih menjadi maslah rutin. Orang terlibat tawuran bukan saja karena motif balas dendam atau mabuk melainkan untuk mengangkat nama kampung – anda boleh bantah pernyataan ini. Artinya, orang pukul saudaranya supaya nama kampungnya disegani. Misalnya remaja dari kampung A akan terlibat tawuran dengan motivasi supaya orang lain mengangkat nama kampung A sebagai markas orang-orang jago baku pukul. Dengan demikian, orang lain pasti segan dengan anak-anak muda di kampung A.

Cara pandang seperti ini sadar atau tidak, pernah ada dan justru sebagai pendorong semangat tawuran. Ada semacam kesadaran palsu bahwa nama kampung terangkat berkat pemudanya terlibat baku pukul. Padahal cara pandang seperti ini sangat keliru. Motif lainnya yang tentu kita ketahui bersama adalah soal dendam lama. Dari dendam ini kemudian dalam kondisi mabuk, maka lahir pula tawuran-baku pukul-kroyok-bahkan sering orang yang jadi korban merupakan korban dari salah sasaran.

Mereka yang tidak punya masalah justru dipukul karena satu kampung dengan pelaku yang menjadi musuh dari pelaku di kampung yang lain. Itulah kira-kira beberapa hal yang mesti kita pahami bersama bahwa di balik sebuah aksi ada potensi. Di balik tawuran, ada alasan. Justru itulah yang harus kita selesaikan lebih dulu sebelum menghadap om-om Polisi di Balauring maupun di Buyasuri.

Solusi Adat

Teman-teman, sebagai satu etnis, kita sudah diwariskan tentang proses-proses menyelesaikan masalah sosial, termasuk konflik fisik. Kalau kita membaca fenomena ini, terlihat jelas bahwa konflik antar-remaja merupakan bagian dari koflik sesama saudara. Terlebih konflik ini sering lahir dari kampung-kampung yang bertetangga. 

Kita mungkin bangga dengan nama Kedang ketika memasuki hajatan politik, ketika kita bergabung dalam organisasi mahasiswa misalnya MAWU Kupang dst tetapi di kampung, ade-ade kita masih bangga dengan yang namanya tawuran dan dilihat sebagai bentuk dari prestasi.

Artinya, kita boleh bersatu seagai orang asing di luar Kedang tetapi di dalam Kedang kita konflik. Apakah kita menyadari ini? Konflik-konflik sesama saudara bukan terjadi hari ini, fakta ini sudah ada dalam perjalanan orang Kedang di masa lampau. 

Maka mengetahui masa lampau untuk melihat masa kini adalah hal yang wajar sekali dan harus. Kita menyadari bahwa konflik sesama saudara akan melahirkan trauma dan dendam. Secara alam bawah sadar dendam itu mengendap dan akan muncul pada waktu tertentu.

Dari ulasan ini kita coba bertanya solusinya apa? Yang sering kita lihat selama ini, setiap konflik remaja hampir tidak pernah ada solusi, kecuali menghadap om polisi; dipenjara beberapa tahun, lalu setelah bebas, baku pukul lagi. Artinya, solusinya bukan saja di kantor polisi melainkan di kantor adat. Di mana kantor adat? Ya, ada di Desa.

Dengan demikian, maka para Kades se-Kedang mesti memahami bahwa solusi secara adat sangat penting dan sakral. Kades yang anak-anaknya terlibat konflik coba membangun komunikasi dengan Lembaga Adat Desa untuk menjembatani konflik semacam ini. Sebab di Lembaa ini, orang akan lebih takut dan taat pada adat bukan pada yang lain. Di mulut kita boleh omong bahwa adat-khusus ritus itu berhala tapi hati terdalam kita sedang berbohong.

Kita mendorong ada kesadaran untuk kembali ke rumah budaya, kembali pada ajaran leluhur tentang ritus adat untuk mendamaikan dua kubu yang sering terlibat konflik ini. Sebab melalui ritus kita percaya leluhur pun merestui. Ritus adat adalah jembatan untuk saling berdamai dan ada harapan untuk bertumbuh lebih baik. Ritus adalah doa yang paling jujur. 

Ritus dimaksud misalnya bela kame atau sayin bayan. Sering kita salah menafsir bahwa yang namana sayin bayan hanya berlaku pada kehidupan leluhur masa lampau, padahal ritus ini adalah tradisi yang mestinya terus dipertahankan, salah satunya sebagai jalan damai.

Ruang Kreatif di Desa 

Selain itu, kita mesti memberikan kesempatan kepada para remaja untuk berekspresi pada ruang kreatif di Desa. Mereka tidak boleh hanya  dilibatkan saat kerja bakti atau panitia pesta Tahun Baru tetapi ada ruang kreatif lain misalnya diskusi bersama di akhir pekan, membentuk komunitas literasi dan lain-lain. Dalam ruang kreatif semacam ini, mereka akan dengan sendirinya memahami diri mereka termasuk mengetahui masalah yang sedang mereka hadapi.

Kepala Desa diharapkan untuk merangkul mereka dan bersama-sama menciptakan ruang keratif di Desa. Coba lihat Desa Wowong, terpencil di selatan tetapi sering dikunjungi karena ada potensi kreatif, tak ada tawuran di sana. Kita bisa belajar pada Desa-desa yang tenang tetapi terus maju dalam hal yang positif bukan sibuk tawuran.

Yang terakhir, peran keluarga dalam suku juga menjadi yang penting. A tutu’ tin tehe’ bukan sekadar konsep pengetahuan melainakn mesti menjadi pedoman atau metodologi lokal untuk salah satunya membaca fenomena konflik antar-remaja ini.

Hanya dengan membangun relasi yang baik dengan manusia lain, kita bisa mewujudkan identitas kita, bukn saja menjadi ate di'en (Orang baik) melainkan ate di'en herun (Orang yang paling baik).

 

Post a Comment for "Tawuran Remaja di Kedang dan Penyelesaian Secara Adat-Surat untuk para Kades"