Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Konsep Wujud Tertinggi Menurut Orang Kedang di Lembata

Oleh  Rian Odel
Ritual poan kemer;
 nama Nimon Rian diagungkan pada momen ini

Suku Bangsa Kedang

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa suku bangsa Lamaholot meliputi wilayah Flores Timur dan Lembata tetapi jika diteliti secara akurat, di Lembata terdapat dua suku yang berbeda yaitu Lamaholot dan Kedang

Perbedaan yang paling mencolok adalah mother language[1]. Orang Lamaholot (Flores Timur dan sebagian Lembata) menggunakan bahasa Lamaholot sedangkan orang Kedang (bagian timur Lembata) menggunakan bahasa Kedang.

Menurut penuturan lisan – bernuansa mitos – leluhur orang Kedang berasal dari gunung Uyolewun atau dilahirkan oleh tanah (awu’ buan). Dari Leluhur yang mereka sebut Uyolewun inilah, kemudian beranak pinak menjadi orang Kedang yang mendiami Kecamatan Omesuri dan Buyasuri, Kabupaten Lembata. 

Asal-usul nama Kedang sampai saat ini masih bervariasi versi; ada yang mengatakan, Kedang berasal dari Nama pohon Edang yang menurut cerita adalah sebuah pohon kehidupan yang menjadi “kompas” kehidupan orang Kedang. 

Lazimnya, dalam tuturan lisan, pohon tersebut dikaitkan dengan sumber kekayaan, daunnya menjadi sarung, tangkainya menjadi gading, bunganya menjadi permata (laong). Ada juga yang mengaitkannya dengan nama istri dari Uyolewun yaitu Edang Eor, makanya sebagai kenangan akan kedua leluhur tersebut, nama gunung di Kedang disebut Uyolewun dan istrinya disematkan pada nama suku Kedang secara umum atau tanah Kedang. 

Nama asli suku Kedang adalah Edang (atedi’en Edang – orang baik dari Edang) tetapi pengaruh tuturan dari luar makanya sekarang disebut Kedang.

Wujud Tertinggi 

Orang Kedang di Kabupaten Lembata, NTT sudah memiliki konsep wujud tertinggi secara tradisional sebelum kehadiran ajaran Islam maupun Kristen. Bukan hanya dalam budaya Kedang, melainkan juga konsep budaya lain seperti Alor dan lamaholot selalu mengafirmasi adanya wujud tertinggi. 

Namun, jika ditelusuri secara hati-hati, konsep Wujud Tertinggi dalam budaya kedang memiliki suatu keunikan yang memberi warna berbeda dengan budaya lain di sekitarnya. Selain mengakui ada satu wujud yang paling tinggi, orang kedang (Edang) juga mengakui kehadiran kekuatan alam atau dewa dan roh-roh.

Dalam keyakinan orang Kedang, Wujud Tertinggi disebut Amo Laha Wula Loyo-Ino Weli Tuan Tanah – Bapa pencipta bulan-matahari dan Ibu perkasa yang menjadi Tuan atas bumi. Namun, wujud tertinggi dalam konsep orang Kedang memiliki banyak gelar atau sebutan bervariasi. 

Selain sebutan seperti di atas, Wujud tertinggi juga disebut Amo Nimon Rian Arin bara’ (Bapa yang menjadi sumber segala kehidupan), Hura’ nimon harang wala (Dia yang menciptakan segala sesuatu; Tuan dari segala tuan; pemilik utama), Hura’ atedi’en harang manusia (Dia menciptakan manusia), Hura’ weri harang wana (Dia menciptakan kiri maupun kanan - Pencipta segalanya). 

Dia juga bisa disebut sebagai Amo laha tala[2] (Bapa pencipta selangkangan manusia atau menjadi sumber kelahiran baru). Bukan hanya itu, Dia juga disebut Lia Nimon Loyo Wala – Pemilik bintang dan Tuan atas matahari. 

Dalam kehidupan setiap hari, nama Nimon Rian atau Amo Laha Wula Loyo-Ino Weli Tuan Tanah jarang dipakai karena ada keyakian metafisis bahwa Dia adalah wujud yang paling tinggi maka hanya bisa dicapai melalui perantara yaitu para leluhur – semacam  ada tingkatan sebelum mencapai Tuan Besar yang tertinggi. 

Nama Nimon Rian hanya bisa disebut secara formal pada saat-saat tertentu misalnya seremonial adat atau Poan Kemer. Sebutan pembuka pada saat seremoni Poan Kemer biasanya berbunyi demikian, Amo Laha Wula Loyo – Bapa pencipta bulan dan matahari (dua kali berturut-turut), kemudian Ino Weli Tuan Tana – ibu pemilik tanah (dua kali berturut-turut). 

Sebelum menyebut nama Nimon Rian, orang Kedang terlebih dahulu memanggil para leluhur untuk hadir bersama memuji Tuhan. Artinya, ada keyakinan bahwa para leluhur dianggap sebagai perantara[3]. Sebutan metafisis tersebut, memberi gambaran bahwa hanya ada satu wujud tertinggi yang menciptakan bulan dan matahari tetapi memiliki banyak gelar kebesaran dan punya makna berbeda-beda.

Dalam budaya kedang, bulan dan matahari adalah dua macam dewa yang selalu bermusuhan tetapi tak dapat dipisahkan. Artinya, menurut orang Kedang, bulan dan matahari hadir sebagai dewa pada tingkatan di bawah kuasa Nimon Rian

Erns Vatter menegaskan bahwa di Lomblen, mereka menemukan adanya perlawanan dari kalangan tertentu bahwa Lera Wulan “matahari-bulan” hanya dianggap sebagai dewa dan dua nama tersebut bisa membahayakan konsep Tuhan yang monoteistis[4]

Penegasan tersebut, paralel dengan konsep wujud tertinggi dalam budaya Kedang. Biasanya, orang Kedang menyebut Wula Loyo-Leu Awu’ (Bulan Matahari-Kampung dan tanah) untuk menegaskan kuasa Tuhan di langit dan bumi. 

Namun, perlu dibedakan sebutan itu sesuai konteks penyebutan. Mereka juga sering menyebut ote wula loyo buya’-ole ero awu’ miteng (di atas bulan matahari yang paling putih cahayanya dan di bawah lapisan tanah terdalam yang paling hitam). 

Mereka percaya bahwa ada Wujud Tertinggi yang menguasai Bulan dan matahari atau dewa jahat dan baik. Kekuatan baik dan jahat semuanya ada di bawah kendali Yang maha Tinggi – Amo Nimon Rian; Amo Laha Wula Loyo; Amo Laha Tala; Lia Nimon Loyo Wala hanya merujuk pada satu wujud Tertinggi.

Dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa leluhur orang Kedang adalah manusia yang sangat religius karena sudah membangun relasi dengan Tuhan. Sebelum kehadiran ajaran Kristen dan Islam, orang Kedang sudah memiliki konsep tersendiri tentang Tuhan. 

Hal ini bisa kita temukan dalam berbagai macam sastra dan nyanyian rakyat daerah Kedang. Mereka membangun relasi dengan Tuhan Melalui ritual-ritual sakral yang mana pada kesempatan tersebut, mereka menyatukan diri dengan leluhur dan alam semesta untuk sama-sama memuji Tuhan.

Meskipun Tuhan dalam budaya Kedang memiliki banyak penyebutan atau gelar tetapi pada hakikatnya Tuhan Hanya satu-Yang maha esa. Hal ini tergambar jelas dalam sebutan Nimon Rian Arin Bara’: Tuan dari segala tuan atau Dia adalah satu-satunya pemilik tertinggi yang menguasai semuanya; tuan yang lain adalah pemilik sekunder. Banyaknya gelar menandakan bahwa Tuhan sungguh besar dan patut dipuji dengan berbagai macam nama kebesaran.

 

                                                 

 



[1] Raymundus Rede Blolong, Dasar-Dasar Antropologi. Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Ende: Penerbit Nusa Indah, 2012), hlm. 72.

[2] Menurut Ernst Vatter, penyebutan Lahatala atau Latala sebagai gelar wujud tertinggi menurut orang-orang di kepualauan Solor dan Alor, kemungkinan besar diadopsi dari penyebutan Allah oleh orang Islam yaitu Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Lahatala, Latala, atau Alatala menurut dia, belum memiliki definisi dan asal-usul kata yang jelas, bdk. Ernst Vatter, Ata Kiwan, Penerj. NY. S. D. Sjah (Ende: Penerbit Nusa Indah, 2015), hlm. 162. Namun, menurut saya, penyebutan Amo Lahatala dalam budaya Kedang sudah memiliki definisi yang kokoh sesuai bahasa Kedang yaitu Bapa Pencipta rahim manusia. Amo (Bapa atau sebutan untuk laki-laki yang terhormat), Laha (membuat atau menciptakan), tala (selangkangan manusia atau rahim).

[3] Charles Nyamiti, seorang Teolog Tanzania yang banyak meneliti kepercayaan tradisional orang Afrika menyebut lima peran utama para Leluhur, salah satunya yaitu sebagai perantara manusia dengan Wujud Tertinggi, lihat Alex Jebadu, Bukan Berhala, Penghormatan kepada Roh Orang Meninggal (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm. 140.

[4] Ernst Vatter, op.cit., hlm. 164.


(W)ula Loyo, Leu Awu’ 

Orang Lamaholot menyebut Lera wulan, Tana Ekan; orang kedang menyebut Wula Loyo Leu Awu’. Ada perbedaan; selain bahasa dan konsep wujud tertinggi juga urutan penyebutan. Orang Lamaholot menyebut Lera (matahari) mendahului Wulan (bulan) sedangkan orang Kedang menyebut Wula (bulan) mendahului Loyo (matahari). 

Orang kedang menyebut Ula Loyo Leu Awu’ murni sebagai dewa/ kekuatan alam yang rendah dan berperan sebagai perantara manusia dengan Tuhan. Indikasinya jelas bahwa, wula loyo leu awu’ dalam konsep orang Kedang bukan sebagai pencipta melainkan hanya membantu manusia, misalnya pemberi terang, dewa kesuburan dan yang paling umum dipahami ialah sebagai guru bagi para dukun (dewa memberi kharisma khusus kepada manusia untuk menjadi dukun adat yaitu dewa Lia yang terbit pada pagi hari/dewa api); sedangkan Nimon Rian adalah pencipta segalanya baik dewa maupun manusia. 

Wula loyo leu awu’ selain berperan membantu manusia tetapi juga akan menghukum manusia jika ada kesalahan. Mengapa? Sesuai mitos Wula dan Loyo tidak pernah berdamai sehingga menjatuhkan anak mereka ke bumi (leu awu’). Anak matahari menjadi istri dari manusia dan melahirkan kehidupan baru (arti positif) tetapi anak dari Bulan menjelma binatang liar seperti ular, kadal, nyamuk yang menjadi simbol kejahatan yang mengganggu manusia. 

Artinya, hal yang baik (matahari/peni mu’u lolon dan para bintang cahaya dan kesuburan) maupun buruk dari bulan (ular dll) telah diberikan kepada leu awu’ (bumi/manusia).  Jadi dalam diri wula loyo leu awu’ terdapat sisi baik dan buruk tergantung reaksi dari manusia. Artinya sangat jelas bahwa Tuhan diyakini sebagai pencipta yang maha baik sedangkan dewa adalah wujud yang tidak sempurna – dalam arti memiliki kebaikan tetapi juga ada kemurkaan. Nimon Rian dalam budaya Kedang selalu dipuji dalam relevansinya dengan penciptaan.

Kekuatan-Kekuatan Lain
Selain Nimon Rian dan para dewa, orang kedang juga percaya akan kekuatan roh-roh khususnya yang berpotensi menghancurkan kehidupan manusia. Yang paling dikenal yaitu,  (1) nitung natang wa’ laleng: kekuatan jahat yang hidup di dalam batu-batu raksasa. Tugasnya yaitu mengelabui mata manusia sehingga tersesat entah ke tengah hutan rimba atau ke daerah-daerah berbahaya seperti bukit dan gunung. 

Keyakinan seperti ini dipercaya secara metafisis jika ada manusia yang tersesat atau hilang; pasti disebut pengaruh dari nitung natang wa’ laleng. (2) kuba’ ser : kekuatan alam yang menyerang daya tahan tubuh manusia sehingga mengakibatkan manusia jatuh sakit. (3) ma’ molan : kekuatan yang dipakai oleh orang-orang yang lazim disebut sebagai suanggi. (4) Neda hari: kekuatan dari laut atau mata air; bisa dalam wujud ular atau bahkan menjelma wanita cantik yang menggoda lelaki.

Orang kedang juga percaya akan kekuatan roh-roh nenek moyang (tuan wo’) maupun kekuatan alam yang membantu manusia. Nenek moyang selalu diyakini sebagai roh yang melindungi manusia atau memperingatkan manusia jika melakukan kesalahan (Bdk. Jebadu, Bukan Berhala, 2009). 

Nenek moyang bisa hadir melalui mimpi, baloding maupun ada dalam wujud cicak (tuan) dan kupu-kupu yang berukuran besar yang secara mendadak masuk ke dalam rumah. Orang tua melarang anak-anaknya untuk mengusir kupu-kupu atau cicak. Selain itu, kekuatan yang membantu manusia khususnya ketika berada dalam situasi nonkondusif yaitu, mi’er renga, re’en derung. Kekuatan ini dimiliki oleh masing-masing suku di kedang; wujudnya pun berbeda-beda. 

Mi’er renga akan dipanggil oleh anggota suku tertentu jika suku tersebut berada dalam bahaya perang misalnya. Wujud mi’er renga misalnya berupa ular naga, burung rajawali, anjing, kalajengking, kaki seribu dan bentuk lainnya. Wujud tersebut tidak muncul sembarangan tetapi hanya menampakkan diri ketika diundang melalui seremoni adat sebelum berperang. 

Jadi misalnya, suku A berperang melawan suku B, maka mereka akan mengandalkan atau juga mengadu kekuatan mi’er renga masing-masing. Namun, bukan berarti mi’er renga hadir dalam wujud sesungguhnya; mereka hadir dalam diri anggota suku bersangkutan yang sedang berperang.

Penutup
Semua penjelasan – terlepas dari Nimon Rian sebagai pencipta – ini menggambarkan bahwa wula loyo Leu awu’ sebagai dewa langit dan bumi selalu hadir dalam kehidupan orang kedang. Selain menyumbang hal yang positif, wula loyo leu awu’ juga menghadirkan kemurkaan atau ada potensi kekuatan negatif yang menguji manusia. 

Misalnya, ular, kadal dan seterusnya yang merupakan simbol kekuatan jahat adalah titipan dewa bulan dan wanita kehidupan (peni mu’u lolon) adalah titipan dewa matahari sebagai simbol kebaikan, kehidupan, kesuburan dan sebagainya serta terang kehidupan hadir dalam bentuk cahaya matahari maupun para bintang langit. 

Leu awu’ (bumi) yang di atasnya terdapat manusia menerima sumbangan dewa langit untuk melancarkan aktivitas kehidupan baik siang maupun malam. Jika manusia berbuat baik, wula loyo leu awu’ tidak akan menampilkan kemurkaan sehingga hipotesisnya ialah, dalam kehidupan manusia kedang kekuatan dewa selalu menjadi inspirasi untuk kebaikan tetapi juga sebagai kekuatan untuk menegur tingkah laku yang keliru dan akan bermuara kelak pada Amo Nimon Rian. 
Konsep teologis seperti ini tentu membutuhkan penafsiran yang lebih canggih dari pembaca yang budiman.

*Penulis Tinggal di Desa Takaplager, Kabupaten Sikka. Rindu menulis sesuatu yang berguna tentang suku bangsa Edang. Tulisan ini belum sempurna, semoga pembaca menyempurnakannya.







Post a Comment for "Konsep Wujud Tertinggi Menurut Orang Kedang di Lembata"