Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Tedu' Koda Bare Wade'

(Ritual Poan Koda, Arin dan Huna di Lembata)

Oleh Rian Odel

Molan Amo Hola Orolaleng-Pemimpin ritual

 Hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam budaya Kedang, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur selalu dimaknai melalui ritual-ritual adat dan didukung dengan partisipasi total para partisipan. Setiap orang yang hadir pada ritual yang dimaksud harus memberikan seluruh dirinya sebab tanpa totalitas diri akan terindikasi lewat ritual tersebut misalnya ada kendala dalam proses ritual. 

Orang Kedang di Kabupaten Lembata, NTT memiliki sebuah ritual khusus teramat sakral yang disebut Poan Koda. Dalam tulisan ini, penulis berusaha merangkum tiga macam ritual yaitu, Poan Koda, Poan Arin dan Poan Suku Huna dalam sebuah judul yaitu Tedu’ Koda Dorong Dope’.

Tutu’ Koda

Koda atau biasa disebut Koda Wade’ berarti cerita sejarah perjalanan sebuah suku atau klan di Kedang. Pada mulanya semua orang Kedang hanya memiliki sebuah Lapa’ Koda tetapi pada saat eksodus dari kampung lama pertama di puncak Gunung Uyelewun, mulai diputuskan agar masing-masing orang (nenek moyang) yang mengadakan perjalanan dan membentuk suku/klan mesti memiliki Koda khusus. 

Koda yang dimaksud berbentuk batu Lapa’ (Batu sakral) yang menjadi fondasi suku agar tetap berdiri kuat. Lapa’ secara harafiah berarti menopang atau melindungi; Koda berarti cerita perjalanan atau sejarah lisan. Sedangkan kata Wade’ secara harafiah berarti tali yang menjadi penghubung koda pertama atau koda pusat sampai pada koda terakhir tatkala masing-masing orang (nenek moyang) membentuk suku sendiri. 

Artinya, setiap orang yang membentuk suku harus menyiapkan Lapa’ Koda sebagai dasar berdirinya suku. Batu koda tersebut harus diresmikan melalui ritual Poan Koda dan disimpan tepat di bawah pohon rita sehingga disebut Ite Koda. Ritual Poan koda dilangsungkan pada pagi hari hingga berakhir sekitar sore hari ketika matahari kembali ke peraduan bahkan terkadang sampai malam hari. 

Yang hadir dalam ritual tersebut yaitu semua anggota suku bersangkutan dan biasanya kepala suku mengundang beberapa orang dari suku/klan lain sebagai saksi. Mereka yang diundang adalah orang khusus yang memiliki kemampuan untuk bersyair dalam proses ritual. Bukan hanya itu, melainkan juga karena ada hubungan sejarah perjalanan. Misalnya suku odel wala mengadakan peresmian koda, maka beberapa anggota dari suku orolaleng dan Leu Ape diundang untuk turut berpartisisipasi karena sejarah perjalanan ketiga suku tersebut selalu berdampingan. 

Ritual ini dipimpin oleh seorang Molan (dukun adat) besar yang telah bersumpah sebelum melaksanakan tugasnya. Sebelum ritual, molan bersama kepala suku dan rombongan molan dijemput dengan musik Kong bawa (gong gendang) dan tarian serta suguhan siri pinang oleh anggota suku bersangkutan. Mereka dijemput tepat pada pintu masuk kampung lama suku tersebut. Molan berjanji di hadapan Leluhur dan disaksikan oleh semua anggota suku serta alam semesta sebab ritual tersebut sangat sakral-jika ada ketidaktulusan dalam diri molan, pasti ada akibat destruktifnya termasuk yang paling parah yaitu meninggal dunia.




Koda Pitu Wade Leme

Singkatnya Koda Wade’ berarti batu yang menjadi dasar berdirinya suku sehingga sangat dilindungi dan diakui kesaktiannya. Jika batu tersebut dibalik, maka akan mendatangkan mala petaka bagi suku bersangkutan yaitu suku akan punah satu per satu. Dalam memulai ritual, molan menyebut nama Tuhan sebagai penguasa langit dan bumi dengan mulai bersyair, Amo Laha Wula Loyo-Ino Weli Tuan Tanah yang berarti Bapa pencipta bulan-matahari dan Ibu perkasa sebagai Tuan atas tanah atau bumi. Kemudian, nama Leluhur yang menjadi pencetus berdirinya suku dan semua anak cucunya yang telah meninggal atau Tuan wo’ baik yang mempunyai keturunan maupun yang sudah punah. 

Nama mereka harus disebut lengkap oleh kepala suku diikuti oleh molan. Satu per satu leluhur disebut dan kehadiran mereka disimbolkan dengan potongan-potongan kain putih sesuai jumlah semua leluhur yang dipanggil. Setelah itu, molan mulai melaksanakan ritual dengan segala potensi yang ia miliki termasuk berkata-kata tanpa putus. Dia menggunakan bahasa adat yang amat puitis dan menyentuh hati setiap orang yang menyaksikannya sehingga tidak mengherankan jika ada orang yang mengeluarkan air mata. 

Yang mendampingi molan yaitu kepala suku bersangkutan dan beberapa tetua suku baik suku bersangkutan maupun suku lain yang diundang khusus. Syair-syair indah yang mengalir dari mulut molan selalu diselingi dengan nyanyian baik oleh molan, kepala suku maupun semua partisipan. Molan menetukan dua orang sebagai penyanyi tunggal bergantian dan diikuti oleh molan serta semua partisipan. Syair yang dinyanyikan bersama berulang-ulang kali yaitu,

Leto Laba Lole’ Ote Dolulolo’, Dolulolo’ e..alang-alang aya’ e.. Dapat diterjemahan secara bebas demikian, Leto dan Laba (simbol ibu dan bapak suku) di atas batu koda-batu koda tersebut terletak di pusat suku. Setelah bernyanyi, musik gong gendang dibunyikan kurang lebih 30 detik dilanjutkan dengan solo oleh penyanyi pertama dengan bersyair,

Ulun Hura’ Belen-Leu dorong dope’-leu dorong dope’ sampe wade tene nebo’-tene nebo’ e-tene-tene nebo’ e. Langsung diselingi dengan musik kemudian kembali pada syair Leto laba Lole’ yang pertama seterunnya sampai pada penyanyi solo yang kedua. Dia bernyanyi demikian, Leu dorong dope’ a..,awu’ bare wade-tutu’ koda e...Leu bare wade-tutu’ koda e..e..bare o...bare wade’ e...

Syair yang dinyanyikan oleh kedua tetua dapat berarti demikian, Ulun Hura’- simbol moyang sebagai pencetus suku yang menghendakinya dan tanah menyaksikan perjalannnya sampai tempat terakhir sampannya berlabuh, kemudian kampung halaman menyuruh pergi dan tanah menjadi saksi panjangnya tali perjalanan dan pada akhirnya koda perjalanan selalu diceritakan kembali.  Syair berbeda-beda dinyanyikan berulang kali sampai belasan kali.



 Poan koda

Selanjutnya, molan mulai melakukan ritual poan koda dengan mengurbankan seekor babi jantan yang belum dikebiri dan juga beberapa ekor ayam. Ayam dalam konteks ritual ini menjadi petunjuk sah atau tidaknya ritual tersebut. 

Kaki ayam akan memberi petunjuk-mana yang benar dan mana yang salah sehingga molan dan partisipan bisa memahami makna terdalam dari ritual tersebut. Sebelum babi dikurbankan, molan memulainya dengan menyanyikan sebuah syair puitis agar babi tersebut tidak mengamuk, kemudian ia menikam sebuah belahan bambu tajam ke arah lubang hidung babi tersebut dan darah segar yang mengalir keluar ditumpahkan pada Lapa’ Koda dan batang pohon rita. 

Setelah itu, seekor anak ayam yang berumur sekitar seminggu dikurbankan sebagai pengganti hewan kerbau. Anak ayam tersebut menggambarkan bahwa nenek moyang pencetus suku ingin membagikan daging kerbau kepada semua anak cucunya. 

Setelah babi tersebut dikurbankan, molan bersama para pendamping beristirahat sejenak sambil menikmati makanan lokal yang disiapkan. Bukan hanya itu, moyang pencetus suku juga diberi makan khusus yaitu seekor ikan dan nasi yang terbuat dari jagung, sedangkan para partisipan lainnya bekerja di dapur untuk membantai lanjut seekor babi tersebut. 

Namun, perlu diketahui bahwa, babi tersebut tidak boleh diolah secara sembarangan sebab ada orang khusus yang dipercayakan. Beberapa bagian tubuh babi seperti kepala, dan ujung kaki juga ekor babi disimpan pada tempat khusus karena akan menjadi milik anak laki-laki dalam suku tersebut atau biasa disebut, wutu’ ale sebagai lambang rasa tannggung jawab.  Sedangkan bagian lainnya diisi dalam bambu untuk kemudian dikelolah lanjut menjadi makanan santapan besok harinya.

Setelah semuanya diatur secara baik, maka para partisipan mulai melakukan santap malam bersama dengan makanan seadanya sebab daging hewan kurban baru bisa dinikmati usai ritual besoknya. Lalu semua mereka beristirahat malam; molan dan para pendamping beristrahat mengelilingi batu kota dan ite koda sampai matahari terbit sedangkan yang lainnya mencari tempat sesuka hati, bisa di atas bale-bale maupun di bawah pepohonan yang ada disekitarnya. 

Bale-bale atau pondok sederhana disiapkan bagi kaum perempuan dan anak-anak kecil termasuk yang masih bayi. Dengan demikian, maka usai sudah peresmian batu koda: Koda pitu, wade leme, koda harang dope’, waden ene nebo’.



 

Poan Arin

Besoknya, dilanjutkan dengan ritual poan arin, maka anggota suku mesti bersepakat untuk menentukan satu lagi pohon rita yang letaknya tidak jauh dari ite koda. Pohon rita yang ditentukan akan menjadi sakral atau ite maren/ite arin milik leluhur pencetus suku. 

Ite arin diyakini sebagai jembatan penghubung manusia dengan Tuhan bahkan diyakini bahwa pohon tersebut adalah simbol kehadiran  leluhur pencetus suku bersangkutan. Pohon tersebut diakui akan menjadi sangat sakral dan sakti sehingga manusia dilarang untuk menebang atau mengupas kulitnya tanpa didahului dengan ritual bahkan bayangan manusiapun tidak boleh menyentuhnya. Pada kesempatan ini, seekor kambing jantan juga beberapa ekor ayam serta anak ayam pengganti kerbau juga menjadi hewan kurban. Sebelum ritual, molan sekali lagi mengundang kehadiran semua leluhur suku dan membuka ritual poan arin

Kepala suku akan menjawab semua pertanyaan dari molan misalnya segala macam pengalaman pahit yang menimpah suku agar molan melaporkan kepada Tuhan melalu perantaraan ite arin yang adalah simbol leluhur pencetus suku. Kepala suku juga akan memberitahukan nama mi’er renga milik suku. Mi’er renga berarti panglima perang suku bisa berwujut binatang atau juga manusia misterius, misalnya anjing, ular dll. Mi’er akan melindungi ite arin tersebut sehingga tidak sembarangan diganggu oleh manusia. 

Tepat di bawah pohon rita tersebut diletakkan tiga buah batu ceper juga ada busur dan anak panah sebagai simbol senjata milik moyang bersangkutan untuk melindungi dirinya, juga ada setandan pisang, sebuah parang adat dan barang-barang lain milik molan seperti kain putih juga hitan, ikan, sirih pinang, tuak putih yang nantinya akan disuguhkan kepada leluhur juga ada kulit padi. Semua itu dibutuhkan pada saat ritual berlangsung. Sebatang potongan bambu berukuran sekitar dua meter diletakan di samping molan dan diisi dengan tuak putih sehingga pada saat molan merasa haus, tuak akan dituangkan dari dalam bambu tersebut. 

Poan arin dimulai dengan mengurbankan seekor kambing dan darahnya dipercik pada batu dan pohon ite maren tersebut kemudian kepala suku menentukan adik bungsungnya untuk memenggal kambing tersebut. Setelah itu, diadakan poan arin dengan mengurbankan tiga ekor ayam sebagai petunjuk sah-tidaknya ritual tersebut. Jika sudah sah, maka molan akan menjelaskan kepada partisipan bahwa poan arin telah sukses karena mendapat restu dari Tuhan Leluhur dan alam semesta. 

Sebelum poan arin selesai, molan melakukan kura’ ite sebagai bukti peresmian dan juga di sini hendak dimaknai bahwa segala pengalaman buruk diserahkan kepada Tuhan dan harapan baik kiranya dikabulkan oleh Tuhan melalui perantaraan ite arin yang sudah disimbolisasi sebagai leluhur pencetus suku. Bahkan, biasanya ite arin sebagai jembatan ketika anggota suku ingin meminta keturunan atau kura’ ite dahu’ ta’ yang berarti bahwa nanah pohon rita sebagai lambang sperma dan buah kelapa sebagai lambang kesuburan perempuan. 

Kemudian molan bersama para pendamping beristirahat sejenak untuk menikmati tuak putih dan sirih pinang sebelum peresmian akhir ite arin. Peresmian ite arin ditandai dengan sebuah tarian yang dibawakan oleh kepala suku sebagai yang sulung. Dia menari membawa parang dan anak panah mengelilingi ite arin sebanyak tiga kali kemudian dijemput oleh adik bungsungnya untuk sama-sama menari menuju huna suku atau pusat kampung lama. Kepala suku dan adik bungsunya akan dijemput juga dengan tarian oleh seluruh anggota suku dari yang kecil sampai besar, muda sampai tua yang turut bergembira. Mereka menari sampai ke Huna suku. Syair indah sebagai bukti peresmian ite arin juga dinyanyikan sebagai berikut,

ite puhun mude lolon, ite olor aur ayang, howe’ ur tubar, peting name’ lein, onga’ latong aya’, honga’ lela’ lein, doke’ ite olor, bake’ aur ayang, teder kuna ua, iher dewa talu, mere’ kie’, howe’ manga, peting kie’, howe’ tarang, noye’ leu, leran awu’.

Syair panjang ini dapat dimaknai secara singkat bahwa usai peresmian ite arin, kiranya anggota suku dirahmati segala hal baik yang menjadi harapan baru dalam suku. “Berilah kami pohon rita yang lurus dan batang bambu yang masih muda.” Artinya, secara implisit mereka memohon kehidupan baru – arin berarti kehidupan tanpa putus – dan bambu yang masih muda sehingga bisa memunculkan tunas kehidupan baru yang subur. Juga secara implisit mereka memohon perlindungan dari Tuhan dan Leluhur yang disimbolkan lewat senjata anak panah.

Kepala suku menyerahkan Batu Koda kepada Molan

Poan Huna

Langkah terakhir dari seluruh ritual adalah poan huna yang berlokasi di pusat kampung lama. Di tempat ini molan melaporkan kepada semua leluhur suku bahwa mereka telah sukses menjalankan dua ritual sebelumnya yaitu poan koda dan arin

Selain itu, mereka juga meminta kepada semua leluhur suku untuk menerima keluh kesah mereka. Jawaban semua leluhur terindikasi lewat kaki dari tiga ekor ayam yang dikurbankan. Arah kaki ayam yang diharapkan ialah arah kiri, kanan dan lepas bebas. Kiri berarti leluhur merangkum semua harapan suku; kanan berarti semua ritual yang dilakukan benar adanya; lepas bebas berarti selesai.

Putu nute, hae’ toye’, putu wangun, hae’ lean, toye’ ipu, wangun bahe, toye’ ipu, nute pilang. Syair tersebut menjelaskan bahwa semua keluh kesah sudah diterima oleh leluhur dan semua masalah telah selesai sehingga anggota suku harus memulai hidup baru yang lebih baik.

Suku leu lalang awu’, suku siku pu’en, leu dola matan, huna lelang, lipu dahar, ai wowo, wa’ toye’, huna ai di’en, wato ai hali. Artinya, semoga segala rahmat yang baik diterima dalam rumah suku bersangkutan.  


Pada akhirnya gong gendang dibunyikan dan kepala suku mengundang molan bersama rombongan kembali mengelilingi ite koda untuk santapan terakhir secara bersama. Tempat santapan disebut apasau atau duduk makan di atas bentangan daun pisang lalu dua atau tiga orang melayani semua partisipan laki-laki untuk santap malam sedangkan perempuan tetap berada di dapur untuk menyantap makannya di sana. Selesai!

 

 

 

                    

 

                                       

 

 

 

7 comments for "Tedu' Koda Bare Wade'"

  1. Probiciat Rian Odel Wala, terima kasihbtelah menulis Ritual adat Kadang tentang POAN KEMER. Sangat baus sekali tulisan dan pemulihannkata-katanya sungguh sangat bermanfaat. Patut diberikan apresiasi ....salam hangat dari TOENG RIAN di Oka larantuka.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Trimakasih banyak ee..salam intuk semua di larantuka

      Rian odel wala

      Delete
  2. Uhu'~uhu' 'oha' tope', ehe'~ehe' 'oha' bahe...
    Makasih atas tulisanx Amo Rian Odelwala, semoga bermanfaat buat kita semua khususx generasi muda dlm "TUTU' 'UTUN PANANG ANA' sape 'UTUN KEU LAMEN TAWE. HILI NEMA RITI' TAWE, 'EBO NEMA REIGERE" krn selalu menuturkan sejarah yg benar tanpa tersisip ole kepentingan apapun...

    by KUDETA DATENNUTUR

    ReplyDelete
  3. Makasih Tulisannya. Sangat Bagus karena mungkin saat sekarang banyak murun orang Kedang yang mungkin tidak tau tentang tradisi yang ada.
    Kiranya ada kesempatan bisa dijadikan suatu Video sehingga lebih sampai ke kaum milenial masa kini yang suka nonton youtube.
    Akhirnya semoga Penulis Sehat selalu dan sukses dalam semua karyamu..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih banyak..ya sy masih latih buat video supya bisa ada versi youtube

      Delete