Proyek wei Lain: Berkah atau Kutuk?
BAK PENAMPUNG TUAK KELAPA
(Problematika Wei Lain di Kedang)
Oleh Rian Odel; orang Kedang,
Orang Kedang di Kabupaten Lembata sudah sejak berabad-abad yang silam mengandalkan air hujan demi menopang proses kehidupan mereka. Hampir di setiap rumah terdapat bak-bak air yang digunakan untuk menampung air hujan tatkala datang musim hujan. Mereka mengakui bahwa air hujan yang ditampung dapat bertahan selama kurang-lebih setahun jika proses pemakaiannya tidak boros. Menurut Kosmas Kopa’ (38), salah seorang warga Kedang, air hujan menjadi penopang utama dalam memenuhi kebutuhan mereka khususnya ketika memasuki musim kemarau. Akan menjadi sesuatu yang sulit jika masih ada orang Kedang yang belum memiliki bak air pribadi sebab jarak perumahan warga menuju mata air cukup jauh dan biasanya ditempuh dengan berjalan kaki. Syukurlah melalui dana desa, infrastruktur jalan menuju mata air bisa diperbaiki untuk mempermudah masyarakat mengambil air dengan menggunakan sepeda motor – jika kepala desa berhati bersih untuk membangun Desa. Namun demikian, tidak semua masyarakat Kedang memiliki sepeda motor pribadi sehingga bisnis ekonomi bisa dimainkan pada momen seperti ini.
Kurang-lebih sebulan, Mei sampai Juni 2019, penulis menikmati liburan di Kedang dan pengalaman yang penulis temukan yaitu informasi tentang persediaan air minum. Bukan menjadi hal baru bahwa orang Kedang setiap hari menggunakan air hujan sebagai minuman kehidupan tetapi yang mau dibahas yaitu tentang bisnis air minum yang pernah dijanjikan oleh Pemda Lembata terhadap orang Kedang di dua Kecamatan yaitu Omesuri dan Buyasuri.
Wei lain: Berkah atau Kutuk?
Para politisi yang telah dimeterai menjadi para pemimpin rakyat memiliki kharisma khusus yaitu ahli dalam hal berkata-kata atau orang Kedang bilang Tutu’ Rai Waran. Kekuatan kata-kata yang mereka lontarkan seolah-olah memberi sebuah kepastian dan melalui kekuatan itu, bisnis politik mereka secara instan bisa tercapai. Masyarakat kecil yang mendiami Kecamatan Omesuri dan Buyasuri adalah contoh paling nyata sebagai korban dari janji-janji luar biasa para politisi yang menyebut diri mereka sebagai Pemda Lembata dengan sopir utama Bupati Lembata. Sejak periode pertama kepemimpinan Bupati Yance Sunur, orang Kedang dirayu dengan sebuah janji yaitu optimalisasi Wei lain untuk kebutuhan primer mereka. Biaya yang dipakai untuk mengongkos pembangunan air tersebut yaitu kurang lebih 20 M ( Steph Tupeng Witin, Lembata Negri Kecil Salah Urus, 2016).
Sungguh dahsyat janji ala malaekat penghibur yang diproduksi oleh Pemda Lembata. Namun, fakta yang terjadi hingga saat ini, orang Kedang masih hidup seperti sedia kala yaitu menikmati air hujan. Kerinduan terhadap kehadiran Wei La’in belum terjawab. Makanya, kita patut bertanya, Wei la’in: berkah atau kutuk? Jawaban yang lebih cocok terhadap pertanyaan tersebut yaitu “kutuk” sebab terjadi manipulasi dan pengingkaran terhadap masyarakat kecil. Dana sebesar 20 M hingga kini oleh Pemda Lembata mungkin dianggap biasa-biasa saja – intinya ada bukti pipa-pipa tanpa aliran air di pinggir jalan untuk membuat orang Kedang kagum. Nah, pelajaran utama yang harus dipelajari oleh Pemda Lembata yaitu perlu adanya rencana yang matang sebelum membangun sesuatu yang menjadi kebutuhan publik. Dana 20 M adalah harta milik seluruh masyarakat Lembata, maka perlu dipertanggungjawabkan dengan cara yang halal. Orang Kedang bilang kelen nulo nape laha Amo “berpikirlah dahulu sebelum bertindak”. Pemda Lembata mesti bertanggung jawab terhadap proyek raksasa tersebut. Orang Kedang sangat tidak membutuhkan festival tiga gunung atau kegiatan hura-hura dengan alasan pariwisata seperti yang sedang didesain oleh Pemda Lembata – bahkan anehnya pemda merasa bangga dengan kegiatan festival tanpa merasa beban dengan mubazirnya dana 20 M serta tanggung jawab utamanya terhadap masyarakat kecil.
Melalui pengalaman tersebut, kecurigaan sementara yang patut ditarik yaitu proyek wei La’in hanyalah bagian dari strategi memenangkan pertandingan politik. Salah satu bukti yang mendukung kesimpulan ini yaitu, sebelum Pilkada Lembata, wei la’in secara mendadak mengalir seperti mata air Bama di Flores Timur. Namun, entah ada alasan apa – mungkin karena listrik – pascapilkada wei la’in tidak bisa mengalir lagi untuk memenuhi kebutuhan primer oran Kedang.
Informasi dari Flores Pos (29/07/2019) bahwa proyek tersebut terkendala karena jaringan listrik. Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda) sudah melakukan diskusi terkait masalah tersebut. Mereka menghendaki bahwa jalur jaringan listrik mesti dipindahkan karena kata mereka, pemilik tanah meminta ganti rugi yang terlalu besar baik terhadap tiang listrik yang ditanam di kebunnya maupun beberapa pohon yang ada di sekitar jaringan listrik tersebut – kapan dipindahkan? Demikian informasi yang penulis kutip dari Flores Pos.
Alasan infantil tersebut menurut penulis adalah bukti ketidakmampuan Pemda dan DPRD untuk menyelesaikan persoalan. Masa ganti rugi lahan masyarakat tapi tidak bisa – festival yang memakan biaya besar cepat sekali direspon atau para Wakil Rakyat bermental kapitalis yang menghabiskan dana Rp3 Miliar lebih selama tujuh bulan demi alasan Studi Banding dan perjalanan dinas lainnya (FP/8/8/2019) dianggap biasa-biasa saja walaupun dampaknya kosong. Penulis menduga alasan tersebut hanyalah bentuk rasionalisasi untuk lari dari tanggung jawab dan menumpulkan nalar kritis masyarakat lewat menari bersama pada momen Festival Tiga Gunung. Mungkin Festival tiap tahun adalah keberhasilan luar biasa Pemda dan DPRD Lembata untuk melumpuhkan ingatan masyarakat terhadap utang-utang yang belum dibayar, misalnya Wei lain, kantor camat buyasuri, pulau siput dan masih sangat banyak lainnya. Lebih baik jika bak-bak raksasa dan pipa-pipa tanpa fungsi yang dibangun oleh Pemda Lembata di Kedang disulap saja sebagai bak penampung “Tuak Kelapa.”
Mungkin Festival 3 gunung adalah kebutuhan paling mendesak. Salam tangguh untuk masyarakat KEDANG RAYA.🙏🙏
ReplyDeleteMenusuk
ReplyDeleteTamaknya Bupati n Antek²nya...
ReplyDelete