Cerpen Perempuan-Perempuan Batas Kota
Yang aku maksudkan
ialah, para tuan tanah yang telah kehilangan jati diri. Nama mereka telah
terdaftar sebagai orang asing di kota ini, kota kelahiran leluhur dan kematian
harapan. Mereka sempat beradu mulut bahkan baku tumbuk dengan polisi sampah
lantaran profesi sebagai pedagang kaki lima dianggap sebagai sampah perusak
pemandangan kota.
Alasan spele ini, telah menjadi dasar hukum yang mendukung
mereka untuk bermukim di batas kota sebagai perempuan. Antara senyum mawar
merah dan layu putri malu bisa ditafsirkan lewat bening airmata yang bersumber
dari hati yang dingin.
Aku seorang perempuan muda, berstatus janda, bertulang baja dan berdarah pahlawan. Kini sebagai wartawan, kegiatan menulis dan menerjemahkan suara airmata adalah sebuah keniscayaan tanpa pensiun.
Sejak aku ditinggalkan oleh suami, statusku
resmi menjadi janda muda dan telah bersatu dengan paguyuban persatuan perempuan
batas kota. Kami semua punya nasib yang sama karena diitinggalkan oleh suami.
Sebelum menjelma janda muda aku sempat menikah satu malam dengan pak Vanto,
mantan suamiku yang berjanji akan membangun rumah tingkat di kota ini. Setiap
detik selalu meneteskan embun kata dari bibir merah kesumba pak Vanto yang
hinggap erat di jiwaku yang terlalu napsu untuk menghasilakn anak. “ Aku pingin
punya anak satu,dua atau bahkan lebih dari itu, mas”.
Ungkapan penuh kejujuran
ini merupakan rindu seekor rusa di tengah padang kerontang yang bernama
kehidupan. Aku menyerahkan totalitas tubuh, jiwa bahkan kupu-kupu yang
berseliweran mencari madu dalam kepalaku kepada pak vanto, mantan suamiku yang
pernah tidur seranjang dan bertelanjang. Dia telah berhasil meminang jiwaku
dengan janji untuk memenuhi harapanku yaitu pengen melahirkan anak.
Dia telah
sukses merenggut mahkota keperawananku, bahkan madu manis murni yang
berkelimpahan di dalam buah dadaku ia peras habis tanpa sisa. “Aku pasrahkan
semuanya demi kebahagiaan kita lima tahun mendatang, mas”. Hasil cinta satu
malam yang kami bangun di atas kesepakatan bersama telah menghasilkan seorang
anak manis berkulit putih yang lahir setahun kemudian.
Laksana mentari pagi
yang terbit membawa terang di ufuk timur, jiwaku pun menjadi taman aneka warna
bunga dengan wangi cendana Timor. Aku seperti burung pipit bersayap elang yang
bersiul bebas di langit mewartakan kabar gembira bagi sesamaku yang terlena
dalam duka. Kehadiran anak sulung kami adalah sebuah kesuksesan perkawinan
jiwa-raga kami dan bukti dari sumpah setia kami di gereja katedral dengan suara
laksana bunyi lonceng minggu pagi.
Jika tahun pertama pak vanto telah memberiku
seorang anak, mungkin lima tahun bahkan lebih, dia akan memberiku anak yang
kedua dan seterusnya untuk memuaskan rinduku. Aku selalu mengharapkan agar tali
sumpah cinta kami tak akan terputus dan langgeng sampai opa-oma.
Namun kondisi
dan situasi lingkungan kami telah menghadirkan mala petaka. Suamiku selalu
pulang malam dengan alasan lembur dan begitu seterusnya hingga suatu ketika aku
sadar bahwa janji yang pernah ia lontarkan adalah cinta yang keluar dari dubur
seperti yang dibahasakan dalam puisi Ragil
Supriyanto samid yang berjudul ‘tentang
kemerdekaan’. Dia mulai bersilat lidah dan melempar batu ke dadaku lalu
sembunyi tangan yang tamak akan kekuasaan sebagai seorang suami.
***
Setahun kemudian dia secara diam-diam memutuskan tali cinta kami dengan menggunakan mata pedang yang karat dan tumpul. Cintanya kepadaku telah tamat. Ia mencari istri baru dengan belis uang miliaran rupiah dan anak sulung kami pun ia sogok dengan uang. Ia menyogok beberapa penculik terdekatnya untuk menculik anak kami di suatu malam ketika listrik di kota ini padam. Anak kami pun kini menjadi kepunyaannya. Aku melarat dan perih jiwaku memikul beban ini.
***
Syahdan, aku pun menjadi janda dan bekerja sebagai wartawan di batas kota yang notabene dihuni oleh perempuan-perempuan janda yang kehilangan harapan akan terbitnya matahari di Timur, di batas kota ini sebab matahari itu telah tenggelam di arah barat, di antara gedung-gedung megah berlantai dua.
***
Setahun kemudian dia secara diam-diam memutuskan tali cinta kami dengan menggunakan mata pedang yang karat dan tumpul. Cintanya kepadaku telah tamat. Ia mencari istri baru dengan belis uang miliaran rupiah dan anak sulung kami pun ia sogok dengan uang. Ia menyogok beberapa penculik terdekatnya untuk menculik anak kami di suatu malam ketika listrik di kota ini padam. Anak kami pun kini menjadi kepunyaannya. Aku melarat dan perih jiwaku memikul beban ini.
***
Syahdan, aku pun menjadi janda dan bekerja sebagai wartawan di batas kota yang notabene dihuni oleh perempuan-perempuan janda yang kehilangan harapan akan terbitnya matahari di Timur, di batas kota ini sebab matahari itu telah tenggelam di arah barat, di antara gedung-gedung megah berlantai dua.
Di gedung-gedung itu suami
mereka dan suamiku menemukan kebahagiaan dalam ketamakan. Mereka telah
menemukan surga dan menjadi manusia beragama walaupun tidak pernah tahu
bagaimana harus berdoa yang lurus.
Akhirnya aku mencari resep yang tepat untuk
menyembuhkan bekas luka di batinku dengan mengaktifkan pikiranku, membuka
gelapnya wawasanku tentang janji, apalagi kalau soal politik perkawinan bibir.
Aku pun menjadi lebih dewasa usai belajar dari pengalaman penipuan kelas wahid
ini.
Bersama perempuan-perempuan yang lain, kami berkomitmen untuk menjadi
orang pintar walaupun tinggal di batas kota karena diusir oleh panglima perang
para birokrat termasuk mantan suamiku. Kami tetap senyum dalam profesi
masing-masing, ada yang menjadi petani, pedagang, tukang ojek dan saya sebagai
wartawan yang selalu menulis tentang yang benar dari suatu kesalahan.
***
Jika terjadi musim kawin lagi, aku akan lebih hati-hati mencari suami baru yang tahu tentang yang benar dan yang salah. Aku juga menduga bahwa mantan suamiku akan kembali mengajakku berdansa dengan modus bemacam-macam, namun nuraniku akan mencari suami baru yang lebih ganteng.
***
Jika terjadi musim kawin lagi, aku akan lebih hati-hati mencari suami baru yang tahu tentang yang benar dan yang salah. Aku juga menduga bahwa mantan suamiku akan kembali mengajakku berdansa dengan modus bemacam-macam, namun nuraniku akan mencari suami baru yang lebih ganteng.
Sebelum tiba musimnya, aku akan setia
menjalankan tugasku sebagai wartawan perempuan dan janda muda.
Pernah dimuat Pada Pos Kupang/Rian Odel