Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Cerpen Perempuan-Perempuan Batas Kota





Yang aku maksudkan ialah, para tuan tanah yang telah kehilangan jati diri. Nama mereka telah terdaftar sebagai orang asing di kota ini, kota kelahiran leluhur dan kematian harapan. Mereka sempat beradu mulut bahkan baku tumbuk dengan polisi sampah lantaran profesi sebagai pedagang kaki lima dianggap sebagai sampah perusak pemandangan kota. 

Alasan spele ini, telah menjadi dasar hukum yang mendukung mereka untuk bermukim di batas kota sebagai perempuan. Antara senyum mawar merah dan layu putri malu bisa ditafsirkan lewat bening airmata yang bersumber dari hati yang dingin.
                                                            ***
Aku seorang perempuan muda, berstatus janda, bertulang baja dan berdarah pahlawan. Kini sebagai wartawan, kegiatan menulis dan menerjemahkan suara airmata adalah sebuah keniscayaan tanpa pensiun. 

Sejak aku ditinggalkan oleh suami, statusku resmi menjadi janda muda dan telah bersatu dengan paguyuban persatuan perempuan batas kota. Kami semua punya nasib yang sama karena diitinggalkan oleh suami. Sebelum menjelma janda muda aku sempat menikah satu malam dengan pak Vanto, mantan suamiku yang berjanji akan membangun rumah tingkat di kota ini. Setiap detik selalu meneteskan embun kata dari bibir merah kesumba pak Vanto yang hinggap erat di jiwaku yang terlalu napsu untuk menghasilakn anak. “ Aku pingin punya anak satu,dua atau bahkan lebih dari itu, mas”. 

Ungkapan penuh kejujuran ini merupakan rindu seekor rusa di tengah padang kerontang yang bernama kehidupan. Aku menyerahkan totalitas tubuh, jiwa bahkan kupu-kupu yang berseliweran mencari madu dalam kepalaku kepada pak vanto, mantan suamiku yang pernah tidur seranjang dan bertelanjang. Dia telah berhasil meminang jiwaku dengan janji untuk memenuhi harapanku yaitu pengen melahirkan anak. 

Dia telah sukses merenggut mahkota keperawananku, bahkan madu manis murni yang berkelimpahan di dalam buah dadaku ia peras habis tanpa sisa. “Aku pasrahkan semuanya demi kebahagiaan kita lima tahun mendatang, mas”. Hasil cinta satu malam yang kami bangun di atas kesepakatan bersama telah menghasilkan seorang anak manis berkulit putih yang lahir setahun kemudian. 

Laksana mentari pagi yang terbit membawa terang di ufuk timur, jiwaku pun menjadi taman aneka warna bunga dengan wangi cendana Timor. Aku seperti burung pipit bersayap elang yang bersiul bebas di langit mewartakan kabar gembira bagi sesamaku yang terlena dalam duka. Kehadiran anak sulung kami adalah sebuah kesuksesan perkawinan jiwa-raga kami dan bukti dari sumpah setia kami di gereja katedral dengan suara laksana bunyi lonceng minggu pagi. 

Jika tahun pertama pak vanto telah memberiku seorang anak, mungkin lima tahun bahkan lebih, dia akan memberiku anak yang kedua dan seterusnya untuk memuaskan rinduku. Aku selalu mengharapkan agar tali sumpah cinta kami tak akan terputus dan langgeng sampai opa-oma. 

Namun kondisi dan situasi lingkungan kami telah menghadirkan mala petaka. Suamiku selalu pulang malam dengan alasan lembur dan begitu seterusnya hingga suatu ketika aku sadar bahwa janji yang pernah ia lontarkan adalah cinta yang keluar dari dubur seperti yang dibahasakan dalam puisi Ragil Supriyanto samid yang berjudul ‘tentang kemerdekaan’. Dia mulai bersilat lidah dan melempar batu ke dadaku lalu sembunyi tangan yang tamak akan kekuasaan sebagai seorang suami.
                                                            ***
Setahun kemudian dia secara diam-diam memutuskan tali cinta kami dengan menggunakan mata pedang yang karat dan tumpul. Cintanya kepadaku telah tamat. Ia mencari istri baru dengan belis uang miliaran rupiah dan anak sulung kami pun ia sogok dengan uang. Ia menyogok beberapa penculik terdekatnya untuk menculik anak kami di suatu malam ketika listrik di kota ini padam. Anak kami pun kini menjadi kepunyaannya. Aku melarat dan perih jiwaku memikul beban ini.
                                                            ***
Syahdan, aku pun menjadi janda dan bekerja sebagai wartawan di batas kota yang notabene dihuni oleh perempuan-perempuan janda yang kehilangan harapan akan terbitnya matahari di Timur, di batas kota ini sebab matahari itu telah tenggelam di arah barat, di antara gedung-gedung megah berlantai dua. 

Di gedung-gedung itu suami mereka dan suamiku menemukan kebahagiaan dalam ketamakan. Mereka telah menemukan surga dan menjadi manusia beragama walaupun tidak pernah tahu bagaimana harus berdoa yang lurus. 

Akhirnya aku mencari resep yang tepat untuk menyembuhkan bekas luka di batinku dengan mengaktifkan pikiranku, membuka gelapnya wawasanku tentang janji, apalagi kalau soal politik perkawinan bibir. Aku pun menjadi lebih dewasa usai belajar dari pengalaman penipuan kelas wahid ini. 

Bersama perempuan-perempuan yang lain, kami berkomitmen untuk menjadi orang pintar walaupun tinggal di batas kota karena diusir oleh panglima perang para birokrat termasuk mantan suamiku. Kami tetap senyum dalam profesi masing-masing, ada yang menjadi petani, pedagang, tukang ojek dan saya sebagai wartawan yang selalu menulis tentang yang benar dari suatu kesalahan.
                                                            ***
Jika terjadi musim kawin lagi, aku akan lebih hati-hati mencari suami baru yang tahu tentang yang benar dan yang salah. Aku juga menduga bahwa mantan suamiku akan kembali mengajakku berdansa dengan modus bemacam-macam, namun nuraniku akan mencari suami baru yang lebih ganteng. 

Sebelum tiba musimnya, aku akan setia menjalankan tugasku sebagai wartawan perempuan dan janda muda.

Pernah dimuat Pada Pos Kupang/Rian Odel

3 comments for "Cerpen Perempuan-Perempuan Batas Kota"