Mitos Peni Mu'u Lolon (Muko) dan Benih feminisme
MELIHAT KEMBALI MITOS PENI MU’U
LOLON
(Memaknai Hari Kartini)
Rian Odel* |
Mengenal Secara Ringkas Tentang
Peni Mu’u Lolon
Dewa bulan (wula) dan matahari
(loyo) tidak pernah akur dalam menjalin kehidupan di kerajaan langit. Salah
satu persoalan utama yang mereka hadapi ialah adanya saling tuduh di antara
keduanya tentang pemilik ilmu hitam (ma’ molan). Bulan menuduh matahari sebagai
dewa suanggi, demikian pun sebaliknya.
Pada akhirnya, mereka bersepakat untuk
menjatuhkan masing-masing anak mereka ke bumi; dengan catatan, jika salah
seorang anak yang jatuh itu terbentur pada bebatuan (tidak selamat), akan
dipastikan bahwa orang tuanya adalah suanggi. Maka tejadilah emikian.
Bulan pun
menjatuhkan anaknya ke bumi dan terbentur pada bebatuan. Sekonyong-konyong,
anaknya itu berubah wujud menjadi berbagai macam jenis binatang hutan,
misalnya, tokek, ular, kadal, nyamuk dll. Kesimpulannya jelas, bulan adalah
dewa suanggi atau asal-usul kejahatan; pemilik ilmu hitam. Matahari pun
demikian.
Dia menjatuhkan putri kesayangannya ke bumi. Putri itu jatuh tepat di
atas pohon pisang dan bersembunyi di balik dedaunan pisang nan hijau. Artinya,
matahari adalah dewa kebaikan, sumber segala terang. Dia berhak menguasai siang
dan bulan berhak menguasai malam. Cerita panjang berlanjut sampai pada akhirnya,
putri itu diberi nama peni mu’u lolon (muko lolon) oleh orangtua angkatnya yang
bernama Ila Wai Tuan.
Ia menikah dengan seorang raja yang bernama Pulo
Lamale’ang (Lomblen). Perjalanan keluarga mereka berlangsung secara baik tetapi
sang suami selalu penasaran dengan identitas asal dari istrinya itu. Maka
segala upaya “busuk” dilakukannya untuk bisa mengetahui asal-usul istrinya.
Dengan cara menipu, sang suami berhasil mendapat jawaban dari istrinya bahwa ia
(peni mu’u lolon) berasal dari kerajaan langit. Lantaran merasa dikhianati,
Peni Mu’u Lolon yang sedang hamil pun membalas menipu suaminya.
Ia menyuruh
suaminya untuk memberikan kepadanya sebuah kelapa muda. Pada saat itu, Peni
Mu’u Lolon langsung menikan buah kelapa itu menggunakan tusuk kondenya dan
tiba-tiba saja, ia menghilang ke arah langit. suaminya menyesali perbuatannya
dan mencari jalan keluar untuk bisa berdamai dengan istrinya yang telah kembali
ke kerajaan langit.
Cerita terus berlanjut sampai pada perjumpaan kembali
antara kedunya. Mereka didamaikan oleh seorang anak mereka yang bernama Ulun
Pulo. Namun, untuk menebus kesalahannya, Pulo Lamale’ang mesti “mengorbankan”
kedua saudari kandungnya sebagai selir untuk saudara dari Peni Mu’u Lolon.
Dengan demikian, perdamaian itu membawa berkat bagi rumah tangga Peni Mu’u
Lolon dan Pulo Lamale’ang. Mereka hidup bahagia dan beranak pinak melahirkan
keturunan – mitos ini sebenarnya memiliki jalan cerita yang panjang tapi
penulis mengutip secara singkat.
Baca Juga Mitos Peni mu'u Lolon.
Mitos Peni Mu’u Lolon dan Nilai
Feminisme
Mitos
Peni Mu’u Lolon merupakan sebuah cerita lisan yang kaya makna bagi
perkembangan Feminisme di kalangan masyarakat Kedang, kabupaten Lembata, NTT.
Dalam mitos ini, terlihat sangat jelas konflik serius antara laki-laki dan perempuan
sekaligus jalan tengah yang ditempuh untuk proses rekonsiliasi.
Mitos tersebut
dihadirkan untuk membantu orang Kedang dalam memaknai hidup dan seluruh
keberadaan di sekitar mereka. Dengan demikian, mitos merupakan jenis sastra
lisan yang sangat penting. Tanpa mitos, semua kebudayaan akan kehilangan
kesehatan dan kreativitas alamiahnya sebab sebuah horizon yang ditopang oleh
mitoslah yang dapat menyatukan seluruh gerakan kultural (Friedrich
Nietzsche, Lahirnya Tragedi, penerj. Saut Pasaribu, 2017), atau dalam konteks ini gerakan feminisme.
Sangat jelas bahwa mitos tersebut diciptakan
oleh seorang tokoh anonim untuk mendeskripsikan relasi antara laki-laki dan
perempuan dalam konteks budaya Kedang melalui kreativitas alur cerita dan
imajinasi yang mendalam.
Dia berusaha untuk masuk dalam dunia para dewa
sebagaimana yang pernah disinggung oleh Plato bahwa gaya bahasa yang indah
disebabkan oleh seorang dewa, karena pengarangnya seolah-olah sedang kemasukan
seorang dewa. Plato menegaskan teori partisipasi bahwa pengarang sastra lisan
berusaha menyatu dan terlibat dalam kehidupan para dewa di atas awan-awan
sambil terlibat aktif dan di dalam idea-ideanya; ia berusaha melihat keadaan
yang sebenarnya.
Artinya, pengarang seolah-olah keluar atau diangkat di luar dirinya
yang sebenarnya (Penjelasan Plato ini
bisa dibaca pada Dick Hartoko, Manusia
dan Seni, 1984) untuk hidup bersama para
dewa sambil menggambarkan situasi riil melalui cara yang lain.
Teori
tersebut sangat sinkron dengan mitos yang penuh dengan cerita yang irasional
tetapi memiliki makna mendalam. Hal pertama yang perlu didalami ialah tentang
identitas atau asal-usul perempuan dalam budaya Kedang. Orang Kedang menyebut
perempuan sebagai are’ rian yang berarti perempuan besar atau
raja sebab dia datang dari langit atau Tuhan.
Hal ini terbukti jelas pada
bagian awal mitos tersebut yaitu perempuan ialah yang murni, suci atau perawan
sehingga dipilih oleh Tuhan sendiri sebab dalam dirinya ada kebaikan. Dengan
demikian, perempuan harus diterima dengan sopan dan harus dihormati oleh
laki-laki. Dalam diri perempuan ada kelembutan hati, makanya ia membutuhkan
laki-laki penyayang yang menerima dia dengan kehalusan tingkah laku juga tutur
kata. Buktinya jelas yaitu pada saat Peni
Mu’u Lolon turun dari pohon pisang melalui sebuah piring yang sudah dibentang
dengan kapas sebagai simbol kelembutan dan kesucian sesuai warna putih kapas.
Kehadiran
perempuan pada dasarnya untuk melengkapi kerinduan laki-laki. Tuhan
menganugerahkan perempuan untuk mendampingi laki-laki agar bisa melanjutkan
keturunan. Hal ini ditegaskan juga dalam Kitab Kejadian tentang Adam dan Hawa.
Kebahagiaan itu ada ketika laki-laki dan perempuan bersepakat untuk saling
mencintai. Namun, dalam perjalanan waktu selalu ada konflik yang bisa timbul
karena salah paham atau egoisme sempit di antara keduanya. Konflik bermula
ketika laki-laki atau Pulo Lamale’ang memanipulasi strategi untuk mendapatkan
perempuan atau Peni Mu’u Lolon dengan cara menculiknya.
Bukan hanya menculik,
laki-laki juga berusaha membohongi perempuan demi kepentingan dirinya
sendiri. Akibat kesalahan yang dilakukan
oleh laki-laki, maka hukuman yang adil mesti ditegakkan. Yang pertama bisa
dilihat melalui belis dua butir telur yang kemudian berubah menjadi sepasang
manusia. Laki-laki menawarkan segala emas dan harta material kepada “orangtua
angkat” dari Perempuan tetapi semuanya ditolak kecuali dua butir telur yang
diminta khusus oleh keluarga perempuan.
Artinya, dalam konteks relasi laki-laki
dan perempuan, suara laki-laki cenderung manipulatif dan tidak tulus,
mementingkan harta benda padahal perempuan membutuhkan hal yang sederhana
tetapi bermartabat dan luhur. Dua butir telur di mata laki-laki tidak berharga
tetapi di pihak perempuan sangat berharga sehingga kemudian disimbolkan melalui
kehadiran sepasang manusia baru dari dua butir telur. Melalui kehadiran
sepasang manusia itu, terjadilah kehidupan baru. Artinya, hal yang sederhana
memiliki arti yang luar biasa. Belis bagi perempuan mesti dilihat dari sudut
pandang cerita ini. Bukan bentuk material dari belis yang menjadi utama melainkan nilainya.
Selanjutnya,
konflik terjadi ketika perempuan dan laki-laki masuk dalam kehidupan
berkeluarga resmi. Laki-laki seenaknya membohongi perempuan padahal kondisi
perempuan dalam keadaan hamil. Hal ini tentunya mau menggambarkan bahwa relasi
negatif antara laki-laki dan Perempuan selalu terjadi dalam kehidupan
berkeluarga atau masuk dalam sebuah sistem kebudayaan tertentu.
Demi mencapai
keinginannya, laki-laki menghalalkan segala cara dan melecehkan martabat
perempuan di muka umum. Tepat di sini, perempuan merasa harga dirinya
diremehkan dan telah terjadi ketidakadilan karena tidak ada lagi kejujuran.
Akibatnya, perempuan pun bangkit dari ketidakadilan ini dan mendeklarasikan
konsep Feminisme. Perempuan pun menyusun strategi untuk bisa kembali ke asalnya
dan pada akhirnya ia berhasil.
Kembali ke asalnya berarti bahwa perempuan
kembali kepada Tuhan, memasrahkan dirinya kepada kuasa yang Maha Tinggi sebab
ia yakin dengan bantuanNya, usahanya pasti berhasil. Kembali ke asalnya juga berarti kembali kepada hakikat dirinya yang otentik sebagai seorang perempuan. Laki-laki yang angkuh itu
pun merasa kecewa dan mengurung diri selama tujuh tahun.
Peristiwa ini
sebenarnya mau menggambarkan bahwa Perempuan bukan manusia lemah. Mereka akan
bangkit ketika ketidakadilan menimpah harga diri mereka.
Konflik pun semakin melebar
ketika terjadi perpisahan selama kurang-lebih tujuh tahun. Namun, selalu saja
ada jalan tengah untuk bersatu kembali. Dalam cerita ini, jalan tengah
dihadirkan melalui sosok Ulun Pulo yang adalah buah hati Peni Mu’u Lolon dan
Pulo Lamale’ang. Pada akhirnya, Tuhan menuntut sebuah pertanggungjawabab
radikal dari Pulo Lamale’ang dengan menuntut dua saudari kandungnya yaitu Dito’
dan Dato’.
Hal ini mau menggambarkan sebuah kesetaraan bahwa pada mulanya
Laki-laki mengkhianati perempuan hingga terjadi konflik relasi dan berakhir
pada sebuah pertanggungjawaban. Penyerahan Dito’ dan dato’ kepada Lia Loyo atau
saudara dari Peni Mu’u Lolon yang hadir menngambarkan kehadiran Tuhan mau
membuktikan bahwa di Mata Tuhan Laki-laki dan Perempuan adalah sama. Makanya,
rekonsiliasi terjadi ketika masing-masing mereka membuka hati untuk saling
mendengarkan dan bertanggung jawab terhadap tugasnya. Laki-laki mesti bertobat
dari kesalahannya dan menanggung beban dosa tersebut dengan membuka diri secara
total.
Pengorbanan
Dito’ dan Dato’ mau menjelaskan totalitas dari keterbukaan hati Pulo Lamale’ang
untuk bertanggung jawab terhadap kesalahannya dan membuka hati untuk kembali
bersatu dengan Perempuan.
Ulun Pulo yang menjadi jembatan rekonsiliasi tersebut
menggambarkan bahwa konsep kesetaraan laki-laki dan Perempuan mesti dibangun
mulai dari dalam rumah atau keluarga inti. Dari segi kebudayaan lokal Kedang,
tuntutan feminisme bisa dimaknai melalui cerita mitos ini bahwa perempuan mesti
dihormati bukan sebagai objek untuk dieksploitasi.
Ketika terjadi ketidakadilan
oleh laki-laki terhadap perempuan, upaya feminisme mesti ditegakkan dengan
cara-cara yang progresif dan bermartabat. Hal pertama yang mesti dilakukan oleh
perempuan ialah, adanya kesadaran dalam diri mereka bahwa perempuan memiliki
peran yang luar biasa karena kehadiran mereka merupakan anugerah dari Tuhan
sendiri.
Identitas sebagai perempuan merupakan anugerah besar dalam sebuah
kehidupan, maka perempuan mesti dihormati dan dijunjungtinggi bukan
dieksploitasi. Kedua, ketika ketidakadilan terjadi, pihak perempuan mesti
berani berjuang untuk membela hak-hak mereka sebagai perempuan. Perempuan tidak
boleh menjadi manusia lemah yang pasrah pada sebuah keadaan yang menindas.
Perjuangan tersebut bisa dilakukan melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan yang
bekerja di bidang perempuan. Tujuan tertinggi dari perjuangan perempuan
(feminisme) ialah demi kesetaraan. Artinya, perempuan tidak mesti berjuang demi
dirinya sendiri tetapi juga demi kebahagiaan bersama laki-laki. Gerakan feminisme
tidak mesti merugikan laki-laki.
Dalam
sejarah Indonesia, terdapat begitu banyak perempuan hebat yang patut menjadi
suri teladan. Sebut saja,
Raden Ajeng Kartini, pejuang kesetaraan gender dalam hal pendidikan.
Kebangkitan feminisme selalu diprovokasi oleh tindakan tidak adil yang didesain
oleh pihak laki-laki dan biasanya melalui aturan hukum.
Perempuan dalam versi
mitos tersebut bukan saja digambarkan sebagai sosok lemah lembut melainkan juga
digambarkan sebagai tokoh revolusioner atau pejuang kesetaraan. Dasar kekuatan
mereka hanya satu yaitu Tuhan sebagai Bapa yang menciptakan laki-laki dan
perempuan, dua sosok yang saling melengkapi bukan bersaing untuk saling
menjatuhkan.
Contoh nyata kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam kaitan
dengan kebiasaan orang Kedang bisa dilihat melalui peraturan tentang belis,
tugas perempuan sebagai ibu kehidupan atau are’
naran yang menjawab kebutuhan
manusia, sedangkan laki-laki dilihat sebagai tokoh pelindung yang gagah berani.
Menjadi pelindung berarti harus menjaga perempuan dengan tulus bukan
mengeksploitasinya.
Jika terjadi ketidakadilan maka konsep feminisme mesti
dikumandangkan dan orang Kedang secara khusus mesti belajar dari Peni Mu’u
Lolon sebab dalam dirinya terkandung banyak energi perjuangan bagi perempuan.
Mitos tersebut dapat menambah wawasan orang Kedang tentang perempuan melalui
bahasa sastra sebab pengkajian tersebut merupakan sebuah prioritas untuk
mengenal secara mendalam karaktek masyarakat bersangkutan khususnya perempuan (Achadiati Ikram,
“Pengantar”, dalam Yoseph Yapi Taum, Kisah
wato Wele-Lia Nurat, Dalam Tradisi Puisi Lisan Flores Timur, 1997). Melalui mitos tersebut, kiranya dapat dipahami secara
mendetail bahwa kesetaraan gender dan konsep feminisme merupakan hukum legal
yang akarnya dari Tuhan sendiri.
Tuhan menganugerahkan laki-laki dan Perempuan
untuk setara dan bebas dalam mengekspresikan potensi dirinya secara benar dan
bertanggung jawab tanpa saling menjatuhkan satu sama lain demi kepentingan
sepihak. Intinya ialah, gerakan
perjuangan perempuan mesti dilakukan atas sebuah kesadaran terhadap kondisi
ketidakadilan.
Perempuan harus membangun konsep dalam diri mereka sebagai
manusia pejuang yang memiliki kekuatan dari Tuhan sendiri. Perempuan mesti
menyadari identitas mereka sebagai manusia ciptaan Tuhan yang bermartabat dan
memililiki banyak potensi bagi sebuah kehidupan. Fokus akhir dari perjuangan
itu ialah demi tercapainya kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam membangun
sebuah kehidupan yang bermartabat bukan sebaliknya perjuangan demi diri sendiri
atau kompetisi untuk meraih sebuah kemenangan.
Selain itu, pengorbanan Dito' dan dato' - dua saudari kandung dari Pulo Lamale'ang - mau mengafirmaasi peran saudari dalam sebuah rumah tangga. Suami mesti menghormati istrinya seperti saudari kandungnya sendiri. Ketika istri tidak dihormati atau dieksploitasi, maka disitu juga terjadi pelecehan terhadap saudari sendiri. Oleh karena itu, menghormati Istri seperti sudari serahim adalah imperatif kategoris. Dito' dan dato' mendukung konsep orang Kedang tentang Binen Pae Naren.
*Rian Odel lahir di
Balauring, Kedang, Kabupaten Lembata. Ia menulis dalam kemaluannya.
Wuii keren kk fr. Saya sangat tertrik dengan tulisanya kk.Kalau menurut saya,tulisanya kk sagat bagus. Karena perempuan patut di hargai dan dan di pandang dengan baik. Ya,dulu perempuan selalu di nomor duakan, sedangkan laki' selalu terdepan. Dan dulu cuma laki' yang bisa sekolah sedangkan perempuan cuma di dapaur.Tapi sekarang laki dan perempuan sama. Pekerjaan laki' bisa di kerjakan oleh perempuan,dan sebaliknya juga pekerjaan perempuan bisa di kerjakan olah laki'. Dulu cuma laki' yang bisa jadi Presiden tapi sekrang perempuan juga bisa jadi Presiden .Ya, dulu nenek moyang terlalu terpaku dengan tradisi kebudayan adat istiadat makanya perempuan selalu di belakang. Mungkin di daerah lain masih mengunkan tradisi tersebut, akan Tapi sekrang sebagian besar kebudaya itu semkain mengilang. perempuan dan laki' sama.Cuma yang satu hal tidak bisa di lakukan olah laki' atau mengantikan posisi perempuan yaitu: Melahirakn dan menyususi. Itu yang dinamakan Kesetaraan gender.
ReplyDeleteterimaksih banyak
DeleteWow, sekarang saya tahu feminisme bukan dari barat tapi sesungguhnya milik kita.
ReplyDeleteSalut tata. Sangat memotivasi.
terimaksih peni Muu lolon dari loyobohor hhh
Delete