Opini Jebakan Pariwisata Budaya
Oleh Rian Odel
Kemajuan pariwisata di NTT tidak
diragukan lagi, baik rohani, alam maupun budaya. Untuk mendukung kemajuan
pariwisata, Pemerintah daerah baik Propinsi maupun Kabupaten mulai melakukan
aneka terobosan, misalnya festival maupun expo
budaya dengan dalil demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dali-dalil
yang dikonstruksi oleh Pemerintah pada dasarnya sangat baik apalagi dimotivasi
oleh nurani kerakyatan. Namun, ditengah “euforia” pariwisata yang terus mengalir,
kita perlu kritis melihat makna substansial di balik Pariwisata, khususnya yang
berbasis budaya. Apakah pariwisata mampu melestarikan budaya yang natural atau
ada modus bisnis yang bisa mereduksi makna budaya dalam keyakinan masyarakat?
Pariwisata: Sebuah Tantangan
Berbicara tentang pariwisata pasti berorientasi
uang. Pariwisata yang gencar dikumandangkan oleh Pemerintah dengan dalil
peningkatan PAD selalu menjadi semacam rangsangan yang mengganggu nalar kritis
masyarakat. Masyarakat pasti antusias jika budayanya menjadi modal yang dipakai
pemerintah untuk merangsang minat wisatawan tanpa pertimbangan kritis. Contoh
praktis yang mendukung pernyataan ini hadir dalam bentuk festival budaya di
berbagai kabupaten. Misalnya, Festival Tiga Gunung yang belum dievaluasi
dampaknya dan Expo Uyelewun Raya di
Lembata. Kegiatan-kegiatan yang digagas Pemerintah tersebut terlihat sangat estetis
tetapi perlu dilihat secara serius bahwa
di balik euforia festival, makna substansial budaya sebagai warisan leluhur perlahan-lahan
direduksi. Masyarakat akan melihat budayanya sebagai material dagangan bukan
sebagai sesuatu yang sakral khususnya berkaitan dengan ritual-ritual yang
tumbuh secara alamiah dalam masyarakat lokal. Alhasil, mereka seperti “robot”
yang “dipaksa” untuk mempraktikan ritual di hadapan para wisatawan.
Bukan berarti, saya menolak
pengembangan pariwisata budaya tetapi kita perlu merefleksikan dampak dari
aktivitas pariwisata yang digagas pemerintah.
Tentang
hal ini, Dosen Filsafat pada Fakultas Liberal Arts Universitas Pelita
Harapan, Karawaci, Banten, Alexander Aur Apelaby, dalam opininya tentang Industrialisasi Turisme dan Dagang Hasrat (Voxntt.com, diakses pada
29 Oktober 2018) meyinggung tentang praktik pariwisata berbasis budaya yang ditempuh
pemerintah daerah adalah mengindustrialisasikan turisme meskipun logika yang
beroperasi di baliknya adalah logika hasrat yang selalu kurang dan mendagangkan
hasrat. Pernyataan ini, menurut saya menjadi sebuah refleksi kritis atas
fenomena festival dan expo budaya
yang semakin subur dan secara implisit menjadikan masyarakat sebagai objek
pariwisata. Kegiatan itu selalu menjadi sebuah terobosan yang bermakna ganda. Secara
positif untuk menggali budaya atau negatif sebagai bagian dari pesta pora di balik
penderitaan rakyat yang sarat intrik politik.
Dalam
opini tersebut, Alex juga mengutip
tulisan dari Charles Beraf yang berjudul “Wisata Nonton Paus”: Terobosan
atau Kebodohan?” (Pos Kupang, 16/6/2017). Charles Beraf mengritik Pemerintah
Provinsi NTT yang bekerja sama dengan The Nature Concervacy yang
melaksanakan “Lokakarya Business Plan Wisata Menonton Paus di Provinsi NTT.” Ada
dua poin penting, pertama, pariwisata (turisme) yang dikembangkan di NTT
merupakan komodifikasi budaya NTT. Charles Beraf mengidentifikasi bahwa sedang
dan akan terjadi reduksi masif terhadap budaya NTT melalui pariwisata. Hal ini
bisa kita temukan dalam bentuk Festival irasional yang mana rakyat dijadikan
objek untuk mendatangkan uang. Gerakan seperti ini membuktikan bahwa sedang
terjadi tekanan dari atas yang akan membuat masyarakat dan budayanya sebagai
barang komoditi.
Kedua, masyarakat
harus menjadi subjek dalam proses pengembangkan pariwisata. Artinya, pemerintah
perlu mengubah dalil dasar yang dipakai yaitu festival besar-besaran untuk
mempromosikan budaya. Jika dalil tersebut dipakai, pola pikir masyarakat
terhadap budayanya telah direduksi. Mereka mempraktikan budaya bukan bertumbuh
secara alamiah tetapi karena ada dorongan pada bagian pariwisata yang
berorientasi pada uang melalui praktik hura-hura irasional. Maksudnya ialah,
rakyat harus difasilitasi untuk bertumbuh dalam budayanya dan pemerintah
melalui dinas terkait memberi dukungan positif tanpa harus “memaksa” masyarakat
untuk berjemur sambil menari mengelilingi gunung seperti pada expo Uyelewun Raya di Kedang Lembata.
Seniman Tari Nasional, Iwan Darmawan menegaskan, kita
mesti memisahkan budaya dan pariwisata. Kepentingan mengangkat sebuah tradisi,
adat, seni, dan budaya dalam masyarakat harus dibedakan dengan kepentingan
pariwisata sehingga identitas keaslian budaya dan indeks kepuasan masyarakat
tetap hidup (Flores Pos, 18/10/2018). Pendapat seniman ini menjadi sebuah
afirmatif bagi pemerintah untuk tetap kritis membedakan Pariwisata dan Budaya
masyarakat.
Paling
kurang Pemerintah harus memahami substansi dari sebuah warisan budaya khususnya
yang berkaitan dengan ritual-ritual tradisional yang tidak “seenaknya”
dirasionalisasi melalui dalil expo
budaya sebagai “pesta rakyat.”
Iwan
juga memberi dua masukan yaitu, pertama,
mengangkat kebudayaan dari bawah. Artinya, kita perlu berbaur secara langsung
dengan masyarakat sehingga akar-akar kebudayaan bisa diangkat keluar. Menurut
saya, pesan ini sangat positif bagi pegiat kebudayaan untuk sungguh-sungguh
menggali budaya masyarakat tanpa tujuan komoditas. Misalnya, melalui pembentukan
seni teater, sanggar dan kelompok-kelompok lainnya yang lahir dari masyarakat. Kedua, mengangkatnya dari atas. Namun,
ini sangat problematis jika tujuan yang ingin dicapai semata-mata demi
kepentingan pariwisata dan mungkin kesadaran berbudaya akan cepat luntur. Hal
ini akan mengakibatkan sebuah warisan sebagai sesuatu yang formalistis belaka.
Mencari
Solusi
Menurut Edward Tylor, kebudayaan
(culture) merupakan “keseluruhan yang rumit-kompleks, yang di dalamnya
terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat-istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat
oleh manusia sebagai anggota masayarakat.” Definisi ini mengindikasikan bahwa
budaya merupakan sebuah kekayaan yang perlu dilestarikan secara hati-hati
karena terdapat berbagai bentuk kebudayaan. Festival dan expo yang sudah dilakukan mesti bercermin pada definisi itu. jika
tidak, terjadi penyimpangan dalam memaknai kebudayaan masyarakat.
Solusinya, Pemerintah dan masyarakat harus
bekerja sama untuk menggali kembali dan mengembangkan budaya tanpa dalil promosi
pariwisata budaya yang dikemas dalam bentuk festival dan expo. Kerja sama yang dimaksudkan untuk melestarikan budaya bukan untuk
tujuan komoditas. Jika budaya yang dimaksud sudah bertumbuh kuat, otomatis
kemajuan pariwisata akan meningkat dengan sendirinya. Artinya, kita harus
sungguh-sungguh membedakan budaya dengan pariwisata seperti yang sudah direduki
dalam bentuk festival dan expo dengan
biaya mahal.
Kerja
sama efektif menurut saya ialah melalui pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan
perlu mengefektifkan pelajaran Muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah formal maupun
nonformal dalam masyarakat dan pemerintah mendukungnya melalui dinas terkait.
Misalnya, dinas pariwisata membantu pengembangan tenun ikat lokal yang ada
dalam masyarakat demi peningkatan ekonomi. Kampung-kampung adat perlu dihormati
dan diakui oleh pemerintah tanpa harus mencaplok hukum adat yang berlaku demi
pariwisata sehingga pariwisata dan budaya tidak berbenturan. Pelestarian
situs-situs bersejarah dengan tetap menjujung tinggi etika hukum adat dan perlu
didahului suatu pendalaman makna yang memadai. Jika tidak, kita hanya
menghadirkan tontonan dan merendahkan kegiatan adat yang memiliki nilai
religius yang tinggi (Budi Kleden, Kampung-Bangsa-Dunia, 2009:146).
Kreativitas
pemerintah dalam bentuk festival dan expo
tetap dilihat sebagai terobosan positif tetapi harus berkoridorkan pada nalar
yang rasional, karena kita hanya dapat mempromosikan budaya dengan pemikiran
yang jujur dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional; penuh pertimbangan
akan efek yang terjadi (Ibid., hlm.
177). Jangan sampai festival yang dikonstruksi menimbulkan perdebatan di tengah
masyarakat.
Pernah terbit pada Flores Pos dan Voxntt.com