Cerpen: Penantian Mia#Oleh Irene Sidok
![]() |
Ilustrasi foto Rian Odel |
“Hore, kami
mau sambut baru!" Begitu riuh suara anak-anak kelas IV SDI Ahuwair, tatkala
mendengar penyampaian dari Pak Abdon, guru Mata Pelajaran Agama. Bara angan
meletup-letup tak sabar menunggu dering pelajaran berakhir. Semua terlihat
mencoba mengekang gelora di dada. Gelora untuk segera menyampaikan kabar
gembira itu. Begitu dering lonceng
panjang meraung, semua berhamburan ke
luar dari kelas dengan wajah berbinar. Tak sabar menunggu respon orang tua menerima
kabar dari guru Agama tadi. Sambil bercanda ria bersama teman-teman, tak sadar
Mia sudah menerobos masuk di sebuah rumah yang nampak tua. Rumah tempatnya berlindung dari terik dan hujan.
“Mama...!
Ma..!”, panggil Mia sembari menghempaskan tasnya di atas bale-bale kamar
tidurnya. Dicopotnya sepatu butut dan kaos kaki yang telah memucat warnanya
dari kakinya yang mulai terasa pegal karena semangatnya berjalan untuk cepat
sampai ke rumah.
“Iya. Ada
apa? Kamu lapar?”, jawab mamanya dari kajang
tempatnya menenun setiap hari.
“Pak Guru
Agama bilang kami mau sambut baru sudah.”, lanjut Mia sambil menanggalkan
kemeja putihnya yang sudah memudar kecoklatan oleh debu tanah liat.
Lalu
beranjak ke dapur, membuka tutupan periuk, mencomot sepotong ubi lalu dimakan
dengan lahapnya. Sesaat dia melongo ke arah kajang[1],
memastikan apakah mamanya masih di sana. Sedikit heran karena tidak mendengar
respon mamanya. “ Kenapa mama diam saja?”, batin Mia. Diambilnya sepotong lagi
ubi di periuk, dimakannya sambil berjalan menuju tempat mamanya menenun.
“Ma, kami
sudah mau sambut baru. Benar, kata Pak Guru tadi.” , tegas Mia lagi.
“Iya. Mama
sudah dengar tadi.”, timpal mamanya tanpa ekspresi sambil tangannya sibuk
melakukan aktivitas tenunnya.
“Mama tidak
senang na?”, selidik Mia ketika
mendapati ekspresi mamanya yang datar itu.
“Kata
siapa? Mama senang ko.” jawab mamanya sekenanya sambil tersenyum. Senyum yang
terpaksa dihiaskannya demi Mia putri kesayangannya.
“Asyik...!”,
respon Mia semangat. Tanpa sempat membaca guratan sendu di wajah mamanya.
***
Setelah puas
menikmati istirahat kedua, siswa-siswi kelas IV tak sabar mengikuti pelajaran
Agama bersama Pak Abdon. Tidak
sebagaimana biasa mereka sudah rapi di kelas, siap menyalami Pak Abdon yang
diyakini membawa berita baru mengenai sambut baru. Setelah kompak menyalami Pak
Abdon mereka kembali duduk rapi. Mia duduk di deret paling depan.
“Nah,
anak-anak, hari Minggu depan setelah misa
kalian harus ikut kegiatan SEKAMI. Ini persyaratan agar kalian bisa
sambut baru.”, tegas Pak Abdon sebelum memulai pelajaran. “ Iya, Pak”, jawab
mereka kompak.
Kegiatan
SEKAMI selama sebulan diikuti Mia dan kawan-kawan sekelasnya dengan penuh
semangat. Sebelum menutup kegiatan, Ibu Seli, guru SEKAMI berpesan bahwa mulai
minggu depan akan dimulai pendampingan bagi orang tua calon sambut baru. Diwajibkan
orang tua ikut misa dan setelahnya mengikuti pendampingan tersebut, karena akan
diabsen. Sebuah ancaman yang mujarab bagi orang tua calon sambut baru setiap
tahun.
“Mama,
Minggu depan pergi sembayang sudah. Nanti diabsen.”, kata Mia sembari
menanggalkan pakaian Gerejanya yang seadanya itu.
“Mama belum
punya baju untuk misa juga.”, timpal mamanya mencari alasan.
“Pake baju
lama dengan sarung saja juga baik ko mama.”
“Iya.” Jawab
mamanya sengaja menutup percakapan itu.
“Pokoknya aku harus terus mengingatkan mama.”, batin Mia semangat. Sementara itu, di atas bale-balenya Mia terbaring, hanyut sesaat dalam angan-angan penuh warna suka cita. Baju yang akan dikenakannya, juga orang-orang yang akan menyalaminya silih berganti menari- nari di dalam angannya.
***
“Mia! Woe
Mia! Pak Abdon panggil tu. “, teriak Cika teman sekelas Mia. Segera Mia
berbalik ke arah suara itu dan berlari tergesa ke ruang guru. Disusul Cika dari
belakangnya.
“Mia, Ayo
masuk.”, ujar Pak Abdon begitu melihat Mia berdiri ragu di depan pintu ruang
guru dengan napas tersengal. Cika yang berdiri tepat di belakangnya
mendorongnya agar Mia segera masuk.
“I..Iya,
Pak.”, jawab Mia gugup lalu bergegas masuk dengan beribu rasa penasaran di
dadanya.
“Jadi
begini,Mia. Tahun ini kamu belum boleh sambut baru.” ,lanjut Pak Abdon
“Ta...tapi,
kenapa,Pak?”, sahut Mia gugup. Belum yakin benar dengan kalimat yang baru saja
didengarnya. Harapannya semoga dia sedang salah dengar.
“Maaf Mia.
Setelah bapak cek administrasi kamu, ternyata kamu belum permandian.”, jelas
Pak Abdon cukup hati-hati.
“Ja..jadi?”, tanya Mia tak mengerti. Pesona di wajahnya memudar sekejap. Dahinya
berkerut. Segurat kecewa membias di wajah lugunya. Pak Abdon berusaha menatapnya setenang
mungkin.
“Kamu belum
boleh sambut baru.” ,tegas Pak Abdon lagi.
“Nanti aku
kasih tau mama supaya permandian, Pak.” Semangatnya tersembul dari dada
kecilnya yang sedang tak banyak mengerti itu.
“Tapi, Mia.
Itu tidak mungkin. ”, potong Pak Abdon dengan nada iba sembari menatap Mia
dengan harapan agar Mia memahaminya. Tatapan yang tanpa disadarinya memenggal
asa Mia yang meletup-letup.
“Tidak
mungkin? “ tanya Mia sambil menyeka keringat yang mulai berguguran. Dahinya berkerut lagi. Berpikir keras mencari
jawaban dari pertanyaannya sendiri. Sendi-sendi tangannya dirasakan seperti tak
ada tenaga lagi. Wajahnya memucat. Sepenggal asa yang menyeruak dari bilik
hatinya bagai komando yang mengharuskan Dia segera beranjak dari ruang guru.
Mia harus segera menemui mamanya. Sekarang juga. Lebih cepat, lebih baik.
Ditinggalkannya Pak Abdon yang masih menatapnya. Tanpa permisi. Direnggutnya
tas butut yang senantiasa melekat dipunggungnya saban hari. Berhambur keluar
dari kelasnya yang mulai riuh memperbincangkannya. Tak digubrisnya semua itu.
Biarkan saja. Mamanya yang akan menjawab semua pertanyaan mereka. Mamanya belum
pernah melewatkan satupun pertanyaannya tanpa jawaban. Mamanya selalu punya
solusi untuk setiap persoalan. Bahkan ketika Mia merindukan belaian seorang
bapak, mamanya bisa menghadirkan seorang bapak baginya. Meski di mata orang, itu kenyataan yang penuh
ironi namun di mata Mia, mamanya adalah superhero yang bisa mengabulkan setiap
permintaanya.
Di tengah deru kendaraan yang
lalu lalang dan matahari yang mulai memanggang tubuh mungilnya, Mia menyeret
langkahnya yang berat dengan kepala tertunduk. Terik siang itu tidak
menyurutkan langkah Mia. Sementara berseliweran pernyataan tidak mungkin dari
Pak Abdon dan kenyataan-kenyataan yang membuatnya tak jemu-jemu mendewakan mamanya.
“Mamaku pasti bisa menolongku. Pak Abdon harus tau itu..”, batin Mia di tengah kecamuk suara hati yang mencoba memadamkan asanya. Dulu Mia hampir gagal masuk SD karena belum permandian tapi mamanya bisa menghadap Ibu Agnes guru kelas I, dan akhirnya Mia bisa diterima. Sekarangpun pasti bisa. Langkahnya dipacunya semakin cepat. Matanya silih berganti beradu dengan jemari kakinya yang menyeruak dari ujung sepatu hitamnya yang sudah memudar pesonanya. Meski begitu, semangat di dadanya masih menyala-nyala bagai lilin kecil yang enggan padam walau diterpa angin.
****
Rumah reot
yang mulai rapuh tiang bambunya, setia menunggu kembali Mia dari sekolah. Mia mengurungkan
niatnya untuk menurunkan periuk kecil dari gantungannya. Toh bukan untuk itu
dia membolos. Masih disempatkannya meneguk segelas air putih di tengah deru
napasnya yang masih tersengal.
“Mia...!
Kaukah itu?”, teriak mamanya dari kajang,
demi didengarnya suara di dapur yang sudah cukup dikenalnya setiap siang. Mia
tak segera menjawab. Masih dengan tas dipunggungnya, dihampirinya mamanya yang
sedang menenun. Aktivitas rutin yang
dilakukan mamanya untuk menyambung hidup mereka.
“Hari ini
pulang cepat?”, tanya mamanya tanpa menoleh.
“Ma, aku
mau permandian.”, ujar Mia tak menimpali pertanyaan mamanya. Raut muka mamanya
berubah seketika.
“Kamu sudah
makan? Kenapa tidak ganti baju dulu?” kata mamanya mencoba mengalihkan
pembicaraan.
“Aku belum
lapar. Mama, aku bisa permandian,kan?”, buru Mia berusaha membawa mamanya
kembali ke topiknya.
Mamanya
masih berusaha tenang. Dikendurkannya tali pengikat pine[2]
perlahan dari pinggangnya. Digulungnya tenunannya hingga sebatas lututnya.
“Ayo, kita
makan dulu. Mama juga sudah lapar. Sana ganti baju dulu.” Mia menuruti mamanya
meski enggan karena belum mendapat kepastian. Mendahului mamanya dengan
harap-harap cemas, Mia menuju bale-balenya. Ditariknya gardus pakaiannya yang
juga biasa dipakainya sebagai alas untuk menulis, dikeluarkan sehelai baju
kusut dari dalamnya. Dikenakannya secepatnya lalu menuju ke bilik dapur yang
bersekat dinding pelepa itu, untuk menanti jatah makan siang dari mamanya. Mia
tertegun sejenak menatapi nasi jagung di piringnya. Sepotong ikan rebus yang
melengkapi hidangannya tidak juga menarik minatnya untuk segera menyantapnya.
Bukan karena tak lezat. Satu hal yang membendung nafsu makannya adalah
kata-kata Pak Abdon tadi di sekolah. Lalu lintas keraguan di benaknya begitu ramai.
“Mia,
kenapa tidak makan? Ikannya sedikit ya? Ni, mama tambahkan bagian mama.” Kata
mamanya mencoba memecah keheningan siang itu. Sedikit bersandiwara agar bisa
mengalihkan fokus pertanyaan Mia sejenak. Paling tidak sampai dia menemukan
waktu yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu.
“Ma, aku
bisa permandian, bukan?”, kata Mia tiba-tiba. Mamanya tersentak hebat.
Pertanyaan itu bagai palu godam yang menghantamnya. Karena memang dia belum
mampu menjawabnya sekarang. Tapi, pertanyaan yang sama itu sudah dilontarkan
bertubi-tubi padanya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Dibalutnya ekspresi
wajahnya yang sempat kacau dengan ketenangan seorang mama. Mia cemas-cemas harap.
Tak memalingkan sedikitpun tatapannya dari wajah pahlawannya itu. Mungkin
sedikit anggukan saja akan sangat membuatnya bernafsu untuk menyantap nasi di
depannya. Mia ingin mendapatkan satu jawaban dari tatapan mamanya yang tenang
itu. Sementara mamanya terhanyut sejenak ke masa silamnya hingga akhirnya
sampai pada satu keputusan untuk mengatakan sebuah kebenaran. Tatapan memohon
di mata Mialah yang mendorongnya untuk mengungkapkannya.
“Kau belum
bisa permandian, Mia.”, kata mamanya kemudian.
“Tapi,
kenapa Ma? Mama kan bisa kasih tau bapa Romo.”, buru Mia tak sabar.
Keyakinannya begitu kuat. Dulu hanya dengan bertemu Bu Agnes saja dia bisa
sekolah walau belum permandian. Pasti sekarang juga bisa. Begitu pikirnya.
“Tidak
semudah itu, Nak.”
“Kenapa?”
“Mama dan
bapakmu belum nikah.”
“Nikah
saja. Apa susahnya?
“Tidak
bisa, Mia. Bapamu sudah menikah, punya istri dan anak. Agama kita tidak ijinkan
yang begitu.”
“Kenapa mama
mau? Memangnya tidak ada laki-laki lain?”
“Mia!
Hentikan!”
“Kenapa Ma?
Mama bilang akan selalu buat senang aku? Kenapa Mama buat aku begini? Mama
jahat............. Mama tidak sayang aku. !” teriak Mia memecah keheningan
siang itu.
Tangis Mia
pecah. Mia segera turun. Bale-bale tempat tidur adalah peraduannya kini.
Dicampakannya gardus tempat menyimpan pakaiannya ke tanah. Dihamburkannya
bantal yang isinya sudah menyembul ke luar itu hingga berserakan memenuhi bilik
pembaringannya itu. Dikepalkan tinju sekuat-kuatnya ke bale-balenya yang mulai
usang. Bruk! Bruk! Pelupuh bale-balenya patah. Ada perih di jemari mungilnya.
Berdarah. Ekspresi kecewa yang dalam. Sedalam luka yang tertoreh di hati
polosnya. Kebingungan, kekecewaan, kehancuran mendera batinnya yang belum bisa
mencerna semuanya. Akal sehatnya dipaksakan berpikir namun tiada jua ia
mengerti karena akalnya yang belum sepanjang orang dewasa. Yang dirasanya
adalah rasa bangga pada mamanya selama ini adalah sebuah kepalsuan. Jadi lelaki yang diperkenalkan mamanya
sebagai bapak itu adalah milik orang lain. Pantas saja, bapaknya hanya mengunjungi
Mia dan mamanya seminggu, bahkan sebulan sekali. Sedikit terhibur karena ada
yang bisa dipanggilnya bapak seperti kebanyakan teman lainnya. Paling tidak biar
teman-temannya tidak mengejeknya karena tidak berayah. Toh mereka juga tidak terlalu
mengerti tentang itu. Bapak biologisnya yang meninggalkannya sejak dalam kandungan
mamanya, juga hilang entah di mana. Mia benar-benar terjebak dalam kehidupan
rumah tangga yang pelik. Dibenamkan wajahnya sedalam-dalamnya ke bantal yang sudah berbau tak sedap. Bantal butut itu
sudah basah oleh air matanya. Semuanya tampak gelap, segelap dunianya kini.
Dirasakannya sentuhan di punggungnya. Sadar bahwa mamanya menghampirinya,
ditepisnya tangan itu dengan kasar. Pikirnya kalau mamanya tak bisa
membantunya, buat apa dia mendekatinya lagi.
“Pergi...........! “
“Mia.”
“Mama tidak
sayang aku,kan? Pergi saja. Jauh sana”
“Mia! Boleh
kau marah mama. Pukul mama kalau mau. Tapi jangan bilang mama tidak sayang
kamu, Nak.”, tangis mamanya memecah. Air matanya berguguran tak tertahan lagi. Bagai
hujan di terik siang. Semuanya tercurah bagai dicucurkan dari langit. “ Maafkan
Mama. Maaf sekali. Masa lalu mama yang hitam itu sudah mengorbankanmu sekarang.
Hukum saja mama karena tidak bisa bantu kamu kali ini. Bukan karena sengaja
tapi karena waktu itu mama sendiri juga tidak tahu akan begini akhirnya. Ini
semata karena kebodohan mama. Mama menyesal sekali. Mama berdosa terhadapmu.
Maafkan mama kalau kamu bisa.”
Mia merasa tak berdaya. Ungkapan penyesalan mamanya membuatnya bagai terjaga dari mimpi buruknya. Benar saja. Kalau mama dimintanya pergi, siapa lagi yang akan bersamanya. Bapaknya? Tidak mungkin. Hampir setengah tahun ini, lelaki itu tak datang. Lelaki itu sedang bersama istri dan anak-anaknya. Dibiarkannya mamanya rebah di atas punggungnya yang mulai letih. Dia bangun. Membalikan badannya. Menatap mamanya lalu rebah dipelukan mamanya. Dalam kegalauan Mia masih mendapatkan ketenangan yang terpancar dari dada wanita yang baru saja sangat dibencinya. Wanita yang berjuang tanpa menggantungkan harapan pada uluran tangan dari siapapun termasuk pada lelaki yang dianggapnya bapak itu.
******
Di atas
bale-bale bambu tempat pembaringannya, disibaknya lembar demi lembar
kerinduannya yang mengelabu. Matanya masih enggan terpejam meski malam kian
beranjak. Sementara gelap semakin memekat menyelimuti Mia malang yang mengalah
oleh batasan takdir. Penjelasan mamanya yang belum sepenuhnya dipahami oleh
pikirannya yang masih kecil itu, harus tetap dimaklumi. Bahwa Gereja telah
mengatur seperti itu dan wajib dipatuhi oleh akalnya meski ada protes di
hatinya. Bertanya-tanya dalam hatinya, adakah salahnya sampai dia harus
menanggung rindu yang seberat itu akan Yesus. Kalau memang hidupnya adalah
sebuah kesalahan, mengapa dia harus dibiarkan ada? Namun, hati kecilnya tak
tega juga kalau harus menghakimi mamanya seumur hidup. Karena mamanyalah yang
telah melahirkannya. Maka dibiarkannya rindu itu makin menyayatnya apalagi melihat teman sekelasnya dengan tangan
terkatup berlangkah pasti menyambut tubuh Kristus.
“Salahkah aku jika aku yang hina ini merindukan-Mu,
Yesus? Apakah aku harus menanggung dosa yang tidak ku buat? Bukankah Engkau
datang untuk menghapus dosa kami? Ampuni mama karena mama tidak tahu apa yang
dia perbuat.”, doa Mia dalam sujudnya di keheningan malam itu. Simpang siur
pertanyaan yang mewakili rindunya yang kian hari kian membuncah, terus berlalu
lalang di benaknya yang bening. Rimbunnya
dedaunan pengharapan yang menghijau di hatinya untuk bertemu Yesus, gugur satu
persatu menuju ke kegersangan jiwa yang memprihatinkan. Mia masih hatus menanti
hingga kini.
[1] kajang : tenda yang terbuat dari daun kelapa
digunakan oleh wanita Sikka untuk menenun
[2] pine : alat tenun yang diikatkan pada panggul
untuk mengikat tenunan
*Irene Sidok; Guru SMP PGRI 1 Egon Waigete-Sikka, Nusa Tenggara Timur.
Karya-karyanya bisa ditemukan pada media zonanusantara.com.