Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Catatan perjalanan Rohani di Israel (Bagian 1)

Selayang Pandang Israel dan Awal Hari di Galilea

Cuplikan Catatan Perjalanan


Oleh Pius Kulu Beyeng

 

Israel hampir tidak bisa dilepaskan dari kata “konflik.” Multikonflik. Tidak saja waktu belakangan ini, tetapi sejak permulaan bangsa itu, setidaknya dari sejarah bangsa itu sendiri. Mulai dari kontroversi kepemilikan terhadap seseorang yang bernama Abram yang kemudian bernama Abraham – sebuah pristiwa yang diyakini sebagai janji Allah kepada Abraham ketika masih di tanah mesopotamia. Perpindahan Abaraham dari Mesopotamia ke tanah Kanaan, perjanjian Allah kepada Abraham dan Sara istrinya, keturunan Abraham, Ishak putranya, cucunya Esau dan Yakub yang kemudian disebut dengan Israel. Kedua belas Putera Yakub yang kemudian menjadi dua belas suku Israel, peristiwa muhibah Yakub meninggalkan Kanaan ke Mesir; keturunan Yakub berpartisipasi di Mesir, diawali oleh Yosef putra bungsu Yakub menjadi raja muda memabantu raja Firaun. Masa perbudakan di Mesir setelah Yosef meninggal, ketika keluar dari Mesir menuju tanah terjanji, masa nomaden dalam pengembaraan di padang gurun. Sebuah cerita perjalanan yang penuh dengan adegan peperangan – melawan bangsa Agak, Amalek dan lain-lain.

Ketika memasuki gerbang tanah terjanji, mereka berperang dengan penduduk yang sudah ada di situ  yang menyebut dirinya sebagai tuan tanah yaitu bangsa Filistin atau Palestina yang dikisahkan dalam peristiwa seorang bocah bernama Daud membunuh si Raksasa, Goliat namanya. Duel dua toko ini terjadi pascabertubi-tubi kekalahan yang menimpah orang Israel.

Tidak ada penjelasan yang cukup memadai dalam arti dapat diterima masing-masing pihak. Israel merasa sebagai tanah kepunyaan nenek moyangnya sesuai dengan janji Allah. Sementara itu, Palestina merasa sebagai ibu pertiwinya. Dari kaca mata orang Palestina, Israel adalah orang asing yang baru saja datang dan seenaknya mencaplok serta menganeksasi tanah airnya.  Kita masih ingat kata-kata Yasser Arafat pada bulan Maret 1972 di Amman, ketika diwawancarai oleh Wartawati Italia, Oriana Falaci, demikian – saya mengutip lurus wawancara itu. “Tidak ada yang dapat melarang saya untuk bepergian kemana saja, karena Palestina adalah Tanah Airku dan juga tidak ada perdamaian bagi kami. Kami menghendaki peperangan, kemenangan. Perdamaian bagi Palestina adalah pembasmian Israel.... Kami berjuang sampai menang. Puluhan tahun. Kalau perlu regenerasi.”

Konflik di Palestina, jika ditilik dengan jernih sangat jauh dari konflik agama. Realita menunjukkan bahwa 40 % penduduk Palestina beragama Kristen dan di Israel beragama Yahudi dan Atheis. Selebihnya adalah para pendatang dan pekerja yang sebagian terbesarnya adalah bangsa Arab. Dalam sebuah wawancara dengan tiga kepala pemerintahan Timur Tengah, tempat dan waktu berbeda oleh Wartawati Italia Oriana Fallaci, pada tahun 1972, yakni dengan pemimpin PLO Yasser Arafat, raja Yordania Hussein serta Golda Mayer, perdana mentri Israel, nyaris tak sedikitpun disinggung soal agama. Isu yang dibahas adalah soal peperangan dan saling tuding tentang wilayah dan hak kepemilikan tanah, beda kehendak dan persepsi politik masing-masing dengan berkiblat pada dua kata “perundingan” dan “perjanjian.” Yasser menghendaki kembali ke situasi sebelum perang tahun 1967; Golda membantah bahwa Yasser salah dalam membaca peta, sementara raja Hussein mengeluhkan kesulitan karena masuknya kaum Fedayen, yang baginya dihadapkan pada pillihan sulit karena sesama bangsa Arab, berbahasa Arab dan beragama sama. Raja Hussein nampaknya lebih ingin keluar dari peperangan ketimbang meneruskannya. Persoalan yang paling krusial justru datang dari Yasser. Ia menolak “perjanjian” karena baginya, perjanjian berarti pengakuan akan eksistensi Israel. Ia selalu menghindar untuk menjawab pertanyaan tentang batas wilayah negara Palestina sebagai salah satu syarat berdirinya sebuah negara. Sebagai gantinya, Yasser menyatakan bahwa perdamaian bagi Palestina adalah peperangan, kemenangan dan pembasmian Israel. 

Memerhatikan konflik Timur Tengah, rasa-rasanya sulit membayangkan adanya suatu perdamaian.  Perdamaian itu sepertinya masih sangat panjang layaknya melewati jalan berkelok-kelok dan entah sampai kapan tercapai. Namun, di tengah hingar-bingar konflik tersebut, ada juga banyak hal menarik khususnya di bidang pertanian. Masyarakat awam berintegrasi seperti biasa; warga negara Arab di Palestina dan Yordania mempunyai saudara-saudara bangsa Arab di Israel, bahkan banyak juga ynag bekerja di Israel. Lebih menarik lagi adalah hubungan antarnegara, antara Israel dengan dua negara arab yakni Yordani dan Mesir yang sedikit adem ketimbang lainnya. Apakah hal itu ada hubungannya dengan kultur ketimuran dari ketiga bangsa itu mengingat relasi Israel dan Mesir di Masa lalu, terlebih mengingat sebuah pertanyaan penting; mengapa bayi Yesus dan keluarga kudus justru harus mengungsi ke Mesir dan bukan ke tempat lain? Apakah ada hubungannya dengan tali pusar Israel yang ada di Mesir? Rumah gantung, tempat keluarga kudus tinggal selama pengungsian di Mesir yang kini menjadi destinasi wisata rohani para peziarah dan wisatawan sejagad masih menjadi saksi bisu hingga kini. Pertanyan yang hampir sama untuk Yordania adalah; apakah ada hubungannya dengan masa lalu karena kekerabatan selama empat puluh tahun pengembaraan Israel di padang gurun Yordania? Walahu’alam. 

Namun, ada satu hal lagi, yang menarik adalah sebuah tradisi yang dilakukan selama Yasser Arafat masih hidup – entah sekarang – yakni kehadirannya pada Misa Malam Natal di gereja kelahiran (Church of Nativity) di Betlehem. Sebuah kursi untuk Yasser Arafat disiapkan secara khusus di dalam gereja itu. Dia hanya hadir dan duduk di kursi istimewa tersebut bukan terlibat aktif dalam perayaan misa malam natal. Kehadirannya sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Isa yang adalah salah seorang nabi dalam agama Islam.

***

Berbicara tentang konflik Palestina-Israel, di samping faktor internal sebagaimana disebutkan di atas, juga sering dipicu faktor eksternal. Selain masalah dalam negri Palestina sendiri juga faktor kesenjangan sosial. Kapan pertikaian itu berakhir? Bagaimana cara untuk mengakhirinya? Perlukah dunia internasional berbaik hati tetapi netral ikut memediasi? Apakah sebuah itikad baik seperti itu sekiranya ada, dapat diterima baik oleh para pihak yang bertikai? Dan masih banyak pertanyaan lain lagi. Atau, apakah mungkin konflik itu adalah motif kultural-budaya ketimuran yang masih ada dan berlangsung di dunia timur yakni konflik dua bersaudara, yang satu ayah tapi berbeda mama? Juga walahu’alam...bersambung

 


Post a Comment for "Catatan perjalanan Rohani di Israel (Bagian 1)"