Membaca Ulang Pemikiran Wakil Bupati Lembata# Oleh Rian Odel
![]() |
Rian Odel |
Aktivitas berpikir dan berpolitik
dalam membangun kehidupan polis, sebenarnya
sudah direfleksikan oleh para filsuf Yunani kuno, khususnya yang dapat
ditemukan dalam pemikiran Aristoteles. Berdasarkan
konsep manusia yang dipahaminya sebagai makhluk rasional (animal rationale) atau makhluk yang berpikir (zoon logon echon) dan sebagai makhluk yang berpolitik (zoon politicon), Aristoteles mengecam
negarawan yang suka berpolitik tetapi mengabaikan aspek spiritual, yang
berkaitan dengan esensinya sebagai makhluk rasional (Yosef Kladu Koten, 2010).
Seorang
negarawan (baca politisi), karena itu, menurut Aristoteles mesti memiliki
keseimbangan dalam berpikir dan berpolitik. Bahkan bisa dipastikan bahwa
Aristoteles lebih mementingkan aspek berpikir daripada aktivitas politik (Ibid.,). Pada titik ini yang lebih diprioritaskan
oleh Aristoteles adalah manusia sebagai makhluk yang berpikir daripada manusia
sebagai makhluk yang berpolitik.
Namun
keutuhan manusia tidak bisa dibangun di atas dualisme konseptual tentang
manusia semacam ini. Lebih dari itu dalam membangun kehidupan bersama, manusia
perlu menyadari dirinya sebagai makhluk yang berpikir serentak sebagai makhluk
yang berpolitik. Berpikir dalam konteks ini berkaitan dengan pengetahuan
teoretis. Sebaliknya berpolitik, berkaitan dengan pengejawantahan atas
pengetahuan teoretis ke dalam tindakan praktis.
Atau
dalam simplisitasnya pemahaman, pengetahuan teoretis berkaitan dengan “data”.
Sedangkan tindakan politik praktis berkaitan dengan “bukti”. Oleh karena itu, dalam
membangun kehidupan politik menuju tercapainya bonum commune seorang politisi yang terpilih bukan hanya memiliki
kemampuan dalam kerja politik praktis tetapi juga mesti memiliki kemampuan
intelektual yang kompeten untuk menganalisis situasi polis yang sedang ia pimpin berangkat dari data-data yang ada di
lapangan.
Di kabupaten Lembata, Nusa Tenggara
Timur, seorang pemimpin dalam hal ini Wakil Bupati Lembata memberikan argumentasi
rasional layaknya seorang titisan dewa dalam perspektif Yunani kuno setelah
mendapat kabar bahwa Lembata berhasil dipilih sebagai salah satu daerah
tertinggal di Indonesia. Hal ini berpedoman pada Peraturan presiden Nomor 63
Tahun 2020 tentang Penetapan daerah Tertinggal Tahun 2020-2024. Mantan Dosen
Unwira Kupang tersebut menegaskan, salah satu faktor kunci ketertinggalan
kabupaten Lembata terletak pada infrastruktur yang belum memadai (https://kupang.tribunnews.com/2020/05/10/lembata-jadi-daerah-tertinggal-wabup-langoday-sebut-masalah-infrastruktur).
Menurut dia, infrastruktur dapat memperlancar aktivitas masyarakat dalam meningkatkan
proses perekonomian. Masyarakat khususnya di pelosok-pelosok akan dengan
efektif dan efisien menjual hasil komoditas mereka di pasar.
Sebagai masyarakat Lembata, saya
menilai positif argumentasi yang dilahirkan oleh Wakil Bupati tersebut sebab
melaluinya dapat kita pahami isi kesadaran pemerintah tentang kekurangan dalam
nahkoda politik selama ini. Wakil bupati Lembata (seterusnya Thomas Ola) masih
menyadari dirinya sebagai negarawan yang berpikir tentang Polis.
Namun,
persoalannya terletak pada aktivitas politik yang salah sehingga membawa
Lembata masuk pada kategori daerah tertinggal. Terlihat jelas kontradiksi
antara berpikir dan berpolitik atau lebih sederhana ada keterlambatan berkata
jujur tentang data-data yang sebenarnya sebagai bukti aktivitas politik di
Lembata. Kejujuran baru disadari pascadata dari pusat – selama ini apa yang
Anda pikirkan? Walaupun demikian, apresiasi tetap kita berikan kepada Thomas
Ola sebagai representasi dari pemerintah Kabupaten Lembata tentang argumentasi
rasionalnya. Pertanyaan kita sebagai masyarakat tentunya berkaitan dengan
solusi nyata sebagai hak yang kita rindukan.
Thomas Ola dan Parrhesia
Parrhesia merupakan istilah kunci
Michel Foucault (1926-1984) yang secara singkat dapat didefinisikan dalam
kaitannya dengan mengatakan kebenaran atau berbicara secara benar. Namun,
pemikir Prancis tersebut, dalam sebuah seminar – sebagaimana dijelaskan Kondrad
Kebung dalam buku Michael Foucault: Parrhesia
dan Persoalan Mengenai Etika (1997) – mengatakan, ia sama sekali tidak
berbicara tentang kebenaran tetapi “problematisasi” Parrhesia atau berbicara
secara benar dan atau menceritakan yang benar.
Dalam
proses berbicara yang benar, Foucault selalu mengaitkan kebenaran atau
pengetahuan dengan kuasa. Atau dengan perkataan lain selalu ada relasi antara
kebenaran atau pengetahuan dengan kuasa. Kuasa sendiri tidak hanya dimengerti
secara negatif sebagai tekanan dan dominasi, tetapi juga harus dimengerti dalam
arti positif sebagai fungsi dan strategi (Kondrad Kebung, 1997). Dalam kaitan
dengan kuasa yang bersifat strategis ini, kebenaran selalu berada dalam terang
relasi antara seseorang dengan orang lain. Demi mengatakan kebenaran yang
berterima bagi orang lain subjek yang mengatakan kebenaran mesti berada pada
kebebasan berpikir dan bertindak berdasarkan data dan bukti yang rasional dan
bukannya rasionalisasi atas data dan bukti tersebut.
Terlepas
dari penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Thomas Ola sebagai
seorang subjek yang bebas telah secara positif berargumentasi tentang kebenaran
dalam relasinya dengan yang lain dalam hal ini masyarakat Lembata. Wacana yang
ia lontarkan sesuai dengan fenomena kebenaran yang ada di Lembata terutama
berkaitan dengan ketidakberesan pada infrastruktur. Oleh karena itu, Parrhesia
yang dilahirkan Thomas Ola kemudian memberikan kepada kita suatu kebebasan
berpikir dan menilai secara kritis tentang aktivitas politik pemerintah
Lembata.
Pertanyaan
kritis kini ialah, mengapa infrastruktur di Lembata tidak diperhatikan secara
serius? Pemerintah Lembata mesti secara jujur atau mengatakan kebenaran soal
kegagalan pembangunan infrastruktur di Lembata yang mengakibatkan nama buruk
Lembata di mata nasional. Setelah pernyataan jujur dari Thomas Ola, lembaga
pemerintahan di kabupaten itu mesti merevaluasi cara kerja selama kurang lebih
sepuluh tahun jika dihitung sejak kepemimpinan Eliaser Yentji Sunur
(selanjutnya Yance Sunur) pada periode pertama. Sungguh jelas bahwa
infrastruktur sama sekali atau kurang diperhatikan. Terkesan ada apatisme tingkat
dewa dalam melihat situasi Negeri kecil salah urus tersebut. Revaluasi yang
dihasilkan mesti secara jujur disampaikan kepada publik Lembata. Pemerintah
sebagai subjek yang mampu berpikir dan bertindak secara benar semestinya mampu
mengatakan kebenaran dalam relasinya dengan warga Lembata. Bukan hanya
mengatakan kebenaran tetapi lebih dari itu melakukan kebenaran dalam tindakan
politik praksisnya.
Yang Salah dari Thomas Ola
Subjudul yang terlihat barbar
tersebut bukan hanya ditujukan kepada Thomas Ola selaku wakil bupati Lembata
tetapi juga tembusannya kepada Yance Sunur dan juga tentunya untuk para wakil
rakyat. Tanpa perlu menganalisis secara serius, setiap orang tentu sudah bisa
menarik kesimpulan bahwa argumentasi yang dibangun Thomas Ola adalah sebuah
kejujuran yang mengafirmasi kesalahan. Dia mengatakan kebenaran dari kesalahan
politik yang didesain selama ini yaitu lupa memerhatikan infrastruktur Lembata.
Namun, bisa diduga; jika tidak ada data resmi dari pusat, praktik apatisme
terhadap pembangunan urgen yang mejadi kebutuhan masyarakat Lembata akan terus
diproduksi secara tahu dan mau. Sangat miris tentunya, mengatakan Lembata gagal
dalam infrastruktur tetapi tetap ngotot membangun proyek raksasa di Pulau
Awololong yang kebenarannya masih tidak jelas. Infrastruktur tertinggal tetapi
pesta festival dengan biaya besar jalan lancar setiap tahun.
Kontradiksi-kotradiksi seperti ini mewakili praktik buruk lainnya yang telah
diciptakana secara rapi oleh Pemerintah Kabupaten Lembata. Makanya, tidak
mengherankan jika Steph Tupeng Witin menulis buku Lembata Negeri Kecil Salah Urus (2016). Dalam buku tersebut nampak
jelas ratusan kebobrokan yang terjadi di Lembata dan salah satunya selaras
dengan pernyataan oleh Thomas Ola. Apakah Thomas Ola selaku representasi
pemerintah Kabupaten Lembata merasa bersalah dengan apatisme politik yang
merugikan masyarakat dan “tentu saja” menguntungkan golongan elit sepihak yang tengah
berkuasa? Proyek Awololong, Wei lain, Puskesmas penyanggah di Balauring dan
proyek mubazir lainnya; apakah itu bukan termasuk dalam bukti-bukti kegagalan
pemerintah Lembata? Saya menulis demikian karena yang ada dalam kepala wakil
bupati hanya infrastruktur yang berkaitan dengan jalan yang ia klaim sebagai
pelancar aktivitas ekonomi masyarakat di pelosok-pelosok. Pada akhirnya;
pemerintah mesti bertanya diri; apa yang salah dari cara berpolitik membangun bonum commune di Lembata? Apakah egoisme politik untuk menguntungkan
golongan dan partai politik tertentu masih menjadi tujuan primer? Apakah
keuangan daerah disalahgunakan demi kepentingan oknum-oknum tertentu? Oleh karena itu, para titisan dewa yang
memimpin Lembata mesti membaca ulang definisi dari politik, mampu berkata
jujur, mendengarkan suara kritis eksternal dan tentu saja mempertimbangkan
dampak futuristik dari sebuah kebijakan yang diputuskan bersama para wakil rakyat.
Menurut saya, salah satu kesalahan pemerintah – walupun sesuai dengan peraturan
Undang-Undang – adalah mengambil keputusan tanpa didahului dengan konsultasi
publik; seolah-olah publik adalah subjek skunder dalam politik.