Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Spirit Nasionalisme Soekarno, Teladan Bupati Sikka dan Gotong-Royong Lawan Covid-19

                                                                                        

                                                                                 

Oleh Antonius Rian*


 

            Ir. Soekarno, bapak bangsa kita, dikenal karena kharismanya untuk memengaruhi jiwa rakyat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satu spirit yang sering dikompanyekan oleh soekarno adalah persatuan Indonesia. Ia tak pernah bosan mengajak masyarakat Indonesia untuk bersatu dan gotong-royong dalam menghadapi setiap persoalan bangsa. Kekuatan retorika Soekarno secara sistematis dapat kita temukan pada butir-butir Pancasila yang hingga kini masih menjadi dasar kokoh negara Indonesia. Selain dikenal karena optimismenya mengganyang penjajah, ia juga dikenal sebagai bapa bangsa yang nasionalis dan sangat mencintai rakyatnya. Ia sosok yang pantas menjadi teladan dalam kepemimpinan politik menuju bonum commune.

            Ketika Indonesia hadir dalam wajah pluralisme agama misalnya, Soekarno mengajak semua rakyatnya yang terbagi dalam penganut berbagai macam agama tersebut untuk tetap mencintai Indonesia dengan kekuatan budaya Nusantara yang kaya raya. Ia menegaskan, hanya nasionalisme ke-timur-an yang sejati, pantas dipeluk oleh nasionalis timur yang sejati (Soekarno, 2018: 17). Artinya, Soekarno tidak menghendaki adanya perpecahan apalagi gara-gara agama; ia menghendaki seluruh rakyat Indonesia untuk tetap berbhineka tunggal ika. Contoh yang ia pakai misalnya, orang Islam Indonesia yang karena alasan agama, otomatis melampaui satu bangsa, tetapi itu tidak mesti menjadi rintangan dalam gerakkan satu keluarga bangsa Indonesia dengan pluralitasnya yang sejati (Ibid., hlm. 18).

            Spirit kepempinan model ini tidak mesti dibaca hanya pada konteks politik tempo dulu tetapi juga mesti menjadi nutrisi politik masa kini khususnya ketika Indonesia dilanda krisis kehidupan ulah Covid-19. Semangat nasionalisme Soekarno mesti merangsang setiap pemimpin rakyat untuk mampu menggerakkan semangat juang rakyat dan teladan konkrit dalam rangka melawan Covid-19. “Mulut berbisa” setiap pemimpin rakyat mesti ditopang oleh semangat gotong-royong, kooperatif dengan setiap elemen masyarakat demi tercapainya rakyat Indonesia bebas Covid-19.

            Khusus untuk konteks kabupaten Sikka, NTT, spirit nasionalisme mesti dibaca secara kontekstual; mencintai bangsa berarti mencintai kehidupan warga bangsa. Kesadaran ini pertama-tama mesti hadir dalam diri Fransiskus Roberto Diogo selaku bupati sekaligus penggerak utama dalam rangka menyelamatkan kehidupan segenap rakyat Sikka.

            Merujuk pada pengalaman nasionalisme yang melekat pada Soekarno, Bupati Kabupaten Sikka telah menampilkan identitasnya sebagai pemimpin yang pro aktif terhadap situasi kekinian yang sedang melanda Sikka secara khusus dan Indonesia secara umum. Ia bukan hanya berkata-kata melainkan juga berkorban di lapangan nyata.

Teladan Bupati Sikka Lawan Covid-19

            Kita tentu masih ingat pengalaman menegangkan yang terjadi di Maumere beberapa bulan lalu tatkala kapal Lambelu membawa penumpang dalam situasi Covid-19 dan menyinggahi Nian Tana Sikka. Dalam situasi krusial seperti ini, Bupati Sikka hadir dengan totalitas dirinya. Selain sebagai pemimpin politik, ia juga mewujudkan dirinya sebagai manusia yang peka terhadap nasib orang-orang kecil. Kepekaan manusiawi seperti ini selaras dengan etika wajah versi Emanuel Levinas. Filosof keturunan Yahudi ini sangat simpatik dengan nasib orang-orang kecil yang teralienasi dan termarginalisasi. Bertolak dari rasa keprihatinan terhadap mereka, ia kemudian membangun teori filsafatnya yang dikenal dengan etika wajah. Teori ini berisi tentang perjumpaan seorang subjek manusia dengan subjek yang lain. Dalam perjumpaan itu, subjek yang satu merasa terganggu nuraninya oleh kehadiran subjek-subjek lain yang hadir misalnya dalam wujud kaum miskin, para janda dan orang-orang kecil lainnya.  Mereka menduduki posisi negativitas karena dianggap berbahaya dan harus disingkirkan (Budi Hardiman, 2011). Namun, kehadiran mereka adalah bentuk panggilan terhadap perhatian Levinas atau dalam konteks di Sikka, para penumpang yang ada di kapal sesungguhnya sedang mengetuk-ngetuk nurani Bupati Sikka untuk bisa memerhatikan nasib mereka. Para penumpang hadir dalam eksistensi sebagai manusia terasing yang “telanjang” atau tidak memanipulasi identitas mereka supaya mendapat perhatian. Namun, perlu dipahami bahwa dalam perjumpaan yang dimaksudkan Levinas, bukan sekadar faktor lahiriah tetapi ada wujud yang tak terbatas di balik itu. Yang tak terbatas atau yang transenden itu mewujudkan dirinya lewat kehadiran orang-orang lain yang teralienasi itu. Barangkali wujud tak terbatas yang dimaksudkan oleh Levinas adalah Tuhan; “epiphania”, penampakan diri Yang Ilahi (F. Magnis-Suseno, 2006). Artinya, berjumpa dengan orang-orang kecil yang bernasib buruk, oleh Levinas sesungguhnya adalah perjumpaan dengan yang transenden. Kita dipanggil untuk menjawab keluh-kesah mereka dengan penuh ketulusan sebagai bukti tanggung jawab bukan hanya kepada manusia (orang-orang kecil secara lahiriah) melainkan juga kepada yang transenden.    

            Penjelasan di atas paralel dengan aktivitas detail bupati Sikka dalam menjalankan tugasnya sebagai subjek yang merasa terganggu dan terpanggil untuk memerhatikan masyarakat kecil. Hal ini sangat jelas kita saksikan tatkala hadir penumpang kapal Lambelu yang “dicurigaai” membawa virus corona. Ia menumpang kapal milik tim keamanan untuk bisa berjumpa dengan para penumpang tersebut yang sedang memanggilnya.  Kebijaksanaan seorang pemimpin model ini menjadi bukti bahwa rasa cinta bangsa, rasa cinta Sikka mesti dilakukan secara tulus walaupun dalam situasi dilematis. Pemimpin mesti hadir sebagai jembatan dalam setiap persoalan yang dialami masyarakat. Itulah yang nampak dalam sosok bupati Sikka. Ia tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan tetapi dengan penuh pertimbangan, mendengarkan suara kritis pihak lain sehingga kemudian keputusan itu bisa diterima secara baik oleh mayoritas masyarakat. Sebagai manusia terbatas, bupati Sikka tidak bekerja sendiri; ia membutuhkan bantuan semua pihak, baik tim medis, petugas keamanan dan sebagainya. Itulah sebuah teladan kepemimpinan yang sungguh menghadirkan spirit nasionalisme yang secara lebih eksplisit nyata dalam wujud gotong-royong.

Bahkan dalam beberapa media, tercatat jelas bukti tanggung jawab bupati Sikka dalam mengontrol pembagian dana Bantuan Langsung Tunai (BLT), misalnya di Desa Hoder, Kecamatan Waigete yang mana ia hadir secara langsung (Pos Kupang.com, 30/5), juga masih banyak contoh positif lainnya yang dilakukan olehnya selama masa berlaku Covid-19 ini. Poin penting yang perlu dicatat dari keteladanan pemimpin nomor satu Nian Tana Sikka ini ialah ketulusan dalam melayani dan didukung oleh motivasi cinta total bukan sebaliknya menggunakan momen ini untuk meminta dukungan politik. Selain itu, secara implisit bisa dinilai bahwa keteladannya mau menggerakkan semua orang Sikka untuk bisa saling membantu; bergotong-royong demi membunuh Covid-19. Jika seorang pemimpin hadir memberi teladan, maka sebagai masyarakat Sikka, kita patut untuk mengikutinya sebab pada dasarnya pemimpin yang baik adalah yang mampu memberi teladan ganda; selain berbicara yang benar juga mampu merealisasikan isi pembicaraannya. Bupati Sikka menurut saya sudah memberi teladan positif untuk orang Sikka.

            Hal ini berbeda dengan karakter pemimpin yang haus kekuasaan. Steph Tupeng Witin, dalam sebuah artikelnya berjudul Investasi Kemanusian versus Pragmatisme Politik (Florespos.co.id, 16/9/2020), mengkritik keras pemimpin yang menggunakan momen Covid-19 ini untuk mencari dukungan politik. Ia secara terang benderang menulis bahwa ada pemimpin tertentu yang memberi bantuan sembako sembari memohon doa restu dari masyarakat demi kelangsungan karier politik praktis ke depan. Artinya, bantuan seperti sembako hanyalah strategi sistematis untuk menggalang dukungan politik; bantuan itu bukan atas dasar kemanusiaan yang tulus. Oleh karena itu, para politisi yang rajin membagi sembako mesti menyadari motivasinya demi kemanusiaan bukan komoditas politik praktis.

Gotong-Royong Lawan Covid-19

            Salah satu motivasi adanya gotong-royong dalam melawan Covid-19 ialah kesadaran bahwa manusia adalah substansi yang terbatas. Dengan demikian, seorang subjek manusia – dalam konteks lawan Covid-19 – tidak bisa menolak adanya gotong-royong. Masing-masing subjek bekerja sama dan bekerja bersama dalam memutus mata rantai virus yang katanya berasal dari negri China itu. Gotong-royong mesti diwujudkan dengan orientasi yang tunggal yaitu memutus mata rantai Covid-19. Jika semua elemen pemerintah dan masyarakat memiliki komitmen seperti ini, bergotong-royong mutlak dilakukan. Kesulitan kita ialah, di beberapa tempat baik di Sikka maupun di Kabupaten lain, masih terdapat beberapa oknum yang tidak terbuka, konservatif dan tidak mau bekerja sama untuk tujuan kemanusiaan ini. Sangat disayangakan, sebab ada yang membela diri dengan alasan iman kepada Tuhan.

            Terlepas dari itu, gotong-royong mutlak dilakukan karena hanya dengan itu, Covid-19 bisa dibasmi. Untuk itu, beberapa poin penting mesti diperhatikan. Pertama, gotong-royong mengandaikan adanya keterbukaan. Setiap orang yang merasa terindikasi tertular Covid-19, mesti terbuka dan memberi dirinya untuk ditangani oleh tim kesehatan. Tanpa keterbukaan model ini, komitmen untuk membunuh virus tersebut akan sangat sulit. Kedua, mesti adanya transparansi soal dana BLT sebab seringkali fokus utama dalam membasmi virus tersebut dihantui dengan manipulasi dana bantuan dimaksud. Akibatnya ialah, terjadi perpecahan dalam semangat gotong-royong. Hal ini menjadi catatan penting bagi pemerintah; korupsi, kolusi dan nepotisme mesti dihindari. Fokus gotong-royong mesti dilakukan dengan spirit nasionalisme a la Soekarno; bersatu dengan segenap jiwa-raga. Mencintai bangsa, Mencintai kehidupan segenap orang Sikka. Ketiga, aturan yang didesain oleh Pemerintah mesti membebaskan beban masyarakat. Pada momen Covid-19 ini, pemerintah tentunya diminta untuk merefleksikan cara pelayanan total terhadap masyarakat; salah satunya membuat aturan yang berorientasi pada kebebasan akan kemanusiaan. Misalnya, biaya rapid test  mesti sesuai dengan latar belakang masyarakat. Seringkali, biaya mahal akan membuat orang apatis terhadap kesehatan dan sibuk berdebat soal biaya. Keempat, protokol kesehatan adalah keharusan yang mutlak. Profesionalisme tim medis adalah bukti tanggung jawab mereka terhadap kesehatan. Jiwa-raga mereka taruhkan demi kemanusiaan, maka kita mesti bergotong-royong dengan mereka dengan cara mematuhi arahan tim medis.

            Beberapa poin penting di atas mesti menjadi pedoman memasuki situasi new normal yang sudah mulai berlaku. Semua pihak dengan kemampuan dan otoritasnya masing-masing mesti tulus dan terbuka menyumbangkan tenaganya dengan spirit yang sama. Berbagai jenis egoisme mesti dihapus, terlebih berbasis agama juga berita-berita bohong (hoax) yang meresahkan selama masa pandemi mematikan ini sedapat mungkin dihindari. Dari nasionalisme sukarno dan teladan bupati Sikka, kita menuju gotong-royong memotong mata rantai Covid-19.


*Antonius rian adalah nama panjang dari Rian Odel. Ia adalah Mahasiswa pada STFK Ledalero Maumere, Sikka. Tulisan ini terpilih sebagai yang terbaik ke-3 dalam lomba opini yang diselenggarakan oleh PDIP Sikka dalam memperingati Bulan Bung Karno (2020)


Post a Comment for "Spirit Nasionalisme Soekarno, Teladan Bupati Sikka dan Gotong-Royong Lawan Covid-19"