Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Membangun Kesadaran Politik Masyarakat (Menanggapi Masalah Pariwisata di Lembata)


 

Oleh Rian Odel

 

            Front Mahasiswa Lembata Makassar Merakyat (Front Mata Mera) pernah menggelar diskusi daring untuk membahas masalah pembangunan tempat pariwisata di Awololong, Kabupaten Lembata. Saya salah satu partisipan. Para narasumber yang hadirpun datang dari bervariasi profesi. Ada para politisi, Praktisi Hukum dan Mahasiswa. Mereka membahas amburadulnya kasus pembangunan di Awololong yang sampai saat ini – sangat lama – ditangani oleh Polda NTT.

            Satu hal serius menurut saya yaitu tentang konsep pariwisata yang mengorbankan kearifat lokal masyarakat setempat. Sejak awal, pembangunan itu sebenarnya sudah ditolak oleh mayoritas masyarakat dengan alasan yang relevan yaitu sakralitas tempat tersebut. Ada cerita bahwa tempat tersebut adalah bekas tempat tinggal nenek moyang sebagian warga Lembata. Kemudian, karena bencana alam, sebagian dari mereka menyelamatkan diri ke Pulau Lomblen dan sisanya terkubur lautan dahsyat. Artinya, tempat tersebut diyakini sebagai kuburan massal nenek moyang sehingga harus dijaga kemurniannya. Apakah pemerintah Lembata pernah berpikir soal ini?

            Namun, demi pariwisata, proyek di lokasi tersebut terpaksa dilakukan dan menghasilkan masalah yang merugikan daerah khususnya finansial. Teori utilitarianisme pura-pura dikompanyekan oleh Pemerintah Daerah Lembata yaitu demi kesejahteraan banyak orang. Sangat keterlaluan sebab konsep pariwisata yang ingin dibangun di tempat itu harus menggelontorkan dana sekitar Rp. 6 M. Bukan hanya itu, dari sisi ekologis sangat kacau karena sebelum proyek tersebut dieksekusi, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) juga belum dilakukan.

            Apakah Awololong harus dibangun dengan menghadirkan jembatan apung dan pusat kuliner yang fantastis di tengah nama buruk Lembata sebagai Kabupaten tertinggal? Ini hayalan yang memalukan.

Dari Awololong ke Mingar

            Setelah mega proyek di Awololong bermasalah, kini Pantai Mingar, di Desa pasir Putih, Kecamatan Nagawutung. Lagi-lagi, demi Pariwisata, alam dikorbankan. Pemerintah yang mengeksploitasi tempat tersebutpun tidak melewati jalur-jalur kearifan lokal masyarakat setempat, misalnya dialog bersama masyarakat adat dari beberapa suku yang ada di Desa tersebut secara serius. Amat mendadak, puluhan pohon Pandan dibabat dengan alasan pembangunan lapangan volly pantai tanpa rasa memiliki. Tuan Tanah, Paulus Pati Kabelen mengaku kaget dengan aksi penggusuran itu karena tidak ada pemberitahuan (https://aktualita-ntt.com/2020/07/05/pemda-lembata-tebas-ratusan-pohon-pandan-di-mingar-dprd-saya-sakit-melihat-semua-ini/).

            Hal ini membuktikan bahwa kearifan lokal masyarakat telah dikorbankan demi nafsu pariwisata yang salah kaprah. Pariwisata yang sedang didesain oleh Pemerintah Lembata amat jelas berkarakter kapitalis dan merusak jika dilihat dari sisi ekologis dan kearifan lokal orang Lamaholot.

            Ekploitasi alam dan kearifan lokal menjadi lumrah di mata pemerintah yang barangkali tak paham tentang relevansi alam dan budaya masyarakat lokal beradat. Anehnya, pemerintah yang diwakili oleh Bupati Lembata memberi respon santai seolah-olah pembabatan Pandan bukan sebuah masalah. Dia bahkan beralasan, pembabatan Pandan tersebut dilakukan supaya dari sisi keindahan terlihat estetis (http://www.fajarpedia.com/2020/07/05/protes-anggota-dprd-lembatatak-digubris/). Alasan yang sangat subjektif untuk melegitimasi konsep pembangunan sesuai kemauan pribadinya. Tidak pernah tanam tapi seenaknya merusak dengan alasan menata pariwisata.          

            Pada sisi lain, kita patut mengapresiasi progresivitas Yosef B. Muda yang hadir secara tegas menolak cara pembangunan pariwisata tersebut. Ia berargumentasi bahwa alam lebih indah ketimbang pariwisata buatan apalagi hanya sekelas volley Pantai.

Memang benar bahwa daya tarik pantai Mingar adalah pasir putih, makanya harus dilindungi dengan cara menjaga pohon Pandan bukan mengeksploitasinya. Wakil rakyat tersebut kemudian mengajak beberapa warga setempat untuk menanam kembali pohon Pandan di lokasi sengketa. Patut diapresiasi sebab politisi model ini masih memiliki nurani yang terikat dengan kearifan lokal masyarakat setempat.

            Pertanyaanya ialah, dimana wakil rakyat yang lain, khususnya yang datang dari Dapil Nagawutung dan sekitarnya? Apa tanggapan mereka soal kasus ini? Apa solusi yang perlu mereka lakukan?

Krisis Kearifan Lokal

            Kalau kita mengikuti alur pembangunan pariwisata yang didesain oleh Pemerintah setempat, sangat jelas terlihat kesemrawutan dalam prosesnya. Misalnya, masalah reklamasi pantai Balauring dan jalan wisata Lingkar Lohu di Kedang yang pernah dilawan oleh masyarakat lokal Desa Dolulolong, Kecamatan Omesuri – Saya pernah berkunjung ke Desa Dolulolong pada pertengahan bulan Juni 2018 silam untuk melihat secara riil kasus yang mereka alami. Selama kurang-lebih dua hari di sana, saya menemukan bahwa tuntutan-tuntutan warga setempat tidak diakomodasi oleh Pemerintah Lembata. Bahkan sebaliknya terjadi adu strategi untuk saling berperang di meja hijau. Masyarakat Dolulolong sebenarnya mendukung Pariwisata tetapi menolak cara kerja yang tidak pro terhadap kearifan lokal dan ekologi. Pembangunan inipun punya cara kerja yang tidak tunduk pada kearifan lokal masyarakat. Dialog ditiadakan dan pembangunan dilakukan secara mendadak sehingga kemudian memunculkan “perang” antara masyarakat adat versus Pemerintah.

 

            Masyarakat menilai bahwa hak-hak adat mereka diperkosa dengan cara yang tidak ber-adat (https://abpnews.id/2019/08/13/perjuangan-masyarakat-adat-dolulolong-mengukuhkan-identitas-masyarakat-ber-adat/). Sempat juga ada isu ulayat yang oleh masyarakat lokal adalah sesuatu yang sensitif yang bisa mungkin terjadi perpecahan di antara masyarakat sendiri.  Politik divide et impera bisa mungkin terjadi dalam kasus-kasus seperti ini.

            Selain itu, dalam kasus Pariwisata di Awololong, terlihat jelas kontroversi tentang status tempat tersebut. Gara-gara kepentingan pariwisata, masyarakat terbelah menjadi dua kubu. Komunitas masyarakat adat Desa Baolangu misalnya, menggelar demo tandingan untuk mendukung pemerintah (https://kupang.tribunnews.com/2019/02/27/masyarakat-adat-baolangu-gelar-demo-tandingan-dukung-pemerintah-bangun-awololong), setelah sebelumnya ada demonstrasi penolakan proyek tersebut oleh kubu lainnya.  Hasilnya kini ialah Awololong mangkrak!

 

Membangun Kesadaran Masyarakat

            Dari beberapa contoh di atas, kita bisa menilai bahwa sedang terjadi krisis kearifan lokal juga ekologi dalam diri Pemerintah yang kemudian mengorbankan relasi sosial masyarakat. Mengkapitalisasi bumi Lembata rupanya sedang dibangun dengan strategi yang tidak etis sesuai kearifan lokal setempat, misalnya dialog bersama. Selain itu, masyarakat lokal pada akhirnya menjadi korban politik. Kekeluargaan yang sudah diwariskan oleh nenek moyang terpecah-belah hanya karena konsep pariwisata yang kontroversial dan sebenarnya masyarakatlah yang dirugikan. Untuk menanggapi hal ini, kesadaran masyarakat Lembata mesti terus diaktifkan dalam rangka menilai secara kritis situasi yang sedang terjadi.

            Para aktivis – tapi bukan aktivis cari panggung – tokoh agama, organisasi-organisasi masyarakat mesti bersatu untuk membicarakan persoalan seperti ini di kampung-kampung yang potensial di bidang pariwisata. Jika tidak, kesadaran masyarakat terombang-ambing sebab tidak ada wadah diskusi bersama untuk bertukar pikiran. Diskusi-diskusi seperti ini bukan hanya di tingkat atas melainkan juga masuk sampai ke pelososk-pelosok.

            Masyarakat mesti juga diberi akses untuk berdiskusi dengan pengurus partai politik sebagai sebuah jalan tengah. Sebab suatu prasyarat yang penting adalah bahwa partai-partai politik sendiri bercorak demokratis dan (dapat) berdiskusi secara terbuka (Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, 1984).

            Persoalannya, partai politik mungkin saja bungkam terhadap kenakalan kadernya di medan politik, apalagi kader yang kaya raya uangnya. Terdapat kontradiksi antara nama besar dan idealisme partai dengan kelakuan politik praktis kadernya. Partai berkarakter versi ini akhirnya hadir hanya sebagai sarang penyamun, tempat lahir para politisi-politisi nakal bermodal banyak uang. Partai bukan menjadi sekolah, tempat lahir para politisi hebat dengan orientasi pada kesejahteraan masyarakat.

            Terlepas dari itu, para Politisi tidak boleh merasionalisasi argumentasi untuk mendukung cara pembangunan yang menghasilkan masalah. Apalagi menutup masalah dengan pencitraan yang tidak edukatif bagi kelangsungan politik di Lembata. Bahkan mengadopsi konsep-konsep lokal guna meluluhkan hati masyarakat. Misalnya, berbicara tentang ta’an tou di hadapan masyarakat Lembata tetapi perilaku politik tidak sejalan dengan konsep tersebut. Rajin bicara ta’an tou tetapi merusak Pandan di Mingar semau gue.

            Menanggapi persoalan-persoalan politis tersebut, masyarakat tidak boleh dibiarkan untuk menjadi subjek yang apatis terhadap pola pembangunan kapitalistik model ini. Masyarakat mesti tetap kritis agar tidak gampang dibohongi. Edukasi politik diupayakan mulai dibangun bersama masyarakat akar rumput untuk bisa melawan cara pembangunan yang tidak ramah terhadap lingkungan dan kearifan lokal yang jelas terbaca pada beberapa proyek pariwisata yang diduga ada niat privatisasi di kemudian hari.

            Yang terpenting, masyarakat juga mestinya mulai kompak secara sosial untuk mengontrol dan melawan cara kerja Pemerintah yang mendatangkan alat berat secara mendadak di atas tanah masyarakat tanpa sosialisasi, pembebasan lahan, kompensasi yang adil dan transparansi.

Rian Odel Berasal dari Riang Wehe', Desa Mahal 1, Omesuri


 



2 comments for "Membangun Kesadaran Politik Masyarakat (Menanggapi Masalah Pariwisata di Lembata)"