Tuhan Jatuh Hati di Kaki Uyelewun#Cerpen Anastasia Dulang
![]() |
Foto: Nagliyah Sulistika |
Risau
angin menampar daun-daun nangka. Sepotong ranting bernyanyi di atap. Bulan
mengintip dari celah gunung Tamal Eleng, sebagian cahaya terhalang pohon mangga
di samping rumah; Berkas cahaya yang lain berhasil lolos lewat celah dinding
bambu. Jeritan itu mengisi bilik bambu; Keringat dan nafas memburu kesabaran. Sakit
menjelma kemenangan dikala sebuah kepala meluncur keluar, berlumur darah di
tangan seorang dukun beranak. Seorang bayi laki-laki telah lahir, tanpa cacat tubuh,
hanya noda ranjang ibunya yang mengekal dalam nadi.
Darah
masih saja mengalir, wajah perempuan itu semakin pucat pasi. Puskesmas
terlampau jauh untuk dijangkau, sementara sudah pukul 03.00. Perempuan itu
berpasrah pada semesta. Matanya berlahan menutup. Keabadian menjemput tepat adzan
subuh dari toa masjid berkumandang dan lonceng gereja ditabuh hingga dua belas kali; Bagai paduan suara di subuh yang hening mengejah embun di daun-daun kelor. Golgota
damai di puncak kubah masjid dan Tuhan jatuh hati di kaki Uyelewun. Telinga-telinga
manusia di kaki bukit merekam, lalu menerka-nerka siapa lagi yang berpulang ke
pangkuan Ilahi. Kaki-kaki orang kampung lupa
menghitung langkah, berlari-lari menuju sumber suara yang meraung,
menyanyikan kidung kematian; Berteiak-teriak memanggil-manggil nama perempuan
yang terbujur kaku. “Lusia...,” jerit kepala-kepala yang mengisi bilik kecil.
Matahari
utuh berpasrah pada langit, orang-orang
menaikan tenda, terpal dibentang, dan kursi-kursi disusun rapi. Perempuan dan
laki memasang tungku, seketika asap
bagai kurban bakaran Kain dan Habel membubung di samping masjid. Orang-orang
yang mendiami wilayah sekitaran masjid kebanyakan adalah penganut agama Islam.
Sementara bagian lereng kampung dihuni
masyarakat yang beragama katolik. Jika maut
merenggut satu jiwa orang-orang gunung akan turun. Demikianlah agama
bagi mereka hanyalah pilihan, sementara darah luhur yang mengikat nafas mereka
tidak mampu diputus atas alasan apapun. Orang-orang berdatangan huneng buku dese', yang dalam bahasa Indonesia
disebut dengan antar dulang. Seorang wanita tua berkerudung dengan bibir merah
berlumur siri pinang berdiri di depan pintu menerima sanak keluarga dan kenalan
yang datang berbelasungkawa. Orang-orang dari wata atau pesisir dan orang-orang dari wela atau gunung terus berdatangan.
Ketika
matahari mencumbui belahan gunung Uyelewun yang berdiri dengan
angkuh setinggi 1.213 meter di atas permukaan laut. Gunung ini
dilingkari oleh jalan raya. Di bagian utara jalan ini menyusuri pantai, dengan
lerengnya yang curam dan terjal berbatu-batu. Kampung-kampung muslim berderet
di sepanjang jalan raya bagian utara sampai sisi timur. Di halaman masjid, Romo
Anton sang Pastor Paroki Aliuroba, sebuah paroki kecil yang dimekarkan tahun
1985 memimpin misa. Lusia dimakamkan sebagai orang katolik tidak seperti
ayahnya Ledo yang dimakamkan sebagai
kafir. Mayat kafir dibungkus tikar lontar, bukan peti atau kafan.
Di
kedang banyak sekali muslim terutama di pantai timur laut. Dari situ pula
Jumiati, ibu Lusia Datang, dari kampung kecil yang merupakan jalur masuknya
Islam. Menikahi Ledo kekasihnya yang ia
temui pertama kali di pasar Wairiang. Ledo pria penyakitan, akhirnya meninggal
ketika Lusia empat bulan dalam kandungan.
Anton, sang guru agama yang gagah di atas kuda tunggangan, yang berjalan
dari desa ke desa membuat Jumiati jatuh
hati ketika lelaki itu tanpa sengaja membeli jagung titi miliknya di sudut
pasar Wairiang. Ia memilih dibabtis dengan nama Agnes Kewa. Demikianlah
perkawinan beda agama itu terus tumbuh hingga anaknya, Lusia.
“Penaburan
bunga dari pihak ine ame,” kata Lipus
sebagai moderator upacara pemakaman. Seorang lelaki membungkuk di depan kubur
yang menganga. Sekali ia membetulkan pecinya. Kasman namanya, kakak sulung ibu
Lusia. Ia Menerima tanah yang diberikan, lalu menaburkan bunga. Ikatan adat
dan kekeluargaan “ine ame binen maing” adalah tali pemersatu yang begitu kuat
mengikat hingga tidak heran agama bukan larangan.
Lusia
telah membenam dalam tanah. Orang berbondong kembali mengisi tenda. Inilah
saatnya makan keluarga digelar. “Lei lai ote lolo, lei wehe ole ubeng,” kata Matias kepala
pelayan. Demi menghormati keberagaman agama, kambing dan babi dihidangkan di
tempat berbeda. Orang-orang yang tidak mengonsumsi daging babi akan di arahkan menuju lei lai. Dan orang-orang yang mengonsumsi daging babi akan
diarahkan ke tempat lei wehe.
Sementara nasi berasal dari tungku yang sama.
Di
samping lumbung besar yang disebut ebang
terdapat sebuah batu tempat memberi makan leluhur. Leto, perempuan tua
melakukan, paro ba. Di depan batu,
Tuhan menjelma jadi puisi, memeluk erat tanpa bertanya dari golongan darah
agama mana. Ini adalah warisan yang dijaga teguh. Agama boleh berbeda tetapi
kita satu budaya Sebab ikatan darah luhur warisan Uyelewun telah mengekal dalam
nadi, demikian prinsip hidup orang-orang yang mendiami kaki gunung Uyelewun.
Agama hanyalah urusan manusia dengan penciptanya, hingga keseharian tidak ada
yang membatasi diri dengan agamanya. Di pasar-pasar orang-orang wata yang mayoritas beragama Islam menukar hasil lautnya dengan ubi dan pisang dari orang wela yang mayoritas beragama katolik. Najis dan haram karam.
Hari
ke empat merupakan hari penanaman salib. Di ebang,
orang-orang tidur laki-laki dan perempuan, yang katolik maupun muslim. Ini
adalah hari membersikan diri, melepas semua duka, yang ditandai dengan kegiatan
mencuci rambut dengan santan kelapa. Malam hari dilanjutkan dengan ibadat
pemasangan salib. Salib dibalut sebuah kain tenun, lalu ditanamkan di kubur
Lusia. Kubur itu bersebelahan dengan kubur sang Ayah. Nisan ayahnya adalah dua batu
yang kaku di tanam pada ujung kaki dan kepala.
Pagi
dan malam, bagai pergantian musim panjang. Seminggu membungkus kabung bagai
seabad dibabat kepedihan. Kewa melepas bus subuh mengantar pergi tubuh mungil
Amo Rian cucunya menuju Lewoleba, kota kecil tempat Peten Ina berdiri kokoh mengisi pejabat yang
otaknya pas-pasan, moralitasnya bernilai obralan sehingga tidak jarang
bersenjata agama dalam berpolitik. Meninggalkan jejak perkabungan ibunya. Melintas
jalan raya yang memutari gunung, tempat mata dengan kasat menyaksikan gereja dan
masjid berdiri berdampingan. Jalan berlubang saksi bisu buah pembangunan,
roda-roda patuh pada keadaan sebab sudah lama dihidangkan jalan seperti itu.
Debu dan panas menari tarian hedung huri,
tari perang orang Kedang. Kedang di ujung timur Lembata. Alam yang kering namun
subur toleransi.
Rian
kecil tersenyum di persimpangan, lalu menertawakan nisan ibunya yang tidak
sempat ia kenal, ayahnya yang tidak sempat ia sapa, dan orang-orang yang
bertengkar mengatasnamakan iman. Batang-batang eukaliptus yang putih dan licin, ilalang kering, padang gersang
yang menawan mata, dari puncak tanjung Baja, Ile Ape dan tanjung Nuhanera
membentang, ombak tenang menampar pantai. Rian kecil terlelap dalam mimpi
menemui ayahnya memberi ceramah semua agama menginginkan kebaikkan.
Anastasia Dulang, Mahasiswi FKIP Undana Kupang, Lahir di Loyobohor, 04 November. Puan tatong yang berdentang dalam kesunyian aksara. Cerpen ini masuk dalam kategori 10 besar cerpen terbaik, dengan menempati juara harapan satu dalam lomba Cerpen yang diselenggarakan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama NTT (2020)
.