Berani Jadi Multatuli: Apresiasi untuk Erna Ruing
Oleh Rian Odel
Pemandangan indah ini ada di Kedang Lembata. Pantai Wata Ana', Noni'. |
Walaupun
memakan waktu lama, tapi publik Lembata tentu sangat optimis dan menaruh
harapan penuh pada pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus yang telah
menghabiskan uang rakyat sekitar 5 M lebih. Polisi tidak boleh main gila dengan
kasus ini!
Selain polisi dan para Aktivis pejuang Awololong, kini kabar gembira datang dari Erna Ruing, mantan Pegawai pada Dinas kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lembata. Ia membeberkan bahwa Apol Mayan, Kepala Dinas bersangkutan pernah menyusun strategi penolakan proyek Awololong.
Hal ini tentunya sangat mengagetkan publik Lembata, sebab selama ini Apol Mayan dikenal sebagai salah seorang yang getol mendukung pariwisata di Awololong. Bahkan gara-gara proyek Awololong, kelompok masyarakat tertentu pernah menggelar demo tandingan untuk mendukung Pemerintah Lembata melanjutkan pembangunan yang kini bermasalah tersebut. Demonstrasi tersebut dipimpin oleh Ali Kedang, salah seorang Aktivis "hebat" di Lembata yang pernah berjuang mencari kebenaran di balik kasus kematian Alm. Laurensius Wadu. Hasilnya kini, Awololong masih menjadi polemik.
Pertanyaannya, mengapa Apol Mayan menolak, padahal ia adalah Kepala Dinas Pariwisata? Berita yang diturunkan media Sergap, mengindikasikan bahwa “ada sesuatu” yang tidak sehat dalam tubuh Pemerintah Lembata khususnya Dinas Kebudayan dan pariwisata. (Baca https://www.sergap.id/teknisi-it-diperiksa-apol-mayan-pernah-skenariokan-tolak-proyek-awalolong/).
Oleh karena itu, selain apresiasi besar diberikan kepada Erna Ruing atas informasi yang ia berikan, kita juga patut memberikan apresiasi kepada wartawan Sergap yang sungguh-sungguh menggali informasi seputar kasus besar ini. Kita butuh media yang kritis-progresif seperti ini untuk mengontrol Pemerintah Lembata.
Ada dua catatan kecil
yang perlu kita gali lebih dalam terkait berita tersebut.
Pertama, mengapa Apol Mayan menyusun strategi untuk menolak proyek Awololong? Pertanyaan ini tentunya hanya bisa menemukan jawaban yang valid pada mulut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lembata.
Sebab hanya beliau yang tahu alasannya. Oleh karena itu, Apol Mayan mesti jujur memberi klarifikasi kepada publik Lembata sebab masalah Awololong adalah masalah politis bukan masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
Apakah informasi yang disampaikan oleh Erna Ruing paralel dengan data dari Apol Mayan? Ataukah, ini hanyalah sebuah strategi untuk saling melempar batu tatkala masalah ini semakin tajam disoroti publik? Jujur! Sekali lagi, jujur!
Namun, informasi yang sudah ditransfer ke publik akan menjadi hak publik untuk diinterpretasi lebih lanjut. Mengacu pada informasi yang kini menjadi polemik tersebut, dapat diduga bahwa sejak awal proyek Awololong sudah bermasalah secara internal dalam diri Pemerintah Daerah Lembata sebagai pihak pertama yang mendesainnya tanpa melibatkan partisipasi publik kritis.
Jika kita telaah secara hati-hati – dari informasi Erna Ruing – sepertinya kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tidak bekerja sesuai suara hati nuraninya. Mengapa? Sebab menurut saya, ada kontradiksi antara “yang tampak” dan yang “baru ditampakkan.” Sesuatu “yang tampak” ialah bahwa Apol Mayan seorang yang berjuang keras untuk mensukseskan proyek Awololong, apalagi jabatannya sebagai Kepala Dinas.
Namun, sesuatu yang “baru ditampakkan” oleh Erna Ruing telah membongkar sesuatu yang lain dibalik “yang tampak”. Apol Mayan pernah menyusun strategi untuk menolak proyek Awololong. Mengapa Apol Mayan melakukan hal demikian? Apakah Apol mayan sepakat dengan mayoritas masyarakat Lembata yang menolak poyek tersebut?
Namun, mengapa Apol Mayan tidak secara terang-benderang menyampaikan itu kepada saudara-saudarinya masyarakat Lembata yang lain? Bisa saja mungkin bahwa, Apol mayan bekerja tidak bebas karena ada tekanan dari atas.
Tekanan jabatan bisa memaksa manusia melawan nuraninya sendiri. Artinya, Apol Mayan terpaksa mendukung proyek tersebut walaupun nuraninya menolak. Pertanyaan selanjutnya; apakah Apol Mayan berani membuka secara transparan alasan penolakan tersebut kepada publik Lembata, apalagi beliau sebagai tokoh hebat yang sangat layak menjadi panutan publik.
Atau gara-gara jabatan dan atau takut pada kekuatan raksasa dari atas, kebenaran rela dibungkam begitu saja dan merugikan masyarakat Lembata yang tiap hari saling tegur sapa sebagai Ina dan Ama di Lewo tana-Leu Awu’ Lembata? Semoga rasa memiliki Lembata mendesak Apol Mayan untuk membongkar penyakit di balik proyek Awololong.
Kedua, Erna Ruing sebagai berkah atau kutuk?
Pernyataan yang disampaikan oleh Erna Ruing mesti ditelusuri lebih lanjut baik oleh pihak kepolisian maupun oleh media kritis-progresif yang ada di Lembata. Dalam sebuah pertemuan bersama Bupati Lembata, Pak Sil, Sukur Wulakada, Erna menyampaikan secara jujur perintah dari Apol Mayan untuk mencari 30 orang tokoh masyarakat atau tokoh adat untuk memberi pernyataan penolakan pembangunan di Pulau Siput.
Hal ini memberi kita bukti yang cukup valid bahwa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bekerja tidak bebas. Ada tekanan kekuasaan yang sangat jelas terbaca dari pernyataan Erna. Kekuasaan itu datang dari Kepala Dinas Pariwisata kepada Erna Ruing sebagai staf.
Erna menjadi seperti “budak kekuasaan” yang seenaknya diarahkan. Pada sisi lain, Erna merasa terbebani oleh perintah tersebut. Maka pertanyaan patut diberikan lagi kepada Apol Mayan; siapa yang menyuruhnya untuk menolak proyek Awololong?
Apakah inisiatif sendiri atau ada desakkan nurani atau ada desakan eksternal dari publik? Dengan demikian, kita bisa memahami secara detail, siapa sesungguhnya aktor utama di balik mangkraknya proyek Awololong. Sebab kepala Dinas Pariwisata sendiri menolak proyek tersebut.
Dugaan yang cukup kuat dari pernyataan Erna ialah terjadi perbudakan dalam tubuh Pemerintah Daerah Lembata khususnya dalam Dinas Kebudayaan dan pariwisata. Orang kecil (staf dijadikan budak kekuasaan). Terlepas dari semua tafsiran di atas, kehadiran Erna Ruing membawa dua sisi mata uang bagi Lembata.
Pada satu sisi, ia hadir sebagai berkah yang memberikan informasi profetik, apalagi ia sebagai penganut ajaran Kristen. “jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari itu berasal dari si jahat”, kata Yesus dalam Injil Matius.
Namun, pada sisi lain, ia membawa kutuk bagi aktor-aktor di balik proyek tersebut yang selama ini sangat merahasiakan jalannya proyek tersebut. Salah satunya ialah Apol Mayan. Pasti masih ada yang lain.
Mereka menjadi buah bibir publik Lembata. Pada grup facebook, Bicara Lembata New misalnya, kita bisa menemukan banyak sekali orang Lembata yang membicarakan informasi mutakhir ini. Bahkan dengan bahasa-bahasa cemoohan.
Lebih lanjut, Erna Ruing mestinya dilihat sebagai narasumber kunci yang patut diwawancarai lanjut oleh media-media baik online pun cetak yang ada di Lembata. Sebab tanpa kehadiran media, masyarakat tidak akan pernah mengetahui rahasia di balik proyek Awololong.
Intinya ialah media mesti menyadari dirinya sebagai milik dari rakyat Lembata. Media atau pers adalah sarana artikulasi kepentingan rakyat (Paul Budi Kleden, 2008). Pers yang kritis akan membuka mata publik untuk menangkap kepentingan mereka (baca rakyat) yang terlupakan (Ibid.,).
Pertanyaan lanjutan bagi Erna Ruing ialah; mengapa baru
sekarang ia membuka rahasia tersebut, padahal perbincangan seputar kasus Awololong
sudah sangat lama. Apakah ada "roh jahat" yang menghantui dirinya sehingga rahasia
tersebut baru sekarang dibuka ketika titik terang Awololong mulai nampak? Entahlah.
Hanya Erna yang Tahu dan mesti diberitahukan kepada publik.
Berani Jadi Multatuli
Mungkin ada yang pernah membaca buku Max Havelaar? Buku tersebut ditulis oleh Douwes Dekker alias Multatuli (1860), seorang berkebangsaan Belanda yang lahir tahun 1820. Isi buku Max Havelaar atau Lelang Kopi perusahaan Belanda ialah tentang protes akan kesewenang-wenangan Pemerintah kolonial Belanda pada masa penjajahan.
Multatuli yang adalah seorang Belanda dan pegawai di Pemerintahan Hindia Belanda memiliki rasa cinta dan keprihatinan terhadap nasib orang Indonesai yang diperas oleh kolonial.
Pramoedya Ananta Toer, pada bagian pengantar buku tersebut, menjelaskan, Multatuli pernah membela seorang Kepala Desa yang disiksa. Hal ini menjadikannya sebagai pihak yang berlawanan dengan atasannya di pengadilan. Akibatnya, ia dipindahkan ke Sumatra Barat. Di sana, ia tak pernah bosan memprotes politik divide et impera versi belanda yang mengorbankan orang Sumatra.
Pada usia 29 tahun, ia mengundurkan diri dari jabatannya kerena kecewa dengan atasannya yang sangat tamak merampas harta benda orang Jawa barat. Selain itu, ia juga pernah menulis surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu untuk memberhentikan dirinya dari jabatannya (Multatuli, 2019: 404). Ia lebih mementingkan kesejahteraan orang Indonesia dari pada jabatannya.
Aksi protes yang ada dalam diri Multatuli mestinya menjadi daya dorong bagi Erna Ruing sebagai Ata Diken (Orang baik) untuk terus menyampaikan sesuatu yang benar di balik Awololong. Multatuli saja orang Belanda tapi mencintai Indonesia, apalagi kita sebagai orang Lembata, mesti lebih dari pada itu.
Multatuli tidak takut dipecat karena melawan kekuasaan. Dipindahkan di berbagai tempat – dari Sumatra ke jawa. Langgar laut – tapi ia tetap ngotot melawan kekuasaan yang hegemonik dan menindas. Artinya, jabatan bukan harta kekal. Kebenaran dan kesejahteraan orang banyaklah yang menjadi harta yang perlu diperjuangkan walaupun jabatan menjadi tumbal. Semoga.
Rian Odel orang Lembata. Tinggal di Gere, Maumere, NTT
Wa: 081337652194
Ulasan yg progresif. Semoga tulisan ini bisa mendobrak nurani para politikus di Lembata utk mulai berpikir bhwa hidup ini tidak ada yg abadi. Sukses terus ade...
ReplyDeleteSalam
Leumara
Terimakasih Tata
DeleteSaatnya lawan hegemoni kekuasssaan yg mm belenggu manusia
ReplyDeleteTerimakasih saudara
Delete