COVID-19 DAN PENGARUHNYA TERHADAP RELASI ANTARMANUSIA, LINGKUNGAN HIDUP DAN TUHAN (Sebuah Refleksi Oleh Rian Odel)
Relasi Antarmanusia
Sejak
ditemukannya virus corona atau covid-19 di negara China, manusia dan seluruh
kehidupannya terganggu. Virus yang menyerang manusia tanpa pandang identitas
tersebut sungguh-sungguh membuka kesadaran manusia sebagai substansi yang
terbatas. Manusia menyadari suatu keterbatasan dirinya dalam usaha mencari
solusi atas masalah tersebut. Keterbatasan yang paling fatal adalah kematian;
virus corona membunuh manusia.
Akibat
lainnya yaitu, phisycal distancing. Relasi antarmanusia mulai
dibatasi oleh jarak sesuai protokol kesehatan. Hal ini membuat alur kehidupan
sosial menjadi sangat terganggu. Namun, perlu diakui bahwa solusi jaga jarak
merupakan salah satu jalan untuk memutus mata rantai virus tersebut. Solusi ini
sungguh menegaskan manusia hadir sebagai “aku” yang memberi arti bagi yang lain
dan juga “aku” diberi arti oleh yang lain.
Dalam
konteks phisycal distancing, masing-masing
subjek saling memberi arti demi sebuah kehidupan. Seorang subjek hadir untuk
memberi arti bagi subjek lain dengan cara menjaga jarak, menggunakan masker dan
juga alas tangan. Masing-masing subjek menyadari dirinya sebagai yang ada untuk
saling memberi arti tentang pencegahan virus corona. Memberi arti disini
bertujuan untuk memelihara kehidupan sesama manusia. Dari identitas diri
sebagai substansi yang terbatas, manusia saling bekerja sama untuk memutus mata
rantai ini yaitu jaga jarak dan juga kegiatan sosial lainnya dibatasi.
Jika
seseorang tidak mengikuti himbauan dari tim kesehatan atau pemerintah, maka dia
sebenarnya ada bukan untuk memberi arti bagi sesamanya melainkan ada untuk
merusak kehidupan sesamanya. Egoisme mesti dihindari demi kebaikan manusia.
Namun, faktanya ialah masih terdapat banyak subjek yang kepala batu, merasa
dirinya sebagai substansi yang kebal virus corona sehingga seenaknya melakukan
pertemuan-pertemuan massal yang berakibat fatal bagi diri sendiri dan bagi
orang lain. Manusia model ini sebenarnya tidak memahami dirinya sebagai
substansi terbatas yang ada untuk memberi arti bagi yang lain tetapi ia melihat
dirinya sebagai yang sempurna seolah-olah virus tidak menyerang dirinya. Manusia
model ini adalah manusia egois.
Oleh
karena itu, manusia mesti merefleksikan kembali dirinya sebagai substansi yang
terbatas. Karena keterbatasan itu maka, manusia mesti bekerja sama, saling
memberi arti bagi sesamanya.
Selain
itu, ada manusia juga yang menggunakan momen ini untuk mencari keuntungan
semata. Para politisi yang selama ini cuek dengan nasib masyarakat kecil, mulai
menggunakan momen ini untuk memberi bantuan. Di sini jelas bahwa bantuan itu
bisa saja terjadi karena motivasi politis sedangkan secara moral tetap
diapresiasi. Juga pemerintah yang seharusnya memberi teladan malah melakukan
pelanggaran yaitu mengadakan konser massal di tengah situasi bangsa yang
berduka. Sangat jelas bahwa relasi antarmanusia untuk membunuh corona masih
berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu.
Pada
sisi lain, tim kesehatan ada untuk memberi arti bagi sesama manusia. Mereka
menyadari dirinya sebagai tim medis yang bekerja untuk kehidupan manusia.
Mereka ada untuk memberi arti bagi pasien. Para ahli pun berjuang mencari
vaksin untuk membunuh virus ini. Kehadiran mereka sungguh berarti bagi
kehidupan manusia sebagai substansi terbatas.
Melalui
pengalaman keterbatasan seperti ini, manusia mesti merefleksikan kembali cara
hidupnya untuk membangun dunia; manusia mesti melihat kembali tingkah lakunya
terhadap sesamanya. Nilai-nilai kemanusiaan mesti direfleksikan kembali sebagai
pijakan untuk membangun hidup yang lebih baik di tengan corona ini. Saling
mengasihi sebagai sesama substansi terbatas adalah hal yang urgen. Pembauran
horizon versi Gadamer adalah salah satu solusi. Manusia terbatas mesti juga
mendengarkan manusia lain untuk sama-sama mencari solusi mengatasi virus ini.
Mendengarkan arahan tim medis adalah sebuah keharusan.
Relasi dengan Alam semesta
Berkaitan dengan ini, manusia juga perlu merefleksikan sumber atau penyebab tumbuhnya virus ini. Walaupun banyak variasi versi tentang sejarah virus ini tetapi yang lebih diakui adalah akibat dari kerakusan manusia terhadap alam khususnya relasinya dengan hewan yang seharusnya dilindungi. Ada isu bahwa sumbernya datang dari ulah manusia yang seenaknya membunuh hewan hutan, membakar hutan dan aktivitas negatif terhadap alam lainnya yang kemudian melahirkan virus corona. Dari cerita ini, manusia mesti melihat kembali relasinya dengan alam semesta. Walaupun manusia disebut sebagai makhluk yang paling sempurna tetapi ia tetap menjadi subjek yang terbatas. Manusia ada bukan untuk dirinya sendiri melainkan juga memberi arti bagi alam semesta, misalnya memelihara hutan, tidak membunuh hewan hutan secara liar dan lain-ain.
Jika manusia menyadari hal
seperti ini, alam semesta pun ada untuk memberi arti yang positif bagi
kehidupan manusia. Namun, akibat kelalaian manusia, alam semesta ada untuk
memberi arti negatif bagi manusia, maka manusia sebagai makhluk rasional mesti
berpikir kembali tentang relasinya dengan alam semesta. Manusia tidak boleh
menjadi subjek yang angkuh atau merasa diri sebagai substansi sempurna tetapi
harus mengakui dirinya sebagai substansi terbatas yang tetap membutuhkan
kehadiran alam semesta.
Oleh
karena itu, manusia semestinya berdamai kembali dengan alam. Tanpa kesadaran
seperti ini, patut diduga akan ada banyak bencana lainnya yang datang untuk
menghancurkan kehidupan manusia. Melalui kehadiran virus ini, manusia mesti
melihat tingkah laku salah yang telah ia perbuat selama ini terhadap alam
semesta. Bukan sebaliknya hanya memikirkan dirinya sendiri sebab sebagai
substansi terbatas otomatis manusia memerlukan substansi lainnya untuk menopang
sebuah kehidupan yang baik dan harmonis.
Relasi dengan Tuhan
Sebagai substansi terbatas, manusia selalu membangun relasi dengan substansi yang sempurna yaitu Tuhan. kehadiran Tuhan – menurut orang-orang beragama – sebagai pemberi kepastian khususnya di saat manusia dilanda bencana. Dalam konteks Covid-19, Tuhan tetap diakui sebagai pemberi kepastian sehingga masih ada orang-orang beragama yang pergi menyembah-Nya di rumah ibadah. Masih ada orang-orang beragama yang mengadakan pertemuan keagamaan secara massal di tengah bahaya virus ini. Dengan itu, dapat disimpulkan bahwa manusia masih sangat berpegang teguh pada imannya terhadap Tuhan. Relasi manusia dengan Tuhan tidak pernah terputus walaupun corona terus melanda dan membunuh manusia. Sangat jelas bahwa di hadapan Tuhan, manusia sungguh menyadari identitasnya sebagai substansi terbatas.
Di hadapan Tuhan, manusia berdoa meminta solusi
yang pasti untuk membunuh virus corona. Namun, tetap saja jawaban dari Tuhan
seolah-olah tidak ada. Berhadapan dengan situasi seperti ini, manusia mengalami
dilema. Ada orang yang mulai meragukan Tuhan sebagai penguasa yang mampu
mengatasi segalanya; ada juga yang tetap teguh berdoa dan memuji Tuhan. Artinya,
relasi manusia dengan Tuhannya tetap berjalan.
Masalahnya ialah, relasi dengan Tuhan dibangun tidak sesuai konteks. Masih ada orang-orang beragama yang tetap kepala batu melakukan doa secara massal di rumah ibadah yang berpeluang besar terjadinya penularan virus ini. Dari sini dapat diketahui bahwa, orang-orang model itu melihat Tuhan hanya hadir di rumah ibadah. Artinya – barangkali menurut mereka – Tuhan tidak ada di tempat lain kecuali di rumah ibadah. Akibatnya ialah manusia tidak memberi arti untuk sesamanya yang lain. Gara-gara berdoa atau pertemuan massal keagamaan, sesama yang lain terkena dampak virus.
Sebagai makhluk rasional dan beriman, manusia mesti mampu membaca konteks. Berdoa tidak mesti di rumah ibadah tetapi bisa dilakukan di rumah masing-masing sebab Tuhan adalah substansi sempurna yang bisa hadir di semua tempat. Intinya bahwa, relasi dengan Tuhan tetap berjalan baik di tengah bahaya Corona. Hal ini membuktikan bahwa manusia membutuhkan kekuatan dari luar dirinya untuk membantu dirinya yang terbatas itu.