Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Melihat Ulang Uyelewun Raya


Ebang: Rumah Adat multifungsi
                               

RAKATNTT.COM - Ada cerita unik dari kabupaten Lembata, khususnya wilayah Kedang (sebenarnya Edang) yaitu kegiatan expo Uyelewun raya yang telah diselenggarakan pada 26-28 oktober 2018. Kegiatan yang mengambil tema dorong dopeq ini melibatkan seluruh warga Kedang dari kecamatan Omesuri dan Buyasuri (sekitar 44 kampung). Pemerintah Kabupaten Lembata berinisiatif untuk mengagendakan kegiatan ini dengan tujuan mempromosikan budaya Kedang dan secara implisit demi mendukung program unggulan pemerintah yaitu pariwisata. 

Adapun mata acara yang ditampilkan selama expo berlangsung yaitu, karnaval atau ritual adat, tarian daerah, pameran situs-situs sejarah dan kuliner lokal, menari tandak mengelilingi gunung Uyelewun oleh masyarakat sambil menjemput rombongan panitia di setiap kampung secara estafet –walaupun disuntik terik mentari – serta sumpah pemuda sebagai kobaran nasionalisme.

Ada beberapa hal yang perlu kita (orang Edang) refleksikan dari kegiatan ini yang menurut Apolonaris Mayan sebagai sebuah kegiatan pesta rakyat Kedang. Yang saya maksudkan ialah kegiatan pesta ini harus menjadi momentum bermakna untuk melacak kembali jati diri kita sebagai orang Kedang yang menurut cerita lisan berasal dari satu moyang yaitu Wuyolewun (Uyelewun). Artinya kegiatan ini bukan sekadar iklan untuk menunjukkan keunikan budaya kedang tetapi perlu dilacak secara kritis tujuan utama yang digagas oleh Pemerintah; jangan sampai ada misi politis dengan prosedur yang tidak sehat.

Uyelewun Raya

Uyelewun raya berasal dari dua kata bahasa Kedang yaitu Uyelewun yang diambil dari nama Uyo Lewun, nama moyang orang Kedang dan Raya yang berarti orang kaya, raja atau jaya. Kata Raya versi kedang selalu merujuk pada status sosial atau jabatan terhormat. Misalnya seorang bupati akan disebut Rian Raya “orang besar atau raja yang kaya dan jaya.” Oleh karena itu, Uyelewun Raya sebenarnya mau mengajak orang Kedang untuk bersatu dalam perbedaannya dan kembali kepada akar yaitu Uyelewun sebagai Rian mereka. Menurut cerita lisan yang diwariskan di Kedang, mayoritas orang Kedang dilahirkan oleh Uyelewun di Puncak gunung. 

Uyelewun memiliki seorang istri yang bernama Edang Eor – ini salah satu versi – yang kemudian melahirkan Raya Uyo dan seterusnya hingga sekarang. Jika dilacak secara teratur silsila orang Kedang sampai moyang pertama, semuanya sekitar 40-an lapis keturunan dan warisan ini masih tetap dijaga oleh orang Kedang dengan sebuah sebutan yaitu, Ino Tutu’ Puli, Amo Pau Panang “orangtua mewariskan sejarah secara lisan kepada generasi baru.” Justru konsep inilah yang menggerakan seluruh orang Kedang termasuk Pemerintah Lembata untuk mengadakan kegiatan expo Uyelewun Raya walaupun menurut saya nama ini sangat kontroversial dan beberapa atraksi yang problematis.

Menemukan Jati Diri

Budaya merupakan hasil cipta atau karsa manusia. Sebuah warisan yang tetap awet dijaga oleh penganutnya mengindikasikan bahwa ada nilai-nilai positif yang menjadi pegangan hidup dalam membangun relasi sosial. Nilai utama yang perlu dipetik dari suksesnya kegiatan ini yaitu melacak kembali jati diri orang Kedang yang tersirat dalam sastra-satra adat penuh makna. Orang kedang melalui kegiatan ini mau menggambarkan kepada dunia bahwa sampai saat ini mereka selalu hidup damai, toleransi yang kokoh dan saling mencintai sebagai manusia atau atedi’en edang.

Merujuk pada sistem kepercayaan, mereka masih sangat berakar pada warisan agama tradisional – seperti poan kemer – untuk menyembah Amo Nimon Rian, “Bapa/Tuhan yang maha besar” walaupun sebenarnya iman keislaman dan kekatolikan sudah menjadi pegangan hidup. Ketika semua warga kedang hadir dalam kegiatan tersebut, terlihat nampak perbedaan agama, misalnya ada muslim dengan kekhasan pakaiannya tetapi antusiasme yang berkobar-kobar menampilkan bahwa perbedaan agama tidak menjadi instrumen pemisah. Kebudayaan lokal pada momentum seperti ini menjadi medium yang mempersatukan mereka untuk menemukan jati diri sebagai saudara satu bapak. 

Ketika agama hadir dengan atribut kekhasannya, budaya Kedang hadir sebagai tali pengikat yang terinternalisasi dalam sebutan-sebutan persatuan, misalnya, witing pulu wadeq udeq, maten pulu wuoq udeq dan sebagainya. Nilai yang perlu dipetik ialah, keberakaran dalam budaya sebagai dasar yang menopang persatuan sekaligus sebagai penangkal konsep-konsep radikal yang hadir melalui jalur agama maupun politik yang mungkin bergerak sistematis di balik layar expo ini. Jadi, dahsyatnya nilai positif sebuah kebudayaan lokal patut diakui.

Kegiatan yang menghabiskan waktu, tenaga bahkan anggaran ini harus menjadi cermin yang menggerakan orang Kedang untuk merevitalisasi roh kebudayaannya secara otentik bukan kosmetik, hanya sebagai momentum pesta pora atau digunakan sebagai latar belakang foto dan iklan-iklan bermotif pariwisata yang memungkinkan warga kedang menutup mulut terhadap kebobrokan politis yang terjadi.

Semua yang saya sebutkan di atas bukan menjadi hal mutlak yang diragukan tetapi bahwa harus ada nilai substansial yang dicapai apalagi kegiatan ini didukung oleh pemerintah milik seluruh warga Kabupaten Lembata. Artinya, sebagai manusia yang berbudaya, kita memiliki daya kritis untuk memilah substansi dari kegiatan ini. Ketika Pemerintah hadir dalam kegiatan ini, maka kritikan eksternal pasti selalu ada. 

Oleh karena itu, expo uyelewun raya harus dilihat sebagai wadah membuka diri terhadap kebudayaan lain. Artinya, selain mencintai budaya kedang dengan segala keunikannya, kita juga perlu menghormati dan mengakui budaya lain khususnya di daerah Lembata. Uyelewun raya “Uyelewun jaya” tidak boleh menggiring pola pikir kita untuk menjadi manusia etnosentris.

Hal ini terbukti melalui cerita purba bahwa Uyelewun memilik enam saudara yang sebagiannya sudah mengembara ke belahan dunia lain. Misalnya, Eye’ Lewun (Afrika), Raya atau Sina Lewun (China), Gaya Lewun (Jawa dan Sumatra), Beha’ Lewun (Eropa), Tanah Lewun (menjadi tuan tanah), dan Woka Lewun (menjadi tumbuhan woka yang angker). 

Cerita purba seperti ini sarat dengan nilai inklusivitas dan persaudaran tanpa sekat, baik antarmanusia maupun manusia dengan tumbuhan dan hewan. Oleh karena itu, melalui expo budaya, orang kedang dituntut untuk memaknai warisan tersebut sebagai konsep dasar membangun persaudaraan internal pun eksternal termasuk menjaga alam Kedang yang subur walaupun miskin mata air (masih menanti proyek wei lain).

Partisipasi Pemerintah

Saya sebagai putra Lembata sejujurnya sangat mengapresiasi kepekaan pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan expo ini yang diklaim sebagai yang pertama di dunia. Pemerintah dengan daya nalar rasional berani melaksanakan kegiatan akbar ini sehingga warga Kedang pun tidak segan-segan mengucapkan apresiasi terhadap pemerintah. 

Di berbagai media cetak maupun online terdapat begitu banyak ungkapan yang menggambarkan dahsyatnya kreativitas pemerintah khususnya untuk progresivitas pariwisata. Berbicara tentang pembangunan, tidak ada kata menolak; kita mendukung secara kritis.

Berkaitan dengan expo uyelewun raya, pemerintah mempunyai andil besar selain mempromosikan budaya, pemerintah juga membuat terobosan mendadak yang telah membangkitkan kesadaran warga Kedang untuk kembali pada jati diri kebudayaannya. Pemerintah juga turut membantu warga untuk mempromosikan arkeologi di Liang Pu’en yang mudah-mudahan menjadi bukti penelitian akan asal-usul manusia purba Kedang yang sesungguhnya dan didukung oleh mitos-mitos lisan yang telah lama berakar dalam masyarakat.

Namun, yang perlu diteliti ialah motivasi dasar dari pemerintah. Apakah kegiatan ini menjadi jalan tengah untuk merekatkan persatuan orang kedang 44 kampung dalam bingkai budaya? Apakah pemerintah menghormati hukum-hukum adat warga kedang khususnya kampung-kampung adat yang sudah mapan atau demi prospek pariwisata, pemda menghalalkan segala cara logis-rasional yang belum tentu diterima masyarakat? 

Dua pertanyaan ini menjadi bahan refleksi bagi pemerintah yang merencanakan expo uyelewun raya sebagai kegiatan rutin tahunan. Selain itu, pemerintah harus peka membaca gesekan sosial-budaya yang secara implisit terjadi sebagai ungkapan “ketidakpuasan” akan kegiatan ini. Mengapa hanya Uyelewun Raya? Mengapa tidak ada Lembata Raya? 

Pemerintah harus memberi pendidikan berbudaya yang seimbang tanpa memantik gesekan antarbudaya serentak merefleksikan konsep filosofi orang Kedang,  Laha muar, muar ruang, laha kehe, kehe ruang “berbuat yang benar, kebenaran akan datang, berbuat yang salah, suatu saat akan terkuak.”

Penulis Rian Odel

 

 

 

Post a Comment for "Melihat Ulang Uyelewun Raya"