BANGKU-BANGKU KOSONG# Cerpen Gervas Lolon Rian
![]() |
Kapela Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret |
Bangku kosong yang tidak selalu
ditempati itu, tidak pernah mengeluh dan mengaduh. Namun ia selalu ada di saa-saat
sepi, senang, dan perasaan lain yang dituangkan penghuni bangku. Saat itulah ia
sadar bahwa dirinya tak sekadar tumpuan tetapi juga kekuatan yang paling
dahsyat. Selalu menampung luka, perih dan pedih, terkadang mandi darah
penyesalan dan pertobatan. Sekali lagi
bangku kosong adalah nilai yang tak bernilai dan iman yang tak beriman
*
* *
Seperti
biasa, matahari baru merekah dan melumat gorden jendela, lelaki tua itu kembali
menapaki lorong sempit, menyusuri hutan lebat yang membuang sunyi dengan
nyanyian sendu burung-burung penghuni hutan tersebut. Kadang-kadang secara
beriringan berterbangan mendahuluinya. Terasa begitu akrab mereka dengan si tua
renta itu. Ia menuju tempat menerka mimpi dan mengais nafka. Tempat itu berada
di ujung kampung tua itu. Bekerja sebagai buruh sebuah bengkel kayu milik
pengusaha ternama di kampung itu adalah nasib yang harus ia embani demi anak
istri. Seperti biasanya jemari mulai menari-nari dari ujung ke ujung bangku yang baru selesai di buat itu
dengan kertas pasir di tangannya. Tugasnya adalah melicinkan setiap permukaan
bangku yang masih kembung oleh daging-daging kayu di sela maupun permukan setiap bangku.
Bangku-bangku itu dikerjakan dan diberikan untuk mengisi kapela yang masih
kosong dan baru itu. Tangan yang keriput
dan usia yang semakin renta tidak menjadi penghadang semangat kerja. Ia
bertekad menyisahkan hidupnya sebagai
buruh bengkel kayu itu.
Pagi
itu matahari belum nampak di pandang mata. Dengan senang ia beranjak melawan
dingin dan bebasah dedaunan yang sesekali menggoda tubuhnya. Lorong sempit dan
hutan lebat adalah jalan satu-satunya yang harus ia lewati. Siap membanting
tulang, tunaikan tugas demi anak istri adalah tugas wajib seorang suami.
Sesampainya di tempat kerja seperti biasa ia melanglang buana berirama bersama
tangannya ke tubuh-tubuh bangku yang menyisahkan daging di sela-sela bangku. Debu
kayu semprotan kompresor menjadi air padat yang terus menyiraminya hingga
menutupi pori-pori tubuhnya. Namun, hatinya tidak terkoyak sedikitpun. Ia hanya
mau bekerja untuk kenyamanan penghuni bangku. Setiap saat harus bertarung
dengan panas dan debu yang terus mengepul deras menutupi rongga-rongga
tubuhnya.
“Tubuhku
boleh membeku dengan kepulan debu ini, tetapi tidak untuk mereka yang menghuni
bangku ini,“ katanya di suatu senja
kepada buruh yang lain.
“Bapak
sepertinya selalu semangat akhir-akhir ini.”
Ia tak pernah menjawab sepotong kata
pun. Hanya ada sebait jawaban yang menyeruak dalam hatinya. “Ini semua saya lakukan untuk kapela itu, segala keindahan yang ada di
kapela itu harus diimbangi dengan keindahan bangku ini. Kenyamanan penghuni
bangku adalah tujuan utama saya.”
Pagi
ini tidak seperti pagi yang lalu-lalu. Udara dingin dan langit mendung sehabis
hujan menjadi suasana yang menghiasi lelaki tua itu. Ia mulai mengayun langkah
menuju tempat kerjanya. Pagi itu, belum ada satu penghuni kampung yang sadar
dari tidur semuanya masih ditelan ranjang dan lelap dalam mimpi. Namun, tidak
untuk lelaki itu, apa yang membuat ia seawal ini, menjadi pertanyaan yang tak
ada jawabannya. Gelap mencekam menghiasi langkah kakinya. Genangan air menutupi
badan jalan tidak menjadi tantangan dan menutupi semangat kerjannya. Tidak
seekor burung pun yang menghiasi perjalanannya. Matanya sedikit kabur-kabur
tidak mematahkan semangatnya. Kantuk makin menjadi-jadi. Mungkin ia belum
membayar lunas dengan tidurnya yang begitu singkat. Barulah ia ketahui bahwa
waktu baru menunjukkan pukul tiga ketika bunyi bedug disusuli dengan dendangan
suara merdu dari mesjid di ujung kampung itu. Suara merdu dari mesjid itu
menghiasi langkahnya. Ia seakan berada dalam mimpi. Mimpi tentang dirinya bertemu
dengan seorang lelaki yang mengenakan baju putih dan celana pendek, pakian itu
di selimuti debu. Debu serbuk kayu mungkin mirip dengan apa yang dilontarkan
kompresor itu. Baju yang lusuh dan robek-robek itu adalah tidak lain mirip baju
yang ia kenakan saat ini. Boleh dikatakan kembar. Pria itu berkata kepadanya,
“Hari
ini adalah hari terakhir kamu melumat debu. Kini tiba saatnya debu-debu itu kau
taburkan dari tubuhmu untuk mereka yang menghuni bangku itu. Kini saatnya kau
teteskan keringat yang lama kau tampung pada tubuhmu, teteskan pada tubuh
penghuni bangku yang adalah hasil kerja kerasmu itu. Ini saatnya engkau kembali
dan hidup selalu di sisi Ku. Beribu terima kasih Kuucapkan karena tidak sedikit
orang Ku yang kau selamatkan dengan debu dan keringat yang lahir dari tubuhmu.
Datanglah dan bergembiralah bersamaku.”
Suara
merdu dari mesjid tak terdengar lagi. Subu baru saja tiba. Tersiarlah kabar
yang mengetarkan jantung seluruh penghuni kampung kecil itu. Pak Teo pekerja
keras di kampung itu ditemukan tewas telentang tak bernyawa di atas rerumputan
basah sedang burung-burung menyanyikan lagu merdu, sekali-kali terbang berkerumunan
mengelilingi mayatnya. Tubuhnya tampak segar karena diawetkan oleh uap-uap
rerumputan yang disirami embun pagi itu. Nyawanya hilang bersama suara di
mesjid itu. Pagi itu ia langsung disemayamkan di samping gubuk reyotnya yang
berada di tengah kampung. Dalam upacara penguburan, seorang karyawan teman
seperjuangannya meminta izin kepada kepala kampung untuk membacakan surat titipan. Ia temukan surat itu berdebu,
lusuh dan basah di tempat dimana ia menghembuskan nafas terakhirnya.
“Untuk Pemilik Bangku
Dari saya pria berdebu emas
Bangku-bangku itu jangan kamu
biarkan kosong. Datang dan tempati. Hiasi dengan tetesan embun yang tidak pernah
lelah menghiasiku setiap pagi dan Hiburlah dengan nyanyian burung yang selalu
menemaniku setiap pagi. Jangan biarkan dia sepi. Sebab bangku adalah dirimu.
Perjuangkan untuk Merawatinya. Rawatilah
dia seperti dirimu sendiri, sebab ketika engkau merawatnya, engkau sekaligus
merawat Dia yang selalu berdiam dalam jiwamu.”
Selesai membaca surat
itu, tak disadari gumpalan debu menyembur keluar dari tubuh lelaki tua itu.
Debu menggebu-gebu melebur dan tinggal dalam tubuh warga desa yang datang
melayatnya.
(Oleh
Gervas Lolonrian, Di Kamar Sepi, Pada Beranda Pnehabisan
Buah – Buah Luka Yang
Memar Dan Ingin Dimaknai )