Mendidik Suara Hati Kaum Muda di Tengah Perkembangan Media Sosial (Sebuah Upaya komunikatif dalam Menuntun Kaum Muda menuju Moralitas Kristiani)
Pendahuluan
“Satu-satunya
kenyataan yang tetap merupakan kesatuan yang tidak terbantahkan adalah manusia
yang berkomunikasi, dan untuk berkomunikasi secara dapat dipahami dia
menggunakan bahasa, serta mesti memenuhi syarat-syarat berkomunikasi.”[1] Pernyataan
tersebut menunjukkan bahwa eksistensi manusia adalah kemampuannya membangun
komunikasi yang efektif di tengah pluralitas persoalan dan kondisi hidup yang beragam.
Pernyataan itu juga mengamini keyakinan bahwa manusia tidak bisa berjarak
dengan komunikasi. Komunikasi merupakan kondisi dasariah manusia. Manusia
selalu berposisi sebagai mahkluk yang berbudi bahasa.
Komunikasi
memiliki beragam definisi.[2] Semua
definisi itu saling melengkapi dan turut membentuk pemahaman dasariah tentang
komunikasi. Namun, ada hal yang lebih penting dari sekedar mengetahui definisi
kumunikasi, yakni cara menerapkan teori itu dalam realitas harian. Pendasaran
teoritis akan bermakna bila menemukan medan untuk perwujudannya. Oleh karena
itu, tugas penting bagi setiap manusia yakni kemampuan untuk “membumikan” ilmu.
Perlu diakui bahwa proses yang dimaksudkan bukan tugas yang ringan. Kita selalu
memerlukan strategi komunikasi yang tepat agar tujuan dan pesan lebih tepat
sasar.
Manusia
telah lama menghuni planet bumi tetapi ini bukan berarti telah mampu mengatasi
segala persoalan hidup. Permasalahan sosial tetap ada dan terus ada. Akhirnya
hidup seperti hanya untuk mencari jalan keluar atas beragam persoalan. Salah
satu persoalan yang kini menjerat hidup manusia adalah persoalan seputar
moralitas seksual kaum muda di tengah lajunya media sosial. Media yang
diciptakan dengan tujuan membantu manusia kini mulai membias fungsinya. Media
kini tidak hanya sebagai penyalur informasi yang membangun peradaban manusia
tetapi juga sebagai sarana untuk menebarkan aspek-aspek yang menumbangkan
moral. Atau dalam bahasa Yuval Noah Harari dalam buku Homo Deus: Manusia kini kehilangan kendali dalam menggunakan media
sosial. Hemat saya, Yuval bukan sekedar mengungkapkan realitas tetapi juga menunjukan
keprihatinan mendalam kepada umat manusia, khususnya bagi kaum muda yang
menjadi pusat perhatian dalam tulisan ini.
Tulisan
ini hendak menyodorkan sebuah strategi sederhana dalam perwujudan ilmu
komunikasi. Penulis akan mengawali dengan sebuah conoh kasus. Kasus itulah yang
menjadi konteks persoalan dan penulis mencoba membangun sebuah rancangan
perubahan demi terselesaikannya persoalan tersebuat. Tulisan ini tentu
berkonteks pastoral Kristiani, sebab penulis menyadari keberadaannya sebagai
agen pastoran[3].
Contoh Kasus
Pada
zaman digital ini, ada berbagai macam kasus yang ditemukan dalam kehidupan
sosial yang membuktikan tidak bijaksananya kaum muda dalam berteknologi. Banyak
video porno yang beredar di tengah masyarakat dan amat mudah diakses melalui
internet. Akibat kecanduan video semacam ini, timbul risiko yang lebih lanjut
misalnya maraknya kasus pemerkosahan. Joglosemar News.Com memberitakan kasus
pemerkosaan di Surabaya oleh Nur Samsuri terhadap siswi SD berusia 11 tahun
yang adalah tetangganya, sambil menonton film porno[4]. Sial
benar nasib siswi itu. Aksi nekat yang dilakukan Nur Samsuri itu merupakan
salah satu contoh dari sekian banyak peristiwa kelam yang menimpa perempuan
dewasa ini. Wanita selalu menjadi korban
kekerasan (seksual). Eksistensi perempuan selalu rentan. Yang amat disayangkan
dari kasus tersebut adalah usia siswi SD itu (11 tahun). Tentu ia akan
menghadapi masa depan dengan konsep tentang hidup yang kejam dan tidak
bermoral. Ia menjadi trauma dan pessimis
menjalani hidup. Luka yang tergores dalam dirinya akan terus membekas.
Kasus
yang penulis kemukakan itu menggambarkan ketidakmampuan dalam menggunakan
teknogi secara bijak. Media kini digunakan sebagai instrumen untuk memuaskan
hawa nafsu atau membentuk kelompok sebaya guna mentranfer video-video mesum.
Media juga digunakan sebagai bagian dari gaya hidup. Banyak kaum muda yang
memosting perilaku yang tidak etis. Di sini, ruang klausura sedang ditantang.
Tidak ada yang tersembunyi dan hanya untuk kepentingan pribadi. Media
dimanfaatkan untuk menunjukkan bagian-bagian tubuh yang dapat membangkitkan
nafsu seksual. Lantas kita bertanya, ada apa dengan kaum muda? Mengapa
peristiwa tidak bermoral seperti itu bisa terjadi? Namun, semua pertanyaan itu
tidak akan sampai pada proses pembebasan tanpa pertanyaan, bagaimana cara
gereja (agen pastoral) menyikapi tragedi kemanusiaan itu?
Strategi Pastoral
Teologi
khatolik menekankan pentingnya suara hati dalam menentukan kebenaran dan
kekeliruan. Konferensi Para Uskup di Irlandia mendefinisikan suara hati sebagai
kepekaan akan kebenaran atau kekeliruan akan prinsip-prinsip fundamental untuk
melaksanakan yang baik dan menolak yang jahat.[5] Suara
hati di sini memiliki urusan dalam bimbingan yang bersifat etis terhadap diri sendiri
dalam perilaku manusia yang konkrit. Dalam hidup harian, suara hati juga
cenderung terkondisi oleh ruang dan waktu, maka pentingnya mendidik suara hati
sehingga menjadi lebih matang.
Masa
muda adalah salah satu tahap yang penting dalam masa pertumbuhan manusia
sebelum masa dewasa. Masa ini penuh dengan segala kemungkinan. Ada kebebasan
yang mulai dialami sebab sudah mulai renggang dari tanggung jawab penuh orang
tua seperti masa anak-anak. Masa ini juga adalah tahap menuju kematangan
psiko-emosional, kematangan intelektual dan spiritual. Kaum muda mulai terjun
dalam dunia yang lebih luas di antara teman-teman sebaya. Namun, situasi sosial
kaum muda abad-21 tidak seperti pada abad sebelumnya. Kini, kaum muda semakin
dipengaruhi oleh kehadiaran media sosial. Ada banyak tingkah laku yang semakin
diarahkan oleh gaya hidup media. Fenomena menunjukkan diri melaui postingan
status Facebook, Instagram, WhatsApp,
semakin marak. Faktor eksternal ini menghantar kaum muda pada persipangan dalam
mengambil keputusan. Ada ambiguitas dalam diri kaum muda. Kaum mudah dipengaruhi
dengan penyebab lain di luar dirinya (teknologi) lalu mengabaikan otoritas
suara hatinya.
Strategi
mendidik suara hati kaum muda adalah hal yang urgen. Suara hati perlu dididik
agar kaum muda tidak mudah diarahkan pada penyimpangan seksual atau semakin jauh dari garis moral. Berikut ini
beberapa jalan keluar yang dianjurkan penulis sebagai strategi guna mendidik
suara hati kaum muda di tengah perkembangan media sosial.
Pertama,
mengarahkan kaum muda kepada perjumpaan yang akrab dengan Tuhan. Pembentukan
suara hati diantara kaum muda memerlukan penyegaran hubungan personal dengan
Yesus. Kaum muda mesti disadarkan akan peristiwa inkarnasi. Perjumpaan personal
dengan Yesus menghantar kaum muda pada komitmen untuk memperbaiki relasi dengan
Sang Pusat Hidup. Kaum muda diarahkan untuk menjauhi dosa karena dosa selalu
diartikan sebagai rusaknya hubungan dengan yang Ilahi. Keutaamaan kristiani
yakni cinta kasih akan menjadi modal dasar guna mengasah suara hati kaum muda
yang semakin peka dengan situasi sosial masyarakat. Geraja pada abad-21 mesti
menggunakan media sosial menjadi sarana untuk menampakan wajah Kristus dan
memperdengarkan suara Tuhan. Renungan harian atau animasi rohani mesti
dikembangkan agar semakin dekat dengan kebutuhan kaum muda. Inilah cara yang
dalam ilmu komunikasi dinamakan mengubah upaya agen, yakni memperluan jangkauan
agen dalam berkomunikasi dengan klien.[6]
Semakin banyak klien yang mengadopsi inovasi yang dikomunikasikan semakin besar
kesuksesannya. Gereja mesti peka dan bijak dengan kebutuhan zaman yakni
kreativitas dalam memanfaatkan teknologi untuk pewartaan. Kaum muda mesti
diarahkan pada perjumpaan dengan Yesus melalui media sosial agar kepekaan suara
hati terus terasah.
Kedua,
perkembangan moral dalam diri kaum muda harus juga memperhitungkan panorama
sentral tentang tuntutan identitas yang terjadi pada begitu banyak pengalaman
kaum muda. Kini, kaum muda giat mengembangkan ke-aku-an yang semakin besar.
Perasaan ini akan semakin membantu dia untuk bertindak secara bebas dan
bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan moral pribadinya. Dengan
demikian, tekanan utama harus diberikan pada penggalakan berbagai segi hidup
kaum muda dan mengintegrasikan pengalaman-pengalaman hidup dalam perkembangan
ke-aku-an kaum muda. Keputusan moral kaum muda yang otentik muncul dari
pengintegrasian diri dan berbagai pengalaman.[7]
Pengintegrasian di era digital mesti mempertimbangkan penggunaan media. Kaum
muda diarahkan untuk menggunakan media secara bijak. Sosialisai tentang
pemanfaatan media mesti sejalan dengan tujuan iman kristiani dan kemauan kaum
muda agar inovasi pada masa sekarang terarah pada kehidupan eskatologis. Ilmu
komunikasi menamakan cara ini menyesuaikan dengan kebutuhan klien.[8]Sebagai
agen pastoral, penulis mesti mendiagnosa kebutuhan para kaum muda dengan cara
yang tepat.
Ketiga, pembentukan
suara hati kaum muda perlu disatukan dengan masalah-masalah lebih besar tentang
kehidupan iman komunitas. Kaum muda, terutama pada masa remaja memerlukan
pengalaman yang memunculkan adanya semangat hidup bermasyarakat yang akan
menyuburkan pembentukan nilai-nilai dan komitmen-komitmen dalam dirinya. Gereja
harus mengusahakan suatu situasi bagi “pelajaran moral”. Di sana remaja bisa
merenungkan, mendalami dan menantang sikap moralnya sendiri maupun orang lain
demi pendalaman tanggapan evaluatifnya sendiri. Gereja mesti menggunakan media
sosial sebagai ruang pembelajaran dan bahan permenungan yang memperkuat dan
mendorong adanya pengalaman berkomunitas.
Penutup
Kaum
muda adalah masa depan Geraja. Gereja tentu mengharapkan kaum mudanya bertumbuh
menjadi pribadi yang memiliki komitmen dan tanggung jawab. Namun, fakta
menunjukkan bahwa banyak kaum muda yang masih gagal berjalan dalam koridor
moral yang tepat. Ada banyak kaum muda yang terjebak dalam penyalahgunaan media
sosial yang berakibat pada runtuhnya moralitas seksual. Oleh karena itu, suara
kebenaran mesti didengungkan. Dalam tulisan ini, penulis telah mencoba
menyuarakan salah satu aspek penting yang mesti ditegaskan yakni pentingnya
mendidik suara hati kaum muda yang tepat. Penulis telah menawarkan tiga langkah
sebagai strategi untuk mendidik suara hati kaum muda di tengah perkembangan
media sosial. Kedekatan relasi dengan Yesus, pengintegrasian pengalaman pribadi,
dan penguatan relasi dalam kehidupan berkomunitas adalah alternatif solusi yang
telah penulis sarankan. Upaya kematangan suara hati tentu bukan langkah sekali
jadi. Oleh karena itu, upaya untuk membangun strategi komunikasi yang lebih
tepat sasar menjadi semakin mendesak. Para agen pastoral diharapkan untuk mampu
mengembangan disiplin keilmuan juga menumbuhkan aneka langkah penyelesaian
persoalan.
Oleh Oktovianus Olong |
Daftar
Pustaka
Budi,
Paul Kleden. “Pandangan Johann Babtist Metz Tentang Politik Perdamaian Berbasis
Compassio”. Diskursus, Vol. 12, No. 1, April 2013.
Hamdani,
“Ngeri, Siswa SD Berusia 11 Tahun Jadi Ketagihan Seks Usai Dicabuli Tukang
Odong-Odong Sambil Nonton Video Porno”, dalam Joglosemar News.Com, https://joglosemarnews.com/2019/08/
ngeri-siswa-sd-berusia-11-tahun-jadi-ketagihan-seks-usai-dicabuli-tukang-odong-odong-sambil-nonton-video-porno.html,
diakses pada 2 Desember 2020.
Klau, Amandus.
“Komunikasi Pastoral” (ms.). Maumere:
STFK Ledalero, 2020.
Shelton, M. Charles. Moralitas Kaum Muda. Yogyakarta:
Kanisius, 1988.
[1]Pernyataan tersebut merupakan titik
tolak dari teori tindakan komunikatif Habermas. Bdk. Paul Budi Kleden,
“Pandangan Johann Babtist Metz Tentang Politik Perdamaian Berbasis Compassio”, Diskursus, 12:1 (Jakarta, April 2013), hal. 83.
[2]Ada 20 definisi tentang
komunikasi menurut para akademisi. Namun, kuntititas definitif itu terus
bertambah seiring perkembangan zaman dan kelajuan arus teknologi informasi. Bdk
Amandus Klau, “Komunikasi Pastoral” (ms.),
(Maumere: STFK Ledalero, 2020), hal. 3-4.
[3]Ketika kita mengambil bagian
dalam pelayanan pastoral, kita sesungguhnya terlibat dalam perubahan sosial,
dan kita menjadi agen perubahan itu sendiri. Ibid., hal. 54.
[4]Hamdani, “Ngeri, Siswa SD Berusia
11 Tahun Jadi Ketagihan Seks Usai Dicabuli Tukang Odong-Odong Sambil Nonton
Video Porno”, dalam Joglosemar News.Com,
https://joglosemarnews.com/2019/08/
ngeri-siswa-sd-berusia-11-tahun-jadi-ketagihan-seks-usai-dicabuli-tukang-odong-odong-sambil-nonton-video-porno.html,
diakses pada 2 Desember 2020.
[5]Charles M. Shelton, SJ, Moralitas Kaum Muda (Yogyakarta:
Kanisius, 1988), hal. 14.
[6]Amandus Klau, op. cit., hal. 55.
[7]Charles M. Shelton, SJ, op.cit., hal. 25.
[8]Amandus Klau, op. cit., hal. 56.
Post a Comment for " Mendidik Suara Hati Kaum Muda di Tengah Perkembangan Media Sosial (Sebuah Upaya komunikatif dalam Menuntun Kaum Muda menuju Moralitas Kristiani)"
Komentar