Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Mengungkap Kehadiran Allah Dalam Tubuh Manusia (Bagian 1)

 

Ilustrasi Foto: Brigitha Telik


(Sebuah Pendasaran Teologi Tubuh Menurut Paus Yohanes Paulus II)

 

Pengantar

Nama Paus Yohanes Paulus II tentu tidak lagi asing ditelinga. Pria asal Polandia yang memiliki nama asli Karol Wojtila ini adalah paus yang menggantikan Paus Yohanes Paulus I. Pada tanggal 16 Oktober 1978, Uskup Agung Krakow-Polandia ini terpilih sebagai Paus. Ia memilih nama Yohanes Paulus II untuk melanjutkan nama yang dipilih oleh Paus sebelumnya. Seperti kenyataan yang lazim setelah seorang Paus dipilih, orang-orang mulai bertanya soal kemungkinan perubahan yang dilakukan dalam Gereja Katolik Roma. Pertanyaan yang mengisi ruang kepala publik itu akhirnya terjawab. Paus Yohanes Paulus II melakukan suatu pecerahan intelektual dalam tubuh Gereja Katolik. Ia membuat sebuah revolusi seks.[1]

Paus yang baru terpilih itu mengembalikan arti yang sebenarnya dalam memahami seks. Perjalanan sejarah manusia membuktikan adanya pembelokan arah dalam mendefinisikan seks pada diri manusia. Manusia gagal memberi arti yang tepat mengenai seks. Akibat lanjut dari kekeliruan ini yakni ketimpangan dalam memahami tubuh manusia itu sendiri.

Pada zaman sebelum adanya  pelurusan makna seks, orang-orang cenderung  terperosok dalam dua kekeliruan yaitu: pertama, melihat seks sebagai sesuatu yang jahat. Seks dianggap tabu. Pembicaraan tentang seks selalu memperoleh tanggapan buruk dari sesama. Manusia hidup seolah-olah tidak memiliki tubuh. Anak-anak dilarang untuk membicarakan persoalan mengenai seks karena itu adalah urusan orang dewasa.

Bukan hanya anak-anak tetapi hal ini juga semacam kesalahan fatal bila keluar dari mulut orang-orang yang hidup selibat. Dalam kalangan dewasa, seks juga tidak boleh diucapkan dalam ruang publik. Seks semacam urusan yang amat privat antara laki-laki dan perempuan. Penulis pun mengalami hal yang sama ketika masih kanak-kanak. Bahkan di tempat penulis berasal (Kedang-Lembata) masih ada orang yang masih keliru dalam memahami arti seks.

Orang-orang Kedang memahami seks sebagai hubungan seksual, juga sebagai alat kelamin dari laki-laki atau perempuan. Padahal seks dalam arti yang sesunggunya yaitu meyangkut keutuhan pribadi manusia.

Kedua, tubuh manusia itu begitu baik sehingga segala sesuatu yang muncul dari tubuh manusia tidak boleh ditahan. Ekstrim yang satu ini sepertinya meloloskan semua keinginan dari tubuh manusia. Akibatnya adalah menghalalkan semua keinginan tubuh. Peluang ini tentu disambut baik dalam dunia ekonomi. Situs-situs porno mulai beredar, dibukanya “rumah-rumah merah”, gambar-gambar bugil mulai laku. Bahaya fatal mulai tercipta. Manusia kehilangan etika atau mulai minus moralital. Hawa nafsu menguasai diri manusia.

Berhadapan dengan persoalan tersebut, manusia dibingungkan karena satu ekstrim dengan ekstrim yang lain. Sebagai agen pastoral juga menjadi bagian dari masyarakat manusia, kita tentu prihatin akan kondisi seperti ini. Kita pun bertanya: apa yang mesti kita buat? Bagaimana cara mengarahkan manusia untuk menemukan jalan yang tepat dalam memahami arti tentang seks dan tubuh? Apa alternatif solusi yang tepat dalam menangani persoalan tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang dijawab oleh Paus Yohanes Paulus II dalam refleksinya mengenai seks atau dalam suatu pastoral kontekstual yang Ia tawarkan yaitu Teologi Tubuh. Teologi Tubuh Paus dari Polandia ini berusaha membebaskan manusia dari belenggu kesesatan cara berpikir manusia. Tentu pendekatan yang Beliau ambil bertolak dari iman Gereja Katolik Roma.

 Memahami Manusia

 Adanya manusia selalu dimengerti sebagai sesuatu yang terberi. Manusia tidak mampu manciptakan dirinya sendiri. Hukum sebab-akibat selalu berperan. Saya ada karena orang tua saya. Orang tua ada karena kakek dan nenek saya. Begitu selanjutnya sampai ada suatu asal yang menjadi Sebab Utama, yang dalam ajaran Kristiani disebut Tuhan atau masyarakat Kedang-Lembata menyebutnya Amo Nimon Rian Arin Baraq.

Manusia sebagai sesuatu yang terberi itu diyakini memiliki bagian-bagian. Socrates menjelaskan bahwa manusia terdiri dari jiwa dan badan.[2] Baginya, jiwa itu bersifat kekal. Jiwa atau roh itulah yang membedakan manusia dari segala sesuatu yang lain. Tubuh dalam pemahaman Socrates hanyalah alat bagi jiwa untuk mengekspresikan dirinya. Tubuh melayani jiwa.

Pengertian di atas berakibat pada pemahaman yang keliru. Tubuh dilihat sebagai alat bagi jiwa. Artinya, jiwa itu lebih penting daripada tubuh. Socrates tentu tidak bisa dipersalahkan. Ia adalah anak zamannya. Ia mendefinisikan itu dalam upaya menjawabi kerinduan spiritual orang-orang waktu itu. Sesuatu menarik dari pribadi ini bahwa ia membuat suatu pendasaran penting dalam memahami manusia secara utuh.

Socrates percaya bahwa ada suatu tempat dalam tubuh manusia yang dinamakan daimonion yaitu tempat pertemuan yang Ilahi dengan yang fana.[3] Pengakuan Socrates ini mengamini bahwa manusia dalam dirinya (tubuh) terkandung unsur yang Ilahi.

Rasul Paulus dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus 6:19 menegaskan bahwa manusia terdiri dari jiwa dan raga. “Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah”. Seruan Rasul Paulus ini mengingatkan semua orang beriman supaya menggunakan tubuh secara baik dan bertanggung jawab. Tubuh manusia yang mencakupi seluruh keutuhan pribadi adalah sarana bagi Allah untuk menampakan diri dalam dunia riil. Manusia diajak oleh Rasul Para Bangsa ini untuk tidak menggunakan tubuh untuk memuaskan keinginan semata atau melayani nafsu tetapi melalui tubuh seseorang hendaknya menunjukkan bahwa ia sedang mengandung Roh Tuhan dalam dirinya. Tubuh adalah bait Roh Kudus.

Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa manusia secara radikal berbeda dari binatang oleh karena dia adalah pribadi dan memiliki keunikan tersendiri (inner self) dan karena ia memiliki apa yang dinamakan kehidupan batiniah (interior self).[4] Manusia adalah pribadi yang unik dan tidak tergantikan. Keunikan juga menjadi dasar sehingga seseorang berbeda dari orang yang lain. Lebih jauh, Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa dosa telah menjadikan hati manusia tegar dan sulit untuk memahami arti tubuh dan seksualitasnya yang sejati.

Ini semua nyata dalam Kitab Kejadian. Dosa adalah alasan utama manusia tersesat dalam mengartikan tubuh sebagai tempat kediaman Allah, karena pada Kitab yang sama telah diterangkan bahwa manusia adalah citra Allah. Oleh karena itu, beliau menggunakan Kitab Kejadian sebagai titik tolak untuk membawa manusia masuk pada pemahaman yang benar tentang tubuh. (Bersambung...)


Oleh Oktovianus Olong




[1]Deshi Ramadani, SJ,  Lihatlah Tubuhku (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009), hal. 16-17.

[2]Yosef Keladu, “Sejarah Filsafat Barat Kuno”(ms.), (Maumere: STFK Ledalero, 2016), hal. 66.

[3]Ibid., hal. 67.

[4]Paskalis Lina, Karol Wojtila Tentang Cinta Dan Tanggung Jawab (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hal. 2.

Post a Comment for "Mengungkap Kehadiran Allah Dalam Tubuh Manusia (Bagian 1)"