Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Peluang Pendekatan Politik Cas Mudde Di Era Dataisme (Bagian 2/habis)

 

Oktovianus Olong



Peluang pendekatan politik  Cas Mudde di Era Dataisme

Penjelasan sebelumnya telah mengupas pendekatan politik Cas Mudde dan menerangkan apa yang dimaksud dengan era dataisme. Pendekatan politik Cas Mudde yang dimaksudkan tentu definisi tentang populisme. Bagi Mudde, populisme adalah sebuah pendekatan ideasional. Pendapatnya ini tentu menemui pro dan kontra dalam ruang publik. Akan tetapi hal yang tidak kalah menariknya adalah kegunaan definisi itu dalam konteks kekinian. Oleh karena itu, berikut ini akan ditunjukan beberapa argumen penulis tentang relevansi definisi itu pada era dataisme.

Ekspresi yang semu

 Rene Descartes melihat aktus berpikir sebagai sesuatu yang tidak diragukan keberadaannya. Mungkin saja seluruh indera (penciuman, penglihatan, pendengaran), hanyalah ilusi. Dengan aktusnya menyangsikan segala hal, Descartes berakhir pada kesimpulan bahwa cogito ergo sum, I think, therefore I am, saya berpikir, karena itu saya ada. Ketika semua hal dapat disangsikan, maka aku yang menyangsikan ini semakin nyata dan benar-benar ada. Eksistensi saya ditentukan oleh aktus berpikir.

 Kehadiran computer memungkinkan munculnya logika berpikir dan cara manusia menghidupi kesehariaannya berbeda dari yang sebelumnya. Kemunculan teknologi ini melahirkan logika berpikir baru. Eksistensi manusia pada era digital ini ditentukan dengan aktifnya seseorang berselancar dalam dunia maya. Ketika seserang memberi tanda like ketika ber-facebook atau WhatApp, maka eksistensinya diakui.

 Berhadapan dengan konteks zaman yang demikian, langkah para politisi untuk menebarkan pengaruh juga ikut menyesuaikan diri. Kehadiran profil tokoh politik dalam dunia siber bukan kenyataan yang langka lagi. Para politisi memanfaatkan media elektronik untuk menampilkan wajah yang ceria dan senyum yang simpati. Sapaan yang muncul dari tulisan di baian bawah foto profil terkesan amat peduli pada kasus ketidakadilan dan adanya kemauan berjuang bersama rakyat menuju kesejahteraan. Hemat saya, para politisi dalam konteks ini menampilkan ekspresi kasih sayang yang semu. Ekspresi dan kata-kata yang dipajang di media sosial memiliki tujuan dasar untuk menarik simpati masyarakat dan membuktikan bahwa mereka selalu ada.

 Ekspresi yang abu-abu itu tentu memiliki motivasi tersembunyi. Mereka menyembunyikan sifat-watak mereka yang minus moral. Mereka balutan sikap “korup” di dalam selimut kata-kata yang meneduhkan. Dalam kacamata ini, pendapat Cas Mudde bahwa para elit cenderung tidak bermoral dibenarkan. Moralitas para politisi yang aktif menggandakan foto dan kalimat-kalimat simpati di media online cenderung minus. Mereka menyembunyikan kekacauan sifat mereka dengan bantuan para desainer digital.

b)     Mulus meraup keuntungan suara

 Masyarakat sekarang sedang dan sudah terkondisi oleh media. Istilah Yuval Noah Harari bahwa kondisi terkini adalah era agama data bisa dipertanggungjawabkan. Media berhasil mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku manusia. Dataisme sungguh nyata dan sedang berkembang pada era mileneal ini. Satu hal yang pasti bahwa situasi seperti ini tentu dimanfaatkan juga oleh para politisi guna mendulang keuntungan di bilik suara. Media digunakan sebagai pendobrak dan pembawa kekuatan baru dalam politik. 

Para politisi menggunaka media sebagai instrumen seolah-olah menyuarakan kehendak umum masyarakat. Kepentingan pribadi selalu racik dalam bahasa publik sehingga mempengaruhi opini masyarakat. Kenyataan ini semakin diperparah dengan lemahnya sikap kritis dari masyarakat. Prinsip Machiavellianisme[1] berakar kuat dalam praktik bermedia para politisi. Prinsip seperti ini tentu membawa keuntungan dalam berpolitik, tetapi watak yang korup dan moral yang melemah semakin tubuh subur dalam kepribadian para politisi.


BACA JUGA:

peluang-pendekatan-politik-cas-mudde-bagian-1

demo-dukung-awololong-ternyata-pernah-ada-di-lembata

 

Penutup

 Dunia percaturan politik memang tidak perna statis. Politik selalu mengalir  dan terus berubah dari waktu ke waktu. Tentu yang berubah dalam hal ini yaitu pendekatan politik yang digunakan oleh para politisi. Kepandaian politisi dalam membaca peluang dalam pentas politik melahirkan aneka strategi politik yang beragam. Strategi politik yang dikembangkan berbeda-beda menurut latar belakang sosial-budaya masyarakat. Perbedaaan turut dipengaruhi oleh perkembangan zaman. 

Era dataisme menjadi salah satu faktor yang turut mempengaruhi pendekatan politik. Keragaman politik berlangsung juga dalam gaya politik kaum populis. Populisme di Amerika tentu berbeda dengan Asia. Pupulisme di Afrika juga berseberangan lagi dengan Amerika Latin. Meskipun ada beragam pendekatan politik oleh kaum populis, satu hal yang pasti bahwa optimisme menjadi pemenang adalah motivasi dasar bersama.

Cas Mudde membahasakan populisme sebagai sebuah pendekatan ideasional. populisme sebagai sebuah ideologi yang memisahkan masyarakat menjadi dua kelompok yang homogen dan antagonis, “orang murni” versus “elit korup”, dan yang berpendapat bahwa politik harus menjadi ekspresi dari kehendak umum. Kemurnian dan keaslian didefinisikan oleh Mudde dalam istilah moral. Bagi mudde, populisme memiliki konsep-konsep kunci  yaitu ideologi, rakyat, elit, dan kehendak umum. Pendapat dari Mudde ini ternyata memiliki relevansinya pada era yang dinamakan Yuval N. Harari sebagai dataisme ini. 

Para politisi pada era ini cenderung memiliki ekspresi yang semu dan menggunakan media sebagai instrumen untuk mendulang keuntungan. Keberhasialan ini sayangnya berangkat dari motivasi Machiavellianisme, sehingga moral para elit yang korup seperti yang dikatakan Cas Mudde dibenarkan. Profil kebaikan dan kepedulian politisi ternyata hanya untuk mempengaruhi opini publik. Ekspresi semacam itu ternyata palsu karena tangan para editor media-lah yang memuluskan mimpi mereka menjadi kenyataan. Sikap yang diharapkan dari publik tentunya sikap kritis bermedia. Metode kesangsian metodis seperti perna diangkat oleh Descartes menjadi sangat urgen di era dataisme.


Daftar Pustaka

 

Gusti, Otto Madung, “Populisme, Krisis Demokrasi, dan Antagonisme”. Jurnal Ledalero, 17:1, Juni 2018

Kristiyanto, Eddy. Sakramen Politik: Mempertanggungjawabkan Memoria. Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2008.

Mudde,  Cas. “Populism: an ideational approach”, in The Oxford Handbook of Populism. https://www.oxfordhandbooks.com/view/10.1093/oxfordhb/9780198803560.001.0001/oxfordhb-9780198803560-e-1.

Noah, Yuval Harari. Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia. Penerj. Yanto Musthofa. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2018.

Van,  C.A. Peursen. Susunan Ilmu Pengetahuan. Penerj. J. Drost. Jakarta: Gramedia, 1980.

Yuana, Kumara. 100 Tokoh Filsuf Barat Abad 6 SM - Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2010.



[1]Machiavellianisme adalah pemahaman politik dengan prinsip tujuan (politik) menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan tersebut. Istilah Machiavellianisme berasal dari nama Niccolo Machiavelli sebagai pencetus prinsip politik ini. Bdk Kumara A. Yuana, 100 Tokoh Filsuf Barat Abad 6 SM - Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2010), hlm. 113.

Post a Comment for "Peluang Pendekatan Politik Cas Mudde Di Era Dataisme (Bagian 2/habis)"