CERPEN: TOPENG DAN PATUNG DI KAMPUNG KAMI
“Jangan
pakai topeng atau bangun patung! Memakai topeng berarti menyembunyikan jati
diri dan membangun patung berarti membutuhkan banyak uang, baik untuk membeli
semen dan pasir maupun membayar om tukang”. Kata guruku yang sudah pensiun.
“Lalu bagaimana dengan patung-patung di bukit pak guru?”
***
Aku
dilahirkan di kampung dan tinggal di sebuah dusun kecil. Cita-citaku menjadi
guru yang sederhana dan bijaksana. Jiwaku dibentuk dari tanah perbukitan dan
batu karang pantai selatan. Setiap hari aku selalu berkenalan dengan banyak
orang baru yang datang dari kota.
Mereka
tertarik dengan keindahan kampungku sebab di setiap dusun ada mata air
berlimpah ruah dan banyak jeruk manis yang tumbuh di bukit-bukit. Ada juga
pasir putih yang masih asli dengan gulungan ombak yang cocok bagi para turis
dari luar negri maupun dari dalam negri untuk bermain selancar.
Mereka
datang bersama istri dan anak kandung maupun anak angkat. Aku sendiri pernah
ditawarkan untuk menjadi seorang anak angkat
tetapi ibuku menolak sebab aku tidak mengenal nama lengkap mereka. Selain
itu, ibuku marah karena sudah dengan susah payah melahirkan dan membesarkanku
sejak awal mula. Sebagai anak kampung yang masih berpegang pada kode etik yang
diwariskan Leluhur, akupun menerima mereka sebagai sahabat seperjuangan bahkan
ingin menetap serumah dengan mereka.
Namun,
mereka ingin tinggal sendiri di rumah kontrakan yang sudah mereka tawarkan pada
beberapa warga kampung. Mereka membawa banyak hal asing dari kota untuk diterapkan
di kampung kami yang masih kaya dengan hasil alam, bahkan seorang dari mereka
yang bernama samaran Ridwan pernah mengajakku untuk belajar memakai topeng.
Selain
topeng, ia pun ingin mendirikan banyak patung untuk mempercantik wajah kampung
kami. Ya, kampung kami memang sudah indah tetapi akan lebih indah jika
didirikan banyak patung sesuai selera orang-orang dari kota. Aku sendiri merasa
heran, mengapa patung-patung tidak dibangun saja di kota mereka. Namun mereka
memberi argumen bahwa, di kota sudah ada banyak patung pahlawan dan bunglon.
Jika di kampung ini didirikan banyak patung, kampung kami akan menjadi kota
seribu lebih patung. Wah...
***
Untuk
menghindarkan perdebatan tentang patung-patung yang sudah direncanakan untuk
dibangun, segenap warga kampung bersama orang-orang baru dari kota mengadakan
perundingan pada malam hari tanpa cahaya listrik. Kami membahas tentang tujuan
membangun patung. Perundingan secara kekeluargaan ini, dilaksanakan di rumah
milik kepala kampung. Semua warga kampung mendukung tanpa banyak protes tentang
maksud dari pembangunanan seribu lebih patung.
Maksud
yang ditawarkan adalah untuk memperindah kampung dan menarik lebih banyak lagi
orang kota untuk berkunjung ke kampung dan meramaikan situasi di sini. Namun,
kendala yang ditemukan ialah kekurangan uang. Ridwan mengangkat tangan dan
berbicara,
“soal
uang urusan gampang, intinya warga kampung harus merelakan tanah baik di
halaman rumah, kebun, pinggir pantai ataupun puncak bukit sebagai lahan untuk
mendirikan beraneka patung”.
Semua
warga kampung tertunduk diam menandakan setuju. Namun warga kampung ini banyak
yang tidak berijazah SMA hanya segelintir saja yang pergi bersekolah di tanah
jawa dan malas pulang kampung. Apakah ini hanyalah perundingan main gila atau
benar-benar direstui oleh leluhur dan kampung Halaman?
Menurut
Ridwan, uang untuk membangun patung bisa diambil dari hasil arisan bulanan
warga kampung yang belum terpakai untuk membayar uang listrik. Lagi-lagi, semua
warga kampung setuju tanpa kata. Perundingan ini diakhiri dengan pesta bersama
hingga timbul percekcokan antara orangtua dan anak muda kampung karena mabuk
tuak kelapa yang sudah disediakan.
Sedangkan
orang-orang kota lari bersembunyi di rumah kontrakan mereka masing-masing dan
mulai tidur sambil bermimpi hingga matahari terbit. Mereka menyembunyikan wajah
mereka dengan memakai topeng yang terbuat dari sutra.
***
Patung-patungpun
dibangun di berbagai sudut kampung ini. Jumlahnya melebihi angka seribu
sehingga disebut patung seribu lebih. Banyak orang berdatangan dari berbagai
daerah untuk menyaksikan secara langsung dengan mata maupun kaca mata tentang
patung-patung di kampung kami. Kampung ini menjadi ramai oleh banyak
pengunjung.
Ada
yang datang untuk berfoto-foto tetapi ada yang mencibir sebab patung yang
dibangun tidak sesuai selera. Banyak pengunjung datang dan pulang tanpa
menghiraukan kami yang telah menerima mereka. Uang arisan yang dikumpulkan
untuk membangun seribu lebih patung dibuang begitu saja tanpa ganti rugi.
Ah...semua
warga kampung marah karena dipermainkan dengan kehadiran patung yang menelan
biaya besar itu. “Lebih baik dihancurkan saja patung-patung ini.” Kata kepala
kampung yang berdiri bertelanjang dada. Amarah meluap-luap dari segenap warga
kampung. Dan kami pun merobohkan semua patung yang dibangun untuk sekedar
menghias dan meramaikan kampung. Di puncak bukit yang dulu hijau, sekarang
gersang karena pepohonan diganti dengan patung-patung. Ternyata di puncak bukit
tersebut telah dibangun patung nenek moyang kami yang telah melahirkan segenap
warga kampung.
Namun
apa boleh buat, patung sudah dihancurkan. “Yang terpenting, bukan patung moyang
kita, tetapi kesediaan kita untuk merawat kampung warisan moyang”, kata kepala
kampung. Selanjutnya, kami beranjak ke rumah kontrakan untuk menuntut ganti
rugi pada orang-orang kota, namun yang kami jumpai adalah patung-patung membisu
di pintu gerbang rumah mereka.
Tidak
ada seorang pun di dalam rumah itu. semuanya kabur hanya patung yang menyambut
kami. Di atas sebuah meja terdapat tumpukan buku-buku dan pada tembok-tembok
rumah tergantung banyak topeng.
“Kurang
ajar, ternyata orang-orang kota yang pernah tinggal di kampung ini memakai
topeng untuk mengelabui mata kita”, teriak seorang muda dari dalam rumah. Semua
warga kampung sudah melupakan wajah asli dari para penipu yang telah pergi melewati
jalan simpang lima.
***
“Ah..sudahlah, mari kita bangun kampung ini sesuai cita-cita
kita, tidak perlu lagi membangun patung sebab di kota sudah ada banyak patung.
jika ingin melihat patung pergi saja ke kota, di sana ada banyak patung dan
topeng. Kampung kita tidak butuh patung untuk perhiasan palsu dan topeng untuk
menyembunyikan kepalsuan,” tutur mantan pak guruku dengan penuh penyesalan atas
semua pengalamannya di masa kecil dulu.
Aku
sebagai anak muda kampung ini menolak segala jenis patung dan topeng yang ada
dalam tubuh manusia maupun di bukit-bukit, khususnya di kampung ini.
RIAN ODEL, TINGGAL
DI UNIT LEDALERO.