Ritus Helas Keta Sebagai Upaya Rekonsiliasi Dalam Tradisi Masyarakat Dawan, Timor
Ritus Helas keta¹ merupakan salah satu ritus dalam budaya Dawan, Nusa Tenggara Timur yang pertama-tama dipakai dalam upacara persiapan pernikahan. Di masa lalu, di daerah Dawan, selalu ada peperangan antarsuku untuk memperebutkan tanah dan takhta. Peperangan-peperangan yang terjadi seringkali berakhir dengan permusuhan yang diwariskan juga kepada keturunan dari suku-suku yang berperang tersebut.
Permusuhan
ini diperkuat dengan sumpah untuk tidak menikahkan anak cucu mereka dengan
keturunan dari suku yang menjadi musuh dalam perang. Sumpah ini tidak boleh
dilanggar dan harus tetap dijaga oleh keturunan masing-masing suku. Meskipun demikian, masyarakat Dawan sadar
bahwa peluang terjadinya pernikahan antar suku yang bermusuhan akan selalu
ada.²
Dalam hal perkawinan antarsuku, teridentifikasi pula identitas suku Atoni sebagai masyarakat yang menyadari bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang sakral/suci, sehingga mereka akan mengupayakan suatu rekonsiliasi atas kesalahan masa lalu. Mereka sadar akan pesan nenek moyang mereka yang melarang adanya pernikahan dengan suku musuh.
Namun, satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa di masa sekarang, anggota masyarakat dari suku-suku yang bermusuhan mulai hidup berbaur dalam suatu komunitas masyarakat, bahkan mendapatkan jodohnya dari suku musuh. Hal ini menyadarkan Atoni akan pentingnya suatu upaya rekonsiliasi yang dapat memungkinkan perkawinan antar suku yang bermusuhan dapat terlaksana. Upaya rekonsiliasi ini terpenuhi dalam ritus adat yang mereka sebut sebagai helas keta.
Secara harafiah, helas keta berarti “menarik lidi”. Ritus helas keta ditandai dengan ritual simbolis pencabutan lidi dari buah pisang oleh keluarga pengantin pria dan wanita. Pencabutan lidi ini menandakan bahwa sumpah permusuhan di masa lalu dan juga segala luka di masa lalu telah dicabut dan digantikan dengan sebuah hubungan kekeluargaan baru, suatu hidup baru yang penuh damai.³ Di sini, fungsi "helas keta" sebagai upaya rekonsiliasi dalam budaya Dawan menjadi jelas.
Ritus helas keta dilangsungkan di sebuah kali atau sungai terdekat. Masing-masing mempelai dengan keluarganya berdiri berhadap-hadapan di setiap tepi sungai. Di sini, penutur adat akan menuturkan “Na li feto ma li moné natalbok ma nabiabokan” (mempelai laki-laki dan perempuan kini sudah hidup berpasangan), yang menunjuk adanya fakta bahwa kedua mempelai telah mengambil keputusan yang pasti untuk menjalani hubungan rumah tangga.
Upacara rekonsiliasi yang berlangsung di kali/sungai ini seturut dengan yang dituturkan tetua adat, “Es ta’euk ma tatéf tbi a’saifin ma a’hoéf” (karena itulah kita berjumpa di sungai ini). Dalam kenyataannya, kali atau sungai merupakan tempat air mengalir dari hulu ke hilir. Fakta ini sesuai dengan pola pikir sederhana Atoni yang menyebut “air dari dari hulu mustahil untuk kembali ke hulu”.
Pola pikir ini membawa masyarakat Dawan pada tindakan mereka dalam melaksanakan upaya rekonsiliasi, bahwa semua kejadian masa silam (permusuhan, peperangan) hendaknya dibiarkan mengalir bersama air sungai ke hilir (mustahillah air itu kembali ke hulu). Hal ini mengandung arti bahwa masa silam hendaknya dibiarkan berlalu. Di masa kini, orang harus saling menerima kembali sebagai satu keluarga, membangun dunia baru yang penuh damai.
Ritus
ini dilengkapi dengan tutur adat berikut:⁴
"Neu
mautut noka/ nbi néno ahunut/na’ko sin to’sa/ ma sin nasnaskin".
(Biarlah
masa lalu/ pada hari dahulu/ dari segala amarah mereka/ dan napas mereka).
"Noka
pahe kafé an mainua/ és-ésat nekeha in auni sin kenat/ ma in suni/ ma sin
aklaot".
(Saat
itu bumi masih belum luas/ setiap orang hanya membawa senapan/ dan pedang/
dan
busur panah mereka).
"Neu
mautut muni’i/ pahé an mainuabén / on at sifin talaljok/ ma astélon
taljok".
(Namun,
pada masa kini/ bumi telah menjadi luas/ kita sudah berkelana/ dan berbaur).
"Na
li’ féto ma li’moné/ on an malomen/ ma an masinmaknin".
(Sehingga
anak perempuan dan laki-laki/ saling menyukai/ dan saling mencintai).
“Ta’euk
ma tatéf tbi a’saifin ma a’hoéf”
(kita
berjumpa di sungai ini).
"On
hom haék és a’hoéfé panin naé / au haék és a’hoéfé panin’i / on nuakit
atsium
féfa / ma sium hanaf".
(Engkau
berdiri di sebelah sang got/ saya berdiri di sebelah sini got/ berdua
Dari
seberang sungai kita saling menerima mulut/suara).
"Hét
polen ha maputu / ma malala"
(Segera (kita) ‘buang panas’ / dan penyakit).
Sebagaimana terlihat,
pada tutur adat
itu terdapat dua unsur
paralel, yakni (1) ‘sebelah
sana got dan
sebelah sini got’ dan
(2)‘menerima mulut dan menerima
suara’. Unsur-unsur paralel itu
sesungguhnya merupakan pasangan
deiksis tempat yang merujuk pada
lokasi got, demikian
pula deiksis penunjuk jauh
dan dekat yang dieksplisitkan melalui
penggunaan kata sana dan
sini.
Deskripsi di atas memiliki dampak bahwa masyarakat Dawan hidup di dalam kelompok-kelompok eksklusif dengan latar belakang penghayatan sosial budaya dan ideologi yang mengikat setiap kelompok secara utuh, juga dapat membawa konsekuensi ketika heterogenitas menimbulkan konflik kepentingan antarkelompok. Terkait dengan hal itu, fakta sejarah membuktikan bahwa pada masa lalu masyarakat Dawan selalu diwarnai aneka permusuhan, bahkan perang antarsuku. Untuk melakukan ritus rekonsiliasi atas kejadian masa lalu, entitas masyarakat Dawan selalu menyepakati bahwa “got” (kali atau sungai) merupakan tempat perjumpaan yang cocok untuk berjumpa dalam rangka melaksanakan ritus tersebut.
Sebagai
suatu upaya rekonsiliasi, ritus helas keta tidak hanya memiliki
unsur-unsur yang mendukung rekonsiliasi itu tercapai, tetapi juga memungkinkan
pihak-pihak yang terlibat untuk menyadari kembali persaudaraan mereka dan
kemudian membangun dunia baru yang penuh damai.
Meskipun demikian, penulis menemukan bahwa tidak seluruh masyarakat
Dawan memanfaatkan ritus helas keta ini dalam menyelesaikan berbagai
konflik dan kejahatan masa lalu yang terjadi di dalam masyarakat Dawan itu
sendiri.
PENUTUP
Manusia
pada hakikatnya merupakan makhluk sosial (homo social). Keberadaannya yang
berada di antara manusia yang lain menjadikan manusia berdiri dengan fondasi
yang terbentuk dari kebudayaan yang berada di sekitarnya.
ENDNOTE
¹Kata
benda untuk ritus ini mengikuti penamaan dalam disertasi Antonius Nesi,
‘‘Tradisi Lisan Takanab Sebagai Wujud Identitas Masyarakat Dawan; Kajian
Ekolinguistik Metaforis” (Disertasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,
Yogyakarta, 2018). Perlu diketahui bahwa karena perbedaan dialek, ritus ini
lebih sering disebut hel keta di wilayah lain di TTU.
²Hasil
wawancara via telepon dengan bapak Vinsensius Fina, guru dan tokoh adat di
Tunbaba, Kefamenanu, pada 7 November 2020.
³Hasil
wawancara dengan P. Kasianus Nana, SDV, pastor Vocasionist Wairpelit, pada 6
November 2020 di Wairpelit.
⁴Op.
Cit. Antonius Nesi, “Tradisi Lisan Takanab...”, hlm. 136.
⁵“Makna
Budaya pada Unsur-unsur Paralel dalam Tutur Adat Takanab”, https://www.researchgate.net/publication/340848416_Makna_Budaya_pada_Unsur-unsur_Paralel_dalam_Tutur_Adat_Takanab,
diakses pada 6 November 2020.
⁶Ibid.