Literasi di Lembata dan Keteladan Guru
RakatNtt - Sejak Najwa Sihab datang ke Lembata beberapa tahun silam, Kabupaten satu pulau ini kemudian diberi nama baru sebagai Kabupaten Literasi. Nama baru ini mungkin membuat orang Flores Timur atau Alor akan berpikir bahwa roh literasi di Lembata sungguh sangat hidup. Benarkah demikian?
Kehadiran Najwa Sihab menjadi sebuah energi positif yang mendorong Masyarakat Lembata untuk menyepakati bahwa literasi amat penting. Sebenarnya, sebelum Najwa Sihab, Lembata juga telah melahirkan banyak penulis hebat, salah satunya adalah Gorys Keraf seorang ahli Bahasa Indonesia yang karya-karyanya masih dipakai hingga saat ini.
Bukan hanya Gorys Keraf, Lembata juga telah melahirkan banyak orang lainnya yang hidup mereka sangat melekat dengan literasi. Artinya, banyak orang Lembata sudah membuka jalan literasi di Lembata.
Lalu apakah saat ini literasi di Lembata semakin redup atau terang? Mengapa kita tidak belajar pada anak-anak Lembata yang hidup mereka bersentuhan dengan literasi?
Mengapa kita terus-terus saja melakukan Bimtek, festival dengan anggaran fantastis, lomba-lomba, yang terbaru lomba Perpustakaan Desa?
Semua yang dilakukan oleh Pemerintah ini layak diapresiasi. Pemerintah telah menghadirkan gedung Perpustakaan Daerah yang megah dan diisi ribuan buku bacaan. Namun, berapa banyak orang-orang di Kota Lewoleba yang menyempatkan diri untuk berkunjung?
Selain memberikan apresiasi, kita juga mesti mengoreksi cara kerja yang barangkali tidak menyentuh substansi. Apa substansinya? Kesadaran berliterasi!
Literasi: Dorongan dan Teladan
Beberapa minggu terakhir ini, ada dua informasi penting datang dari Dinas Perpustakaan Lembata yakni lomba Perpustakaan Desa dan Bimtek Membaca Nyaring bagi guru dan orangtua.
Bupati Lembata, Kanis Tuaq pun hadir memberi dukungan atas kegiatan ini. Menurutnya semangat membaca di Lembata masih rendah. Pernyataan ini menegaskan bahwa Bupati Lembata sangat prihatin terhadap literasi di Lembata. Ia sekaligus mendorong agar literasi dihidupkan karena Tingkat Kegemaran Membaca (TKM) masih sangat rendah yakni pada angka 56,66.
Dorongan-dorongan seperti ini sudah banyak sekali dinarasikan: harus baca, membaca itu jendela dunia dan ungkapan-ungkapan lain yang menegaskan bahwa literasi penting. Namun, apa gunanya dorongan jika tak ada kesadaran yang tumbuh? Untuk mewujudkan kesadaran berliterasi, menurut saya ada dua hal yang mesti dipertimbangkan.
Pertama, fokus di sekolah. Kesadaran literasi di Lembata mesti dipetakan; dimana tempat yang menjadi fokus menumbuhkan literasi? Apakah di sekolah atau di Desa? Kita akan mendapat kesulitan jika tak ada fokus pada lokus tertentu. Dengan fokus pada tempat-tempat khusus maka kita bisa mengukur perkembangan literasi kita dari tahun ke tahun.
Satu hal yang menjadi mutlak adalah sekolah harus menjadi tempat untuk menghidupkan literasi, terlepas dari komunitas-komunitas kreatif lain di Desa yang juga tetap menjadi prioritas dan mendapat dukungan Pemerintah.
Sejauh ini, Dinas Perpustakaan Lembata sudah melakukan berbagai terobosan, salah satunya misalnya program Perpustakaan Masuk Sekolah: Dinas menyumbang buku bacaan ke Perpustakaan Sekolah dalam rentang waktu tertentu kemudian dikembalikan dan diganti lagi dengan buku-buku yang lain.
Gebrakan seperti ini patut didukung karena seringkali siswa menjadi tidak semangat masuk Perpustakaan Sekolah yang miskin buku-buku bacaan, koran, majalah dan lain-lain.
Atau barangkali masalah lainnya adalah Perpustakaan yang seharusnya menjadi ruang yang tenang untuk membaca justru disulap sebagai tempat edit video facebook pro dan bergosip. Akan sangat ironis jika masalah ini dilakukan oleh para guru.
Bahkan orang yang membaca buku justru “dibully” sebagai yang sok pintar, padahal membaca buku menegaskan diri kita sebagai orang yang belum merasa lengkap dengan pengetahuan.
Kualitas fasilitas dan teladan guru menjadi sangat penting. Guru tidak hanya mendorong tetapi memberi teladan.
Jika guru malas membaca buku, maka jangan marah, Pemerintah boleh melakukan Bimtek demi Bimtek dan ditutup dengan foto bersama sambil menunjukan jari berbentuk L tetapi tanpa keteladanan, literasi hanya akan menjadi imajinasi.
Oleh karena itu, literasi di sekolah mesti diawali dengan keteladan guru; mengukur kualitas literasi di sekolah, menjadi penegasan atas keseriusan guru menghidupkan budaya baca. Sudah saatnya kita mengubah cara pandang kelulusan siswa tidak hanya dilihat dari nilai tinggi karena menghafal dan mengisi jawaban dengan memilih a, b, c tetapi juga dari ia tekun membaca buku, menulis di mading sekolah dan mampu berbicara di kelas.
Selain keteladanan guru, sekolah juga berpikir untuk menyiapkan satu mata pelajaran khusus, misalnya tentang literasi atau jurnalistik. Mata pelajaran yang bersentuhan dengan literasi akan mendorong para siswa untuk menyadari bahwa literasi itu penting.
Artinya, jika mau menghidupkan literasi di sekolah maka literasi tidak boleh dijadikan pilihan siswa tetapi menjadi karakter siswa. Karena itu, sekolah juga wajib menyiapkan anggaran untuk membeli buku-buku bacaan.
Kebiasaan-kebiasaan baik yang mesti ditumbuhkan yakni menulis di mading setiap akhir bulan, menukar mading dengan sekolah-sekolah lain atau membiasakan siswa menulis buku harian, kemudian diperiksa oleh guru sebagai bagian dari nilai jurnalistik dan membaca berita setiap pagi sebelum masuk kelas.
Justru hal-hal kecil inilah yang mestinya dipertimbangkan untuk menumbuhkan kesadaran literasi bukan sebaliknya. Namun ada yang ironis, sesuai pengalaman saya, guru malah dicegat atasan sekolah karena guru menyuruh siswa membaca berita tentang politik. Apa yang salah dengan politik? Inilah bukti bahwa seringkali ketidaksadaran literasi justru bertumbuh di dalam sekolah.
Kedua, literasi di rumah. Kegiatan Bimtek Membaca Nyaring bagi guru dan Orangtua yang dilakukan pada 8 Mei 2025 di Perpustakaan Daerah Lembata membuat banyak orang bertanya-tanya; kira-kira apa koridor yang dipakai untuk menghubungkan kesadaran literasi bagi guru dan orangtua melalui Bimtek tersebut?
Mungkin Pemerintah punya jawaban tersendiri. Namun, terlepas dari itu penting atau tidak, kalau kita mendalami budaya lokal kita, sebenarnya benih literasi sudah tumbuh sejak di kampung. Budaya tutu koda, cerita legenda, mitos dan cerita-cerita rakyat adalah bagian dari literasi itu sendiri.
Oleh karena itu, orangtua mestinya dijelaskan bahwa budaya-budaya inilah yang mestinya diwariskan dan dipertahankan di tengah tantangan kecanduan ponsel pintar.
Orangtua bercerita dan anak-anak mencatat. Menurut study dari Johns Hopkinds University, menulis tangan bagi anak-anak dapat mempercepat perkembangan literasi dan numerasi (Kompas.id, 15/5/25).
Manfaat Literasi
Literasi mesti punya dampak untuk pembentukan karakter. Karena itu, literasi kita, misalnya di sekolah, harus sampai pada kebiasaan berpikir kritis.
Dengan berpikir kritis, suasana di sekolah menjadi tempat diskursus kritis antara guru dengan guru juga antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. Maka, kita mesti menekankan lagi bahwa sekolah mesti menyiapkan mata pelajaran literasi atau jurnalistik yang di dalamnya ada kebiasaan berdiskusi kritis.
Dengan demikian, maka kita harus sepakat bahwa sekolah adalah ruang dialektika bukan hegemonik, kapitalistik, dan sejenisnya. Dengan berliterasi, kita, para guru dan siswa didorong untuk mampu melihat kekurangan di sekolah, misalnya data-data siluman, kuitansi fiktif, dan kerja-kerja kotor untuk dibersihkan bukan didiamkan dengan alasan rahasia sekolah.
Lantaran Lembata sudah dinobatkan sebagai Kabupaten Literasi, bahkan istri Bupati Lembata dinobatkan sebagai Bunda Literasi periode 2025-2029 pada 15 Mei 2025 maka setiap kita bertanggungjawab menghidupkan literasi dalam karya-karya kita, baik pelajar, guru, pemerintah, Bupati, ASN, masyarakat, wartawan dan Bunda Literasi Lembata.
Post a Comment for "Literasi di Lembata dan Keteladan Guru"
Komentar