Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Suara dari Bora Blupur, Sikka (Menggugah dan Menggugat)


Anak-Ank Bora Blupur Bermain Klereng


Suara rintik hujan dan gemuruh angin: pertanda bening air mata jatuh pertama

pepohonan tumbang dihempas badai, pada setiap persimpangan jalan

adalah lika-liku pada dada yang sesak ditimbun harapan

jalan sumpek, kali masih menganga dan kami masih berjalan dan terus bernyayi

dan terus menangis, termasuk burung-burung hutan.


Selama kurang-lebih tiga hari, Jumat-Minggu (17-19/3/2019) penulis mendapat jatah untuk berkunjung ke kampung Bora Blupur dalam rangka mengadakan misi ad extra yang dibuat khusus oleh para Frater Unit Yosef Frainademetz Ledalero.


Bersama empat orang teman, kami ditempatkan di kampung yang hampir setiap hari diselimuti kabut dan riuh angin barat yang nakal. Kampung Bora Blupur (kampung tua) terletak di puncak bukit hijau dan dikelilingi berbagai bentuk tebing terjal yang menggigilkan dada.


 Secara administratif, kampung tersebut masuk dalam kawasan Desa Wolon Walu, Dusun Gade, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka. Kira-kira dua jam perjalanan dari kota Maumere ke Stasi Detung dengan menggunakan kendaran beroda empat. Perjalanan yang meletihkan tetapi juga menyenangkan karena ada banyak pengalaman baru yang sangat layak untuk diceritakan kepada publik.


 Dari Stasi Detung, kami melanjutkan perjalan ke Bora Blupur menggunakan tenaga motor supra X karena kendaraan beroda empat dilarang masuk akibat kondisi jalan yang parah. Hari sudah malam, kira-kira pukul 19.00 Wita.


 Selama perjalanan, kami tidak menjumpai seorang manusia pun apalagi perumahan penduduk sebab tempat tujuan kami terletak jauh di tengah hutan tepat pada sebuah bukit. Anehnya, akses jalan ke tempat tersebut masih jauh dari potret kemajuan sebab bukan jalan raya yang kami lewati melainkan jalan setapak yang secara swadaya (tenaga manusia) dibuka oleh penduduk setempat.


 Jalan yang masih basah dan sisa-sisa becekan yang diciptakan hujan mengganggu keasikkan perjalan di malam itu. Berulang-ulang kali kecelakaan berkendaraan hampir terjadi tapi syukurlah! Yang ada dalam kepala kami (khususnya penulis) selalu berkaitan dengan malapetaka karena memang perjalanan tersebut sangat menakutkan.

Kondisi Jalan di Tengah Kampung

Bukan hanya akses jalan yang masih porak-poranda tanpa campur tangan maksimal dari pemerintah melainkan juga pekatnya malam dan dingin angin juga suara beberapa burung hutan (mungkin burung hantu) menambah pusing di kepala.


 Pada sisi kiri-kanan jalan terdapat beraneka pepohonan; ada kelapa, pisang, kemiri dan berbagai jenis belukar tajam dan yang lebih seram adalah jurang. Namun, demi misi utama kami, tempat yang jauh pun serasa dekat seperti Ledalero ke Nita, ah!


 Bora Blupur, Surga Yang Terlupakan


Pada saat memasuki bagian depan kampung, tingkat ketakutan kami mulai berkurang tetapi saya sendiri merasa amat jengkel dengan tampilan beraneka poster para caleg yang tentunya (menurut saya) adalah “calon penjahat dan penipu.”


 Ada poster berukuran kecil dan sedang tapi juga ada yang amat besar dan biasanya dipakai sebagai pengganti tikar lantai oleh beberapa penduduk di sana. Selain itu, terdapat kibaran beraneka bendera partai politik dengan variasi warna dan ukuran yang menurut saya adalah simbol keangkuhan orang-orang "hebat" yang bergerak dalam politik.

Kabut Pagi di Bora

Poster para caleg yang hadir musiman membuat saya melahirkan sebuah refleksi bahwa politik itu lebih banyak tentang kejahatan. Mereka boleh bersenyum ria dengan gaji yang terlampau tinggi padahal hanya datang duduk dan berbicara juga bertengkar tetapi coba bayangkan, masyarakat Bora Blupur masih sangat tertinggal sentuhan kasih dari para elit, baik kabupaten, Provinsi maupun Pusat.


 Entalah, selama ini mereka dimana? Mereka (para politisi) datang pada musim politik, itupun hanya poster yang sampai ke kampung, manusia benaran tidak mau masuk. Ini seturut pengakuan warga di sana.


 Sejauh informasi yang saya terima dari beberapa warga setempat, mereka menikmati lampu Sehen (tenaga matahari) baru enam bulan terakhir. Artinya, bisa disimpulkan bahwa perhatian serius dari Pemerintah masih jauh dari sebuah misi utama negara yaitu mensejahterakan masyarakat.


 Menurut bapak Florianus Baba (34), salah satu alasan pemerintah Kabupaten tidak bergerak cepat membuka jalan raya karena kampung tersebut masuk kawasan hutan lindung. Kalau alasan ini benar adanya, maka bisa dipastikan argumen pemerintah sangat cacat karena jalan raya tidak mungkin merusak hutan lindung. Jalan raya dibuka demi kesejahteraan masyarakat yang setiap tahun membayar pajak kepada Negara demi gaji para elit di kantor-kantor mewah.


 Pekerjaan masyarakat Bora Blupur, semuanya tentu adalah petani. Hasil alam yang sangat dominan menunjang perekonomian yaitu, kemiri, Kelapa, Vanili, kakao, Pisang dan Alvokad. Daerahnya memang sangat subur sehingga mereka tidak ingin berpindah penduduk ke arah lembah yang lebih dekat dengan jalan raya.


 Jika akses jalan memadai, aktivitas perekonomian pasti berjalan lancar. Menurut masyarakat, kekuarangan utama adalah jalan sedangkan listrik dan air bisa diatasi. Pemerintah sudah menjawab tuntutan mereka yaitu membangun bak air hujan untuk kebutuhan setiap hari karena mata air sangat jauh letaknya.


Jalan masuk dari depan kampung baru dirabat oleh pemerintah Kabupaten sepanjang 300 M. Selanjutnya, jalan setapak. Namun, para pengendara motor sangat lincah dan sungguh manjaga keselamatan para penumpang.


 “Sejauh ini, pemerintah yang berani masuk ke kampung tersebut hanya bapak Camat Bola sedangkan pemerintah kabupaten belum pernah masuk kacuali mengutus stafnya saja,” tutur salah satu warga yang tidak mau namanya dicatat.


 Melalui cerita ini, suara orang-orang Bola Blupur ingin mengguggah publik dan menggugat Pemerintah dan DPRD Sikka untuk serius memerhatikan kebutuhan mereka khususnya jalan. 


 Selain cerita menyeramkan di atas, anak-anak Bora sangat sulit menikmati akses pendidikan. Setiap jam 06.00 pagi mereka secara bersama-sama menuruni dua bukit dan melewati lembah menuju Stasi Detung untuk menikmati pendidikan, padahal salah satu cita-cita negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa tapi amat sulit diwujudkan di Bora Blupur.


 Anak-anak itu sangat berpengalaman dan sungguh menikmati perjalanan demi masa depan yang cerah. Mereka mengetuk pintu hati orang-orang hebat di kabupaten untuk mengunjungi mereka dan semoga bisa membangun sesuatu di sana demi menjawab harapan-harapan yang sudah sesak di dada mereka.


 Catatan: tulisan ini saya garap dua tahun lalu tetapi baru kali ini saya sebarkan ke publik setelah memeriksa kembali isi notebook. Barangkali, kini, sudah ada kemajuan infrastruktuf di sana. Namun, yang tercatat adalah pengalaman saya waktu itu.


Oleh Rian Odel

 

 

 

2 comments for "Suara dari Bora Blupur, Sikka (Menggugah dan Menggugat) "

  1. Danke banyak kaks,,, semoga pemerintah bisa membuka mata dan hati mereka untuk melihat kesulitan yang dihadapi masyarakat... Tetap semangat berkarya...Dirimu hebat๐Ÿ™๐Ÿ˜‡

    ReplyDelete