Belajar Toleransi di Kedang, Lembata, Nusa Tenggara Timur
Di Desa Dolulolong, Kedang |
Isu intoleransi yang menghantui kehidupan antarumat beragama di seantero Indonesia menjadi hantu menakutkan yang tak kunjung lenyap. Negara bahkan dinilai lalai dalam menangani kasus-kasus serupa yang terus terjadi saban tahun.
Entah alasan apa yang lebih
rasional untuk melegalisasi intoleransi dimaksud. Namun, yang pasti nalar
kritis masyarakat Indonesia dalam menanggapi isu tersebut masih tetap hidup
sebagai obat penangkal dan penyembuh.
Masih sangat banyak
masyarakat Indonesia yang memahami sungguh hakikat dari Bhineka Tunggal Ika. Buktinya jelas, penghayatan
terhadap konsep tersebut masih dihidupi di berbagai pelosok Indonesia, termasuk
di Nusa Tenggara Timur yang dijuluki sebagai Nusa Tertinggi Toleransi. Julukan ini
bukan sebuah label palsu melainkan terbukti dalam penghayatan riil orang NTT,
khususnya toleransi religius.
Artikel sederhana kali ini, saya coba menceritakan kehidupan toleransi antarumat beragama di Kedang, Kecamatan Omesuri dan Buyasuri, Kabupaten Lembata. Sebagaimana yang sudah dikenal publik bahwa Kedang di ujung timur Lembata memiliki kekhasan budaya yang unik khususnya bahasa daerahnya yang berbeda dengan suku-suku lain di sekitarnya seperti Alor dan Lamaholot.
Orang Kedang menggunakan bahasa Kedang
(Edang) sebagai jembatan komunikasi saban hari. Bahkan jarang terdengar orang
Kedang berbicara bahasa Indonesia di Kedang kecuali dalam kegiatan-kegiatan
formal. Ini membuktikan bahwa orang Kedang sangat mencintai kekhasan budayanya
sendiri.
Terkait dengan artikel ini, saya sebagai generasi milenial kedang ingin berbagi sedikit sesuai dengan pengetahuan saya seputar toleransi antarumat beragama di Kedang. Sebelum orang kedang menghafal kata ‘toleransi’, sesungguhnya nenek moyang mereka sudah menghayatinya dalam relasi sosial tempo dulu. Ini terbukti dari konsep-konsep filosofis yang diwariskan.
Misalnya, witing pulu, loing ude’ (sepuluh ekor
kambing-tapi hanya satu tali pengikat), maten
pulu, wuo’ ude’ (sepuluh jenazah, tapi hanya satu lubang/kubur) dan
sebagainya. Konsep-konsep seperti ini sangat kental nuansa Bhineka Tunggal Ika-nya dan nilai toleransi dalam berbagai bentuk –
namun terkadang dipolitisasi demi kepentingan parsial-politis lima tahunan.
Nah, saya ingin mengatakan bahwa, saya sungguh bangga terlahir sebagai orang Kedang yang dididik dan hidup di tengah budaya kedang yang khas. Juga rasa bangga ketika hidup berdampingan dengan sama saudara, kenalan bahkan keluarga kandung (satu klan/marga) yang berbeda agama; ada yang Islam, juga Kristen.
Nenek kandung saya beragama islam, seorang bibi kandung saya dan anak-anaknya juga beragama islam – ada anak-anaknya juga yang masuk menjadi Kristen Katolik. Sungguh pelangi itu indah.
Terlahir dari latar belakang keluarga yang demikian, membuat saya matang dan bangga dalam mewartakan toleransi kepada pembaca sekalian – ini sekadar pengantar awal tentang latar belakang saya sebagai penulis artikel kecil ini.
Toleransi
sebagai Budaya
Lebih kompleks dari itu, orang Kedang sendiri sebenarnya sangat menjunjung tinggi toleransi antaragama. Toleransi tersebut tetap kokoh karena dipersatukan oleh budaya lokalnya yang sama. Mereka boleh beribadah di gereja dan mesjid yang berbeda tetapi tetap bersatu di ebang (rumah persatuan) yang sama untuk membahas adat-istiadatnya.
Mereka boleh berbeda-beda
agama dan klan/marga tetapi secara genealogis mengakui bahwa Uyolewun adalah moyang
yang melahirkan mereka – agama beda tapi dari satu garis keturunan juga
ajaran-ajaran bernuansa kebersamaan yang khas.
Jika kita jalan-jalan ke kedang, terlihat mesjid dan gereja berjejeran, bahkan berdiri berdampingan seperti dua saudara kembar yang tolak pisah jarak jauh. Lonceng gereja berbunyi nyaring memanggil orang-orang kristen untuk berdoa juga bunyi azan berkumandang tanpa ada masalah apalagi yang dibuat-buat.
Ketika ada pesta bersama misalnya,
mereka tetap duduk berdampingan dengan busana adatnya yang cantik. Wela garuda (sarung bermotif garuda yang
dipakai oleh perempuan kedang) terlihat nyaman dikenakan oleh ino-ino kedang.
Ini mesti menjadi
kebanggaan kita! Waktu makan bersama tiba, mereka dipisahkan sejenak saja. Yang
beragama islam diarahkan untuk ke tempat Lei
La’i (kaki panjang/kambing), selain dari itu, diarahkan ke lei wehe’ (kaki pendek/babi). Ini satu
contoh luar biasa, saling menghormati sampai di meja makan. Luar biasa bukan?
Di setiap Kampung atau
Desa, para penduduknya hidup berbaur, menyatu bagaikan pelangi dan indah
seperti warna-warni bunga di taman. Ada yang islam juga Kristen-Katolik. Mereka
hidup berdampingan bahkan ada yang berbeda agama tetapi tinggal satu rumah. Berbeda
agama tapi satu marga/klan, berbeda agama tapi bersaudara kandung.
Oleh karena itu, toleransi religius di Kedang sulit untuk diruntuhkan oleh konsep intoleransi apalagi yang diadopsi dari luar Kedang. Mereka sangat toleran, penghayatan sosialnya tanpa memandang sekat.
Generasi
Milenial Wartakan Toleransi
Kalau kita menonton berita-berita viral di televisi atau yotube, seringkali kepala kita pening, emosi kita menjadi negatif tatkala menyaksikan praktik intoleransi, saling olok-mengolok hanya karena berbeda iman bertumbuh subur di beberapa daerah tertentu di luar Kedang.
Bagaimana generasi milenial
Kedang menanggapinya? Apakah kita terlena dengan situasi seperti itu? Apakah
kita menikmati praktik-praktik tak humanis seperti itu? Atau kita memberikan
edukasi berbasis budaya lokal kita sebagai cerminan untuk hidup berdampingan
sebagai saudara berbeda iman?
Ada bebera pokok
pikiran saya untuk kita renungkan bersama. Yang pasti bahwa generasi milenial
adalah kelompok masyarakat yang melekat dengan media teknologi-digital. Sangat sedikit
generasi milenial kedang yang tak punya akun facebook, Whatsapp –
mungkin tidak ada; semua “pasti” sudah memilikinya. Kelekatan kita dengan media
sosial tentu punya banyak manfaat positif-kompleks. Namun, perlu diingat,
seringkali kita salah memanfaatkannya.
Barangkali kita mengunggah status facebook yang menyinggung atau mengiris perasaan sama saudara kita yang berbeda iman? Barangkali kita mengolok-olok ajaran iman sama saudara kita yang berbeda agama tanpa berpikir dampak negatifnya yang terjadi di kemudian hari?
Atau juga barangkali
ada kata-kata bernuansa kontra toleransi yang sering atau pernah kita lontarkan
kepada sama saudara kita? Jika pernah, kita mesti secepatnya mengubahnya. Sebab,
kita terlahir sebagai orang Kedang yang memiliki konsep toleransi kokoh sejak
nenek moyang.
Di Desa Mahal 1 |
Jika kita pergi mencari
ilmu di tempat lain, pulanglah dan memperkuat nilai toleransi itu. Jangan
sampai kita membawa racun untuk kehidupan kita. Tentu beberapa pertanyaan
seperti di atas hanya sebagai bahan refleksi agar kita bijak dalam memanfaatkan
media sosial.
Kita mesti mewartakan nilai toleransi itu kepada banyak orang
lain agar ada manfaat juga untuk mereka. Bisa lewat cara pergaulan kita atau
juga dengan mewartakannya melalui media sosial dan metode kreatif a la milenial lainnya.
Oleh Rian Odel
Post a Comment for "Belajar Toleransi di Kedang, Lembata, Nusa Tenggara Timur"
Komentar