Generasi Milenial Kedang Antusias Bicara Perempuan dan Budaya Lokal
Organisasi Mahasiswa
Galeka Uyelewun Kupang terus memberi edukasi tentang budaya lokal orang Kedang.
Hari ini, Minggu (31/01/2020) mereka menginisiasi diskusi daring dengan tema
Perempuan dan Budaya Kedang. Hadir dalam diskusi tersebut yakni pembicara,
Nurhayati Kasman, Ketua Galeka Kupang, Mathias Mole Hobamatan, para anggota Galeka
dan juga para partisipan generasi milenial Kedang lainnya. Mereka tampak
antusias mengikuti diskusi tersebut.
Diskusi yang berlangsung dari pukul 19.00-22.30 Wita ini dinahkodai oleh Maria fransiska Dae sebagai moderator. Ia membuka kegiatan dengan menjelaskan tentang alasan-alasan terselenggaranya diskusi tersebut juga memberi waktu bagi kurang lebih empat puluh (40) partisipan untuk memperkenalkan identitas diri secara singkat.
Dalam introduksinya, Nurhayati Kasman menjelaskan bahwa ia sebenarnya belum terlalu valid mendalami perempuan dalam perspektif budaya Kedang. Oleh karena itu, sebagai seorang aktivis perempuan, ia mengharapkan agar semua partisipan bisa terlibat sebagai pembicara yang aktif. Ia juga menceritakan beberapa contoh kasus kekerasan yang mengorbankan perempuan di Kedang.
Saat ini, ia tengah mengadvokasi kasus-kasus
tersebut. Ia mengharapkan agar diskusi tersebut bisa membuka
cakrawala baru bagi generasi milenial untuk terus mengedukasi dan terlibat
dengan berbagaimacam jalur demi menemukan solusi atas kasus-kasus serupa.
Selanjutnya, diskusi
pun mulai mengalir dengan pertanyaan pertama yang datang dari Gilo Orolaleng. Ia
menyinggung soal kebiasaan budaya Kedang yang memberi tempat kedua bagi
perempuan. Misalnya, saat makan di tempat pesta. Biasanya laki-laki diberi
waktu pertama untuk menikmati makanan pesta. Apakah budaya tersebut menegaskan
diskminasi terhadap perempuan?
Nurhayati Kasman
menanggapinya secara garis besar bahwa contoh tersebut sesungguhnya sudah
diatur dalam konsep budaya lokal Kedang. Budaya telah memberi batasan-batasan
tertentu bagi laki-laki dan perempuan saat mengikuti sebuah acara bersama
berbasis budaya Kedang. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa bentuk budaya
tersebut bukan bagian dari diskrminasi terhadap perempuan melainkan mesti
digali nilai terdalamnya.
“Budaya Kedang itu luar
biasa karena sudah mengatur relasi antara perempuan dan laki-laki sesuai dengan
tugas-tugasnya,” ungkap pemilik akun facebook
Cahaya Dari Timur tersebut.
Tanggapan tambahan
datang dari Rian Odel yang menilai bahwa dalam konteks tersebut perempuan
Kedang adalah contoh subjek pelayan yang otentik. Mereka melayani laki-laki
bukan berarti mereka dinomorduakan. “Jadi kita mesti melihat bentuk pelayanan
total perempuan pada momen makan bersama. Mereka melayani dengan tulus dan
sepenuh hati, maka laki-laki mesti juga memberi hormat pada mereka,” ungkapnya.
Ia juga mengajak
partisipan untuk kembali menggali kearifan-kearifan lokal yang berkaitan dengan
perempuan Kedang. Salah satunya, bisa ditelusuri dalam mitos Peni Muko Lolon
yang sangat menjunjung tinggi perempuan. “Perempuan itu turun dari langit. Artinya,
sejak dulu, perempuan itu punya peran yang sangat besar. Perempuan adalah
pemberian sempurna dari Tuhan sendiri,” sambungnya.
Selain itu, Ike Orolaleng mempersoalkan kebiasaan budaya kedang dalam kaitan dengan pembahasan soal belis terhadap perempuan. Ia menilai bahwa dalam konteks tersebut, laki-laki cenderung menomorduakan perempuan. “Saat bicara belis atau nobol te’a, mengapa perempuan tidak dilibatkan padahal kita sedanng berbicara tentang perempuan?,” tanya Ike Orolaleng.
Ia menegaskan bahwa perempuan mestinya
dilibatkan pada momen ini. Laki-laki mesti juga mendengarkan suara perempuan. “Mesti
buka ruang untuk perempuan,” sambungnya.
Nurhayati Kasman
kemudian menjawab bahwa persoalan yang diangkat oleh Ike Orolaleng masih sangat
sulit diubah karena budaya patriarkat Kedang masih sangat kental. Namun, ia
tidak menolak bahwa masukan dari Ike Orolaleng bisa dilihat sebagai sebuah
catatan kritis terhadap perempuan dan budaya Kedang.
Perempuan
Kedang Luar Biasa
Damasus Lodolaleng,
Mantan Ketua Permata Kupang mengapresiasi kegiatan diskusi dengan tema yang
sangat aktual tersebut. Ia juga mengungkapkan rasa bahagianya ketika berbicara
tentang perempuan. “Perempuan kedang itu luar biasa. Oleh karena itu, perempuan
kedang mesti memiliki komitmen dan kesadaran mulai dari dalam diri tentang
eksistensi mereka di hadapan laki-laki,” puji Damas Lodolaleng.
Ia juga mempersoalkan
pergeseran nilai belis di Kedang yang tidak lagi berpatokan pada seminar di
Meluwiting. Menurutnya, zaman sekarang, belis bagi perempuan Kedang ditentukan
tidak sesuai aturan budaya kedang sebagaimana konsensus di Meluwiting. Oleh karena
itu, ia mengharapkan agar generasi milenial kedang perlu mendalami lagi tentang
belis di Kedang agar memiliki dasar aturan yang jelas.
Diskusi tersebut
berjalan sangat lancar. Muncul beranekamacam pikiran-pikiran kritis dari para
partipan lainnya yang turut memberi energi dalam momen diskusi tersebut. Singkatnya,
mereka menginginkan agar perempuan kedang mesti menjadi diri sendiri. Dalam kaitan
dengan relasi dengan perempuan, pihak laki-laki mestinya melihat perempuan
sebagai teman yang sederajat dan sama-sama berjuang untuk membangun Kedang
menjadi lebih baik.
Selanjutnya, Ketua Galeka Uyelewun Kupang, Mathias M. Hobamatan mengungkapkaan rasa terimakasihnya atas partisipasi aktif semua partisipan. Ia mengharapkan agar generasi milenial menjadi ujung tombak perubahan. Ia juga mengharapkan agar di zaman yang serba canggih ini, generasi milenial Kedang tidak melupakan warisan budaya lokal dan segala macam ajarannya demi kepentingan orang Kedang seluruhnya. "Juga terus memberi edukasi tentang perempuan dan budaya lokal. Itu tugas Kita," paparnya.
Admin
Post a Comment for "Generasi Milenial Kedang Antusias Bicara Perempuan dan Budaya Lokal"
Komentar