Konsep Ketuhanan dalam Budaya Lamaholot
Konsep Ketuhanan dalam Budaya Lamaholot, Oleh Eman Lengary, Tino Herin dkk
1. Pengantar
menyebut kebudayaan sebagai “bahasa” yang disukai dan dimengerti oleh Tuhan dan
manusia. Sebab kasih Tuhan dan cinta manusia terhadap sesama tidak pernah akan
diungkapkan secara tepat, kecuali lewat ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol
kebenaran dalam bahasa masyarakatnya, secara verbal ataupun non-verbal.[1]
Luzbetak melalui ungkapan ini hendak menegaskan bahwa kebudayaan adalah sesuatu
yang universal.
Setiap
etnis, kelompok, suku, dan bangsa mempunya kebudayaannya masing-masing yang
berbeda satu dengan yang lain. Dalam peradaban kuno sebelum agama memperjelas
eksistensi Tuhan lewat ajaran Gereja dan dogmanya, masyarakat peradaban kuno
telah meyakini akan suatu wujud tertinggi yang menjadi sumber dan arah hidup
mereka. Hal ini masih tetap hidup hingga saat ini dan kita kenal dengan agama
tradisional.
Etnis Lamaholot atau yang lazim dikenal dengan Ata Lama Holot, dari awal keberadaannya sampai dengan saat ini, menyimpan kekayaan religius dalam setiap kebudayaan yang dimiliki. Ata Lama Holot mempunyai suatu keyakinan yang kuat dan mendasar akan adanya suatu wujud tertinggi yang telah diwariskan para leluhur dalam rupa simbol-simbol. Keyakinan akan adanya wujud tertinggi itu diungkapkan dengan Rerawulan Tanaekan yang dalam bahasa agama modern disebut dengan Tuhan. Dalam tulisan ini kami akan menguraikan dengan jelas konsep ketuhanan dalam budaya Ata Lama Holot.
2.
Tuhan dalam budaya Lamaholot
2.1 Simbol
Religius dalam Budaya Lamaholot
2.1.1 Matahari-Bulan
atau “Rera-Wulan”
Konsep purba Rerawulan Tana ekan ini muncul dari
perspektif Ata Lama Holot yang tidak
akan terlepas atau tak terpisahkan dari pengalaman berinteraksi dengan alam
semesta dalam kehidupan setiap hari. Peristiwa-peristiwa alam sering dipandang
sebagai kehadiran Tuhan dalam cara yang unik. Simbol Rerawulan ini merupakan simbol yang ditautkan terhadap suatu wujud
yang dianggap mereka yang paling tinggi dan menjadi sumber dan arah atau tujuan
kehidupan mereka. Konsep purba yang pertama kali ditautkan pada Tuhan adalah Rerawulan yang dalam bahasa Ata Lama
holot dibagi menjagi dua kata yang pertama “Rera” itu sendiri dalam bahasa
Indonesia adalah matahari sedangkan “Wulan” itu sendiri berarti Bulan.[2]
Bisa dipahami bahwa Matahari dan
Bulan adalah dua benda angkasa yang mempunyai peran yang sangat besar bagi
kehidupan di planet Bumi ini. Matahari menjadi penerang yang menerangi siang
sedangkan bulan menerangi malam yang gelap. Tuhan disimbolkan dengan Matahari dan
Bulan karena keyakina dasar bahwa wujud yang tertinggi itu memberikan segala
kebaikan seperti cahaya Matahari dan Bulan yang memberikan terang dan kehidupan
kepada mereka.
2.1.2 Bumi
atau Tanaekan
Pada mulanya konsep Tuhan dalam
budaya Ata Lama Holot hanyalah
sebatas pada ungkapan Rerawulan. Namun
bukan hanya berpusat pada Rerawulan,
dalam perkembangan selanjutnya melalui refleksi maka ditambahkan juga dengan
aspek yang di bawah yakni bumi yang disebut dalam bahasa Lamaholot dengan Tanaekan. Hal ini timbul dari pandangan
kelompok Tani, bahwa dari Rahim bumilah lahir tanaman-tanaman baru yang
memberikan hidup kepada segenap makhluk hidup, dan kepadanyalah kembali segala
sesuatu termasuk manusia sendiri, ketika mati dan menjelma ke dalam abu tanah.[3]
2.1.3 Perkawinan
Konsep
ketuhanan dalam budaya Ata Lama Holot harus
dipahami dalam konsep perkawinan yang dikenal dengan perkawinan mistik. Padre
Yosep Muda dalam bukunya yang berjudul Ata
Lama Holot menegaskan bahwa konsep purba tentang Tuhan lahir dari anggapan
bahwa untuk menghasilkan sesuatu, membutukan prinsip yang “Jantan dan yang
Betina”. Dari dua pandangan ini maka kepada sang pencipta atau Tuhan itu sendiri
diberi sandang dua azas: Matahari adalah simbol dari “yang jantan” dan Bulan
adalah simbol dari “yang betina”: Rerawulan.
Merupakan
suatu hal yang biasa bagi manusia purba untuk membangun dua kuil berdekatan,
yang satu lebih besar untuk matahari sebagai prinsip yang jantan dan yang lain
lebih kecil untuk bulan sebagai prinsip betina. Dari paandangan dua prinsip di
atas maka lahirlah ungkapan dwinama (dua nama), yaitu Matahari-Bulan, atau
dalam ungkapan Ata Lama Holot Rera-Wulan (Adonara),
Lera-Wulan (Lembata).[4]
Kesadaran baru buah dari refleksi
kelompok Tani, melahirkan sebuah konsep religius yang lebih berkembang, bahwa
yang berada di atas sana adalah prinsip maskulinum “Rerawulan”, dan yang ada di
bawa sini, “Tanaekan”, adalah prinsip femininum. Maka lahirlah ungkapan “Rerawulan Tanaekan”.
Bertolak dari jalan pemikiran ini,
maka diambil dua ajaran dasar yakni, binomi, “Rerawulan” adalah ungkapan simbolis untuk Yang “Maha Tinggi”.
Ungkapan-ungkapan ini tidaklah bermaksud bahwa badan angkasa seperti matahari
dan bulan menjadi objek yang disembah oleh Ata
Lama Holot. Namun itu semua adalah simbol, yang menunjuk ke arah sumber
hidup yang sejati,
Sang Pencipta. Ungkapan Rerawulan Tanaekan tetap menjadi nama
yang muncul dari kedalaman batin dan pengetahuan kosmik Ata Lama Holot, dan dalam nama ini ditemukan kehadiran yang Maha
Tinggi. Oleh karena itu dalam doa dan permohonan mereka, Yang Ilahi dipanggil
dengan Ama Rerawulan, Ina Tanaekan
atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan Bapa Matahari Bulan (Surgawi)
dan Ibu Bumi.
2.2. Hakekat Rerawulan Tanaekan
Kepercayaan Ata Lama Holot terhadap
wujud tertinggi digambarkan dalam konsep mereka tentang Rerawulan Tanaekan. Pada dasarnya konsep ini merupakan perpaduan
antara tiga kekuatan besar yakni matahari, bulan, dan tanah. Secara harafia
matahari berperan untuk menjadikan siang, membantu proses pertumbuhan segala
ciptaan di bumi, dan memberikan kehangatan bagi setiap orang yang kedinginan.
Ata Lamaholot memahami matahari dalam konsep ketuhanan adalah sebagai wujut
yang paling tinggi dilihat dari jaraknya dari muka bumi. Selain itu matahari
dipandang lebih kuat karena sifatnya yang panas maka manusia sulit untuk
tinggal atau menetap di sana.
Kemudian bulan, jika dilihat dari
jaraknya sedikit lebih renda dari matahari, selain itu bulan memberi terang
pada malam hari demi membantu manusia dalam beraktifitas seperti para nelayan
dan juga aktifitas lain, di satu sisi matahari dan bulan bekerjasama khususnya
mengatur seluruh kegiatan manusia.
Matahari dahulu kala digunakan
para nenek moyang kita untuk menentukan waktu atau jam. Kemudian tanah, tanah
adalah pusat kehidupan, dari tanah lahirlah manusia, dan pada suatu saat juga
manusia pun kembali ke tanah. tanah menumbuhkan begitu banyak tumbuhan yang
berguna bagi manusia untuk memepertahankan kelangsungan hidupnya.
Dari begitu banyak pandangan dan
pengalaman hidup, manusia sangat merasakan manfaat dari ketiga unsur penting
ini, karena itu mereka mulai membangun konsep kepercayaan tradisional akan
wujut yang tertinggi yang diwakili oleh ketiga unsur ini (Rerawulan Tanaekan).
3.
Persatuan Matahari , Bulan dan Tanah dalam Konsep Rerawulan Tanaekan
Masyarakat ata Lamaholot meyakini
adanya persatuan dari ketiga kekuatan ini dalam menata kehidupan manusia. Salah
satu ritus tradisional yang menyatukan ketiga kekutan ini adalah ritus Bau Lolon atau Tuang Tuak. Ritus ini biasanya menjadi pembuka
dalam setiap kegiatan. Dalam ritus ini ketiga kekuatan dasar ini dipersatukan
dan dari padanya orang memohonkan berkat, bantuan dan perlindungan. Salah satu
maksud lain dari ritus ini adalah mengundang para leluhur untuk turut hadir
dalaam setiap kegiatan.
4.
Sarana Perjumpaan Dengan Tuhan
Keyakinan akan suatu wujud
tertinggi yakni Lerawulan Tanahekan menuntut dari mereka sendiri suatu sarana
yang bisa menjadi perantara atau mediasi antara mereka denga wujut tertinggi
dalam arti ini Tuhan. Salah satu sarana yang lazim digunakan adalah Nuba Nara
atau batu keramat. Nuba Nara dianggap mempunyai kekuatan, dipahami sebagai perantara
manusia dan wujud tertinggi. Batu keramat ini bukan hanya sekedar batu secara
fisik namun di balik itu ada makna dinamisme yang menjadi wakil dari Rerawulan Tanaekan. Setiap kali diadakan
ritual adat harus dimulai dari batu keramat ini.
5.
Penutup
Konsep Lerawulan Tanahekan telah
menjadi kepercayaan tradisional yang membudaya bagi Ata Lama Holot. Hingga saat
ini, Agama tradisional ini tidak dilupakan, orang Lamaholot sering memadukan
ritus ini dan juga upacara Gereja tanpa menghilangkan satu unsurpun. Ritus
tradisional ini bukan menjadi praktek berhala namun Ata Lama Holot meyakini sebagai perantara mereka dengan Tuhan.