Menjadi Perempuan Merdeka # Cerpen Astuty Karwayu
Menjadi Perempuan Merdeka
N |
amanya Aina. Wanita
yang lebih damai menghabiskan waktu luangnya untuk berteman lumpur dan panas
matahari. Konon Aina adalah gadis yang menyukai senja. Hingga hari-harinya dihabiskan
hanya untuk mengantar kepergian senja, meski dia tahu itu luka, barangkali
besok atau lusa ketika senja kembali mungkin tak seindah dan tak sedamai dipandang mata sore itu.
Selain itu Aina juga
berasal dari keluaraga yang sederhana. Ibunya seorang pengurus rumah tangga dan
juga sebagai tulang punggung keluarga. Hingga tak jarang jika hari-harinya
hanya menghabiskan waktu untuk bekerja. Meski kadang langkahnya tak lagi
seimbang tapi ibunya mampu membiayai Pendidikan Aina hingga pada jenjang
sekolah menenga atas.
Dari kecil, Aina sudah dididik
untuk hidup yang sederhana. Hingga masih di bangku Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas, Aina selalu saja membantu ibunya
untuk berjualan sayur di pasar. Kadang bahasa-bahasa kecil yang keluar dari
mulut serakah membuat pedis batin Aina.
Sadar akan
kehidupannya yang bukan dari keluarga yang kaya, Aina berhasil menamatkan Pendidikan Sekolah Menengah Atas dengan nilai yang memuaskan.
Sore itu terekam jelas di pikiran Aina, langkah yang tertatih-tatih dengan senyum manis
berlesung pipi datang memeluknya dengan hangat dan bangga. Utang budi bersama
ibunya sudah dibayar tuntas dengan keberhasilan menamatkan Pendidikannya.
Setelah tamat SMA,
Aina bekerja membantu ibunya di sawah untuk menanam sayur-sayuran, sesekali
membantu ibunya berjualan ke pasar. Hingga pada suatu hari, Aina merasa sangat
Lelah dengan pekerjaan itu. Di dapur tempat ibunya menanak nasi, Aina
mengungkapkan isi hatinya,
“Saya lelah tiap
hari harus bekerja di sawah, saya benci ketika melihat teman-teman seusia saya
lebih damai berteman gadget pribadinya, saya mau kuliah, saya tidak peduli ada
uang atau tidak, saya mau melanjutkan Pendidikan saya.”
Tanpa Aina sadar,
kata-katanya sudah melukai hati ibunya. Air mata ibunya jatuh menetes membasahi
pipinya
yang mungil. Sakit, sungguh menyayat batin. Meski kadang Aina terlihat keras
kepala, namun hati Aina tidak bisa menahan belas kasihan ketika melihat ibunya
berjemur sendirian di bawah panas matahari dan derasnya hujan. Hari-harinya
berubah, semangatnya kembali, ketika Aina sadar bahwa nasibnya tidak
seberuntung teman-temnnya.
Waktu berlalu, seperti biasa setiap pagi bermodal
sebotol minuman dan serantang makanan khas anak kampung menjadi teman setia
untuk menghantar Aina kembali pada hijaunya sayur yang masih berselimut embun
di pagi hari. Sebidang tanah sudah menunggunya, layak petani yang berbadan
tegar. Aina mulai mencangkul petak demi petak agar menjadikannya layak sebagai
rumah untuk berlindung benih-benih sayur miliknya.
Perih, dada sepertinya retak. Ahhhhh, cangkulnya terlalu
berat, kata Aina dalam hati. Semua mata terpanah, singkat Aina menjadi totonan
saat itu. Ada yang mencibir sambil berkata,
“perempuan
kok pegang cangkul?” Aina menoleh sambil
memberikan senyuman terbaik pada arah datangnya suara.
Bagi Aina, apa pun pekerjaannya,
jika dilakukan dengan senang hati akan membawahkan hasil yang
baik. Mungkin ini nasibnya Aina, bersyukurlah kawan jika hidupmu masih memiliki
orang tua yang lengkap sehingga kamu tidak perlu lelah membanting tulang hanya
demi sesuap nasi.
Aina kembali dan hidup dengan sukacita bersama ibunya. Merdeka, ketika keringatnya mampu menambah sebutir beras dalam tempayan. Hari-harinya bertambah damai ketika satu per satu mimpi mulai diraih. Sadar bahwa itu semua adalah doa di sepertiga malam yang tak pernah berhenti dari hati ibunya. Aina tetap semangat menjalani harinya dengan sukacita.
Sebidang tanah mampu membuatmu hidup, tergantung bagaimana cara kamu mengelolah dan menjadikannya berarti. Ini prinsip Aina.
Salam dari AINA….