Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Cerpen Makam Pahlawan Ama Kopong

Cerpen Makam Pahlawan Ama Kopong - Oleh Rian Odel 




 

Saya baru saja mendaraskan doa Bapa Kami di dalam salah satu gereja paroki nan megah di kota ini. Kota berwarna pelangi. Selain itu, dalam doa tengah hari ini, saya tidak lupa mendoakan keselamatan roh para arwah yang masih hidup di kepala saya, baik yang sudah ke surga maupun yang masih singgah di api penyucian.

Di luar gedung gereja, hari kian panas menyengat damai di tengah dada ini. Suasana kota terdengar bising dan kacau-balau oleh lalu-lalang kendaraan. Mau bilang apa, inilah realitas kota yang ramai akan segala macam persoalan, mulai dari rumah tangga, bisnis, hukum, politik, bahkan pembunuhan. Ah, semua persoalan ini sudah diyakini bahkan dibanggakan sebagai drama rutin di kota ini. Kota kecil titipan leluhur.

Dan kejadian yang mutakhir ialah, semacam drama pembunuhan berencana yang mengambil lokasi syuting di halaman depan gereja paroki. Anehnya, pastor parokinya tidak mengetahui kejadian itu. Tuan pastor malah mengatakan bahwa kejadian itu hanyalah kabar burung gagak yang suka mengganggu kenyamanan di pastoran yang teramat sunyi dan damai.

Korban dijahit bibirnya dan kemudian dibunuh secara sadis dari mulut menembus jantung. Para pelaku tidak lain ialah, rekan umat Allah yang baru saja bersenda gurau dengan Tuhan di dalam gereja itu. Menurut informasi, alasan pembunuhan amat sepele yaitu perihal penolakannya atas tawaran murah untuk menikahi putri tunggal dari saudara kembarnya sendiri.

Saudara kembarnya itu saban hari bertugas sebagai dosen luar biasa pada salah satu Universitas terkenal dan termahal di kota ini. Namun, entahlah alasan ini belum dipastikan kebenarannya. Para pelaku pembunuhan adalah mahasiswa hukum pada Universitas tersebut yang berusaha membeli gelar sarjana dengan cara membunuh. Ya, membunuh. 

Mereka bersatu untuk menghabisinya kemudian menyembunyikan jenazahnya tepat di belakang kantor polisi terdekat. Jenazahnya digantung pada sebatang pohon Natu untuk mengelabui kebenaran seolah-olah ia mati bunuh diri. Informasi ini baru saya ketahui lewat tuturan polos dari seorang teman yang bernama pendek Boli. Ia mengajak saya untuk bekerja sama membongkar-bangkir kasus ini. Saya setuju tujuh kali.

Namun, saya sendiri belum mamahami betul identitas jenazah itu. “Namanya kopong, lebih tepat Ama kopong; ia lahir di kota ini puluhan tahun silam.” Ungkap Boli. Kota ini disebut Lewoleba.

                                                                  ***

“Demonstrasi adalah jalan akhir untuk membongkar otak di balik kasus ini,” ujar orator ulung kami; Ama Frans namanya. Kami mengadakan demonstrasi tepat di depan gedung gereja bersama ribuan manusia yang ingin mati bersama Ama Kopong. Alasannya, kami tidak merasa puas dengan kotbah pastor yang bertele-tele tentang kebenaran dan hakikat keadilan. Namun, usaha kami percuma belaka lantaran pastor tidak berada di tempat. Beliau dikabarkan sedang mengikuti pesta pemberkatan kapela baru di batas kota.

Kendati demikian, kami tidak habis akal sehat. Menurut kami, kantor polisi adalah jawaban atas seluruh rahasia pembunuhan ini sebab jenazah Ama Kopong ditemukan di belakang kantor itu. Dengan gagah berani, kami menyusun barisan; mobil pick up berwarna merah ditempatkan paling depan untuk memuat sang orator dan beberapa tokoh utama demonstran serta para pengusung jenazah. Bendera ungu kami kibarkan untuk menyatakan keberpihakan kami pada Ama Kopong. Laksana parade militer, kami pun siap tempur demi kebenaran.

Setibanya di kantor polisi, kami mendelegasikan beberapa orang untuk menemui pak polisi – saya salah satunya – yang berdiri kokoh laksana menara babel dalam cerita kitab suci. Namun, ia malah menertawai kami sembari menyodorkan telapak tangannya untuk memohon sebatang rokok surya, sebab katanya, jika tanpa rokok, bibirnya tak mampu berkata-kata dan tenaga dalamnya lunglai.

Ah, saya sendiri bukan seorang perokok. Saya mencoba bertanya pada para demonstran apakah mereka membawa sebatang saja rokok?  Namun, tidak seorang pun yang memberi kode; semuanya diam dan menggelengkan kepala. Artinya, tanpa rokok usaha kami pun mandek.

                                                                     ***

Sinar mentari mulai menyusup di belakang bukit cinta yang molek dihiasi panorama menawan. Ada patung bunda Maria Segala Bangsa berdiri megah di puncak bukit yang konon menjadi hutan segar sumber oksigen. Kini telanjang seperti padang Timor Tengah. Sudah diganti dengan pembangunan patung rohani yang dananya diambil dari pajak masyarakat kecil setempat.

Tenaga kami seperti kehabisan darah, apalagi jeritan suara kami dalam rangka membela hak hidup Ama Kopong tidak dihiraukan. Mulai dari yang berjubah paling putih bersih, polisi bahkan mungkin mereka yang menurut undang-undang harus disapa pak yang terhormat.

Semuanya memberi alasan yang sama: sibuk. Pastor sibuk dengan meditasi dan polisi sibuk mengurus tilang di persimpangan jalan, sedangkan mereka yang lain sibuk mengurus arisan bulanan.

Akhirnya, tanpa basa-basi, kami memutuskan untuk menguburkan jenazahnya di taman makam pahlawan yang terletak di tengah kota Lewoleba. Di atas kuburnya, kami tancapkan sebatang lilin kecil dengan nyala api yang tak kunjung padam. Sinarnya masih terang di tengah dada kami yang subur; lidah apinya terus bergelora melukis harapan dan perjuangan hingga suatu saat air mata mengering pertanda ada kebenaran mengalahkan kepalsuan. Dan pada nisannya kami bersajak:

Kopong, nyawamu menjelma debu

lidahmu tajam pada setiap kata di bibir perjuangan

kepergianmu adalah keterpaksaan

kirimkan kepada kami seekor gagak

yang setia bersiul pada nisan ini.

                                                                    ***

Keesokan harinya, Ama Frans, sang orator itu dijebloskan ke dalam penjara karena dituduh terlalu cerewet hingga hari ini. Mereka menjemputnya tatkala adzan subuh bergemah dan ayam jago berkokok bersahut-sahutan. Ia baru saja bangun dari peristirahatan malam dan hendak menuju kamar mandi yang belum beratapkan sesuatu apapun. Memakai sarung motif daerah Atadei dan bertelanjang dada.

Tiba-tiba, ia ditangkap polisi bertopeng dilengkapi pistol menakutkan. Dua ekor anjing peliharaannya hanya bisa menggonggong marah tapi tak berani menggigit. Mereka membawanya pergi. Pergi jauh sekali.

Situasi kampung masih sunyi, kecuali suara adzan, anjing yang marah, ayam berkokok dan sepoi angin. Boli, teman saya adalah tetangga terdekat Ama Frans. Ia meloi dari balik jendela rumahnya yang terbuat dari belahan bambu. Bibirnya bergetar marah. Ia takut dan kaku suaranya.

                                                                    ***

Seorang wartawan yang sedari tadi mendengar penjelasan saya, menganggukan kepala berulang kali. Dan kami pun menghabiskan sepiring jagung titi dan tuak kelapa hingga pada akhirnya kami bubar. Dan kejadian ini masih mendesak nurani saya untuk bertanya, siapa pembunuh itu? Apakah ia adalah saudara sedarah saya? Ahhh....bangsat!

 

 

 

Keterangan,

Ama: sapaan khas bagi laki-laki Lamaholot di Flores Timur dan sebagian Lembata, NTT

Bukit Cinta: salah satu tempat wisata rohani di Kabupaten Lembata.

Lewoleba: ibu kota Kabupaten Lembata.

 

Cerpen Ini pernah terbit pada flores pos versi cetak dan suluhnusa.com. Dengan beberapa tambahan, saya terbitkan kembali pada blog ini.

Post a Comment for "Cerpen Makam Pahlawan Ama Kopong"