Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Baca Lembata, dari Generasi Z dan Alfa hingga Alegori Gua Plato

Generasi Z merupakan sebuah kelompok masyarakat yang lahir setelah generasi milenial atau Y. Tahun kelahiran mereka antara 2000-2010. Sedangkan generasi Alfa lahir setelah 2010 (Sally Seppanen dan Wendy Gualtiery, The Millennial Generation reserach review, Michael Hendrix dan Andrea Bitely (ed), (Washington: National Chamber Foundation, 2012). Salah satu karakter dasar yang sama antara generasi Y, Z dan Alfa yakni kelekatan yang kuat dengan media digital.

Hal ini tentu saja lebih dominan dipengaruhi oleh kemajuan zaman. Ketiga generasi tersebut terlempar ke dunia yang sudah dipenuhi oleh beraneka jenis aplikasi media digital. Maka tidak heran jika anak-anak Sekolah Dasar sudah bisa berselancar dalam media sosial, bermain tik-tok, facebook dan seterusnya.

Salah satu akibat dari ketergantungan mereka terhadap media sosial yakni kehilangan kekhasan lokal yang ada di kampung-kampung, misalnya permainan rakyat dan lain-lain. Mereka tidak lagi bermain gasing bersama, bermain karet dan tentu masih ada permainan khas lainnya.

Namun demikian, dapat dianalisis bahwa kelekatan antara generasi Y, Z dan Alfa dengan media sosial membuat mereka tahu banyak hal dan terlebih bisa memproduksi inovasivitasnya, misalnya banyak youtuber dan blogger milenial yang produktif dan kreatif. Mereka bisa membuat film pendek untuk mengkritik Pemerintah Daerahnya yang sombong dan tidak tahu malu menghilangkan uang rakyat misalnya. Akibat positif ini menjadikan mereka punya wawasan luas, kritis dan progresif.

Generasi milenial khususnya, dinilai oleh Salsabiela (2019) juga akan mendapatkan pengaruh negatif dari media sosial. Sebab, mereka adalah kelompok yang sangat konsumtif ketika beraktivitas pada media sosial dan cenderung berlebihan bahkan berbagi konten tanpa memverikasi kebenarannya terlebih dahulu.

Pendapat tersebut didukung pula oleh Nurudin dalam buku terbarunya berjudul Media Sosial, Agama Baru Masyarakat Milenial (2018). Ia menilai, masyarakat milenial sudah sangat fanatik percaya terhadap informasi yang ditampilkan oleh media sosial, seperti seorang panganut agama yang fanatik terhadap ajaran agamanya sendiri sehingga tidak membutuhkan konsep dari ajaran agama lain. Ia menganggap apa yang ada dalam ajaran agamanya adalah mutlak benar sehingga tidak perlu memberikan catatan kritis atau pertanyaan tentang agamanya – apakah agama saya benar dan valid?

Melalui penjelasan di atas, kita dibantu untuk melihat relevansi antara genarasi Z dan Alfa terhadap isu-isu mutkhir yang terjadi di Lembata Negeri Kecil Salah Urus (Steph Tupeng Witin, 2016).

Aksi Vidi Making dan Film Ama Lake

Nama Vidi Making, seorang siswa kritis pada sebuah SMP di wilayah Ile Ape, mendadak populer usai dengan gagah berani melaporkan kebobrokan politis yang ada di Lembata secara langsung kepada Presiden Jokowi. Aksi heroik dari seorang anak yang masuk daftar generasi Z ini (Ia lahir di Todanara, Mei 2005) menuai banyak tanggapan positif pun juga ada yang mencurigainya.

Ada skenario atau orang belakang layar yang mentransfer ide kepada Vidi Making untuk melakukan aksi tersebut. Kira-kira demikian, opini dari beberapa orang yang tidak melihat substansi dari aksi Vidi Making, melainkan mencurigai sesuatu yang lain di luar pengetahuan mereka. Namun, pendapat apresiatif maupun kontra terhadap aksi Vidi Making perlu diterima secara kritis. Sebab, sebuah kebenaran mesti juga mendapatkan penilaian dari kaca mata yang berbeda untuk menguji kemurniannya, apalagi dalam nuansa demokrasi.

Aksi dari Vidi Making kemudian memuncak pada klarifikasi langsung yang ia sampaikan melalui kanal Youtube Orang Gila TV. Dalam video tersebut, Vidi memberikan penjelasan yang sangat detail dan terstruktur. Bahasanya mengalir lancar. Salah satu poin penting yang ia sampaikan ialah “tidak selamanya anak SMP atau seumuran dengannya tidak bisa melakukan aksi yang sesuai dengan umur.” Atau dengan pengertian lain, anak-anak generasi Z memiliki potensi progresif yang bisa mereka lakukan di luar kebiasaan mereka.

Salah satu sumber informasi yang ia dapatkan yakni media sosial. Tentu saja, aspirasi yang Vidi sampaikan sudah melewati verifikasi data, apalagi masalah-masalah yang diangkat juga sudah dan sedang dibahas secara masif oleh publik Lembata bahkan Polda NTT.

Dengan demikian, mesti dipahami baik oleh yang pro maupun kontra bahwa aksi VM memiliki substansi yang jelas. Karena itu, ia mesti didukung, apalagi VM sudah terlibat dalam organisasi-organisasi kritis yang turut memberikan energi positif baginya untuk melakukan sesuatu yang progresif.

Selain Vidi Making, kreativitas generasi Y, Z dan Alfa juga terlihat pada film pendek yang berjudul Ama Lake, ditayangkan melalui kanal youtube 13 Frame. Dalam film pendek berdurasi sekitar 12 menit ini, pemeran utama Ricky dan Shelo mengungkapkan isi hati mereka tentang kondisi Lembata saat ini. Tentang kerusakan alam, BBM, proyek-proyek mangkrak dan carut-marut lainnya.

Dari wajah Ricky dan Shelo, dapat dipastikan bahwa keduanya adalah generasi Alfa (kelahiran setelah 2010). Dengan demikian, hal baru yang mesti dipahami publik bahwa di Lembata, baik generasi milenial (Y), Z dan Alfa sudah tahu banyak kondisi Lembata saat ini. Generasi Z dan Alfa merupakan generasi yang polos. Maka dari kepolosan tersebut, lahirlah aksi progresif Vidi Making dan Film Pendek Ama Lake.

Oleh karena itu, salah besar jika Pemerintah Lembata menganggap biasa-biasa saja masalah-masalah sosial yang ada di Lembata. Atau tidak benar jika respons Polres Lembata tentang masalah publik di Lembata terlihat Lambat tetapi gesit menjawab tuntutan Pieter Bala Wukak dan Eliaser Yenti Sunur yang “cengeng” ketika dicubit pribadinya.

Ada perbedaan mencolok, “cengeng” antara dua figur potensial dari partai Golkar tersebut dengan cengeng yang biasa dialami anak-anak generasi Alfa. Kalau generasi Alfa cengeng karena dicubit atau diolok-olok, itu wajar saja. Juga ketika dua orang politisi tersebut “cengeng” karena dicubit pribadinya juga wajar di mata hukum tetapi tidak wajar di mata budaya Lamaholot. Juga tidak wajar ketika diukur dengan kapasitas mereka sebagai pejabat publik yang “lari” ketika ada aksi demonstrasi.

Maka, yang harus diteladani menurut saya adalah aksi Vidi Making, Shelo dan Ricky yang sangat dewasa, berjiwa politisi sejati, progresif dan lain-lain.

Alegori Gua Plato

Alegori gua Plato berkisah tentang sejumlah tahanan yang hidup dalam sebuah gua gelap sejak lahir. Mata mereka hanya bisa terarah pada dinding gua yang memantulkan bayang-bayang yang berasal dari  orang-orang yang memikul benda-benda kesana-kemari. Para tahanan tersebut mengira bahwa bayang-bayang tersebut adalah realitas sejati.

Kemudian salah seorang dari mereka dibebaskan keluar dari gua tersebut. Ia melihat pantulan cahaya matahari di siang hari sampai terbiasa dengan terang cahaya tersebut. Pada akhirnya ia pun mampu melihat matahari yang oleh Plato dilihat sebagai sumber ilmu dan kebijaksanaan.

Bekas tahanan tersebut, kemudian kembali ke dalam gua dan menjelaskan kepada tahanan lain bahwa apa yang mereka lihat bukanlah realitas sesungguhnya melainkan hanya bayang-bayang dari fakta  yang sesungguhnya. Namun, para tahanan tersebut tidak memercayainya. Mereka tetap taat pada kebiasaan mereka yakni melihat bayang-bayang tersebut sebagai realitas.

Pater Otto Gusti N. Madung, dalam sebuah sambutannya pada acara wisuda di kampus STFK Ledalero mengatakan, alegori gua sesungguhnya menggambarkan kebiasaan manusia yang betah dengan sebuah kepalsuan. Manusia malas keluar dari dalam dirinya untuk mencari tahu sesuatu yang benar di luar.

Dari alegori gua Plato tersebut, mari kita kaitkan dengan kondisi Lembata sampai pada aksi demonstrasi mutakhir. Salah satu alasan demonstrasi dilakukan yakni untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan publik yang abnormal, dilahirkan cacat prosedural dan barangkali bertolak dari mimpi seperti pada dongeng-dongeng masa lalu.

Banyak proyek mangkrak, BBM, masalah tanah di Hadakewa, beberapa proyek bermasalah di Tanah Uyelewun adalah sebagian contoh dari realitas yang ada di luar “gua gelap” egoisme Pemerintah Lembata. Anehnya ialah, baik Pemda maupun DPRD tidak melihat persoalan tersebut sebagai realitas urgen, maka demonstrasi sebagai jalan solutif pun terjadi.

Para demonstran adalah tahanan yang muak dengan kondisi gelap dalam gua Lembata, maka mereka berusaha keluar untuk mencari matahari kebenaran. Kemudian kembali menyampaikan apa yang mereka temukan itu kepada Pemda, Penegak hukum dan DPRD Lembata yang nyaman di dalam gua mereka yakni gedung Peten Ina.

Pertanyaan yang paling penting ialah, mengapa Pemda dan DPRD tidak mau memercayai cerita dari para demonstran tersebut? Jawaban yang mungkin benar ialah, Pemda dan DPRD juga pihak hukum percaya pada bayang-bayang pada dinding gua. Mereka tidak mau keluar bersama-sama untuk mencari tahu tapi nyaman dalam gua yang gelap. Mereka “lari” ketika massa aksi datang ke Peten Ina.

Gua tersebut bisa ada dalam Kantor Bupati, Peten Ina, dalam tubuh Partai dan golongan atau terlebih dalam diri mereka (tidak mau dengarkan kritik). Karena itu, mereka hanya percaya pada diri mereka sendiri, tanpa keluar mencari matahari. Selain itu, dapat kita lihat bahwa orang-orang yang dengan alasan demokrasi mendukung sikap Pemda atau DPRD yang terkesan apatis adalah juga bagian dari tahanan yang tidak mau keluar dari gua.

Bisa saja mereka yakin bahwa realitas yang benar bukanlah apa yang disuarakan oleh para demonstran melainkan apa yang sesuai dengan pemahaman mereka. Dan bisa juga pemahaman mereka adalah bayang-bayang itu sendiri.

Mereka merasa nyaman di dalam karena bisa mungkin, tangan, mulut, mata, telinga bahkan nurani mereka sudah diikat oleh kepentingan partikular-pragmatis tertentu. Mereka juga bisa mungkin sangat mencurigai para demonstran yang menyampaikan realitas di luar  gua. Mental “kepalsuan” seperti ini, bisa dididik lewat jalur-jalur demonstrasi-sampaikan realitas, juga jangan lupa konsep lokal taan tou sebagai spirit yang juga didengungkan oleh Yentji dan Thomas Ola.

Alegori gua Plato juga mendesak semua pihak lain, misalnya, media untuk responsif mendengarkan apa yang disampaikan oleh demostran sebagai tahanan yang sudah melihat realitas dan menyampaikannya. Media mesti sanggup menjalankan peran kontrol dan membuka mata publik untuk menangkap kepentingan mereka yang sering terlupakan (Budi Kelden: 280, 2008). Sebab media atau pers adalah milik masyarakat (Ibid.,hlm. 282).

Selain itu, pihak penegak hukum juga adalah tahanan lain yang juga didesak untuk keluar melihat realitas dan menanggapinya. Penegak hukum mesti melihat urgensi dari realitas Lembata bukan sekadar hadir merespons secara gesit laporan Pieter Bala Wukak dan Eliaser Yentji Sunur. Sebab ada realitas lain yang lebih urgen!

Terakhir, bagaimana jalan terbaik untuk membuktikan bahwa aspirasi demonstran adalah realitas di luar gua sesungguhnya? Jalannya ialah dialog bersama antara demonstran, Pemda dan juga DPRD. Selain itu, Pihak penegak hukum diharapkan konsistensinya untuk mengungkap tabir dari realitas yang disuarakan.

Dialog bisa menjadi jalan tengah jika DPRD dan Pemda serius merespons aspirasi para demonstran, bukan dengan cara apatis atau menghilang dari peten ina. Dialog mesti dibangun untuk mencari tahu benang merah dengan pertanyaan; apakah aspirasi demonstran adalah realitas di luar gua? Jika itu realitas, apa yang harus dilakukan selanjutnya oleh demostran, DPRD dan Pemda? (RO/Admin)

Post a Comment for "Baca Lembata, dari Generasi Z dan Alfa hingga Alegori Gua Plato"