Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Pijar-Pijar Semangat Kebangkitan Nasional

PIJAR-PIJAR SEMANGAT KEBANGKITAN NASIONAL

Oleh Ius Laka (Belajar Filsafat di Ledalero)

Dalam opini yang dimuat pada Pos Kupang (22/05/2021), Alfons Bunga Naen dan Theresia Wariani menulis tentang merawat semangat kebangkitan nasional. Tulisan tersebut bertujuan mengenang momentum Kebangkitan Nasional yang ditandai dengan berdirinya Organisasi Budi Utomo (Boedi Oetomo) pada 20 Mei 1908 silam.



Momentum bersejarah tersebut, menjadi tonggak perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing atau dari exploitation de l’homme par l’homme, sebuah ungkapan yang sering didengungkan presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno yang berarti ‘eksploitasi manusia yang satu oleh manusia yang lain’ (oleh yang kuat terhadap yang lemah). Bangsa Indonesia ingin membebaskan diri dari penindasan yang menyengsarakan rakyat.

Ada berbagai jenis penindasan yang dialami bangsa Indonesia selama berlangsungnya kolonialisme di Indonesia, mulai dari kerja paksa, eksploitasi kekayaan alam, eksploitasi manusia (manusia dijadikan alat untuk akumulasi modal penjajah), manusia Indonesia dijadikan penjilat (memang manusia Indonesia sendiri ada yang bermental penjilat agar bisa selamat sendiri), tunduk pada kekuasaan (hak untuk berbicara dibungkam), dan berbagai penindasan terhadap hak-hak dasar manusia lainnya.

Selain penindasan yang didapat dari kaum penindas, ada juga orang-orang ‘baik’ yang membawa api bagi bangsa Indonesia. Mereka itu adalah guru-guru humanis Belanda yang memberi api bagi orang-orang Indonesia yang terpelajar waktu itu seperti Sutomo, Gunawan Mangunkusumo, Cipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, Soekarno, Mohamad Hatta, Sjahrir, Pramoedya Ananta Toer, dan masih banyak lagi. Dengan ilmu pengetahuan yang didapat disadari bahwa senjata perlawanan tidak saja melalui keberanian semata, tetapi juga melalui semangat persatuan bangsa.

Semangat persatuan itu dijiwai oleh nilai-nilai luhur yang menjunjung tinggi persaudaraan, keterbukaan, dan terutama perasaan penderitaan yang sama dari segala bentuk penindasan. Perasaan-perasaan yang terkontrol dan tepat sasaran itulah yang menyatukan perbedaan-perbedaan. 

Pendidikan yang didapat dari guru humanis Belanda dan realitas bangsa Indonesia membuka mata bangsa Indonesia. Selaput yang menutup mata bangsa Indonesia itu dibuka dan dengan demikian bangsa Indonesia mampu melihat penindasan yang sedang terjadi dan merancang arah bersama yang demokratis.

Dengan Kebangkitan Nasional, lahirlah gerakan-gerakan perjuangan seperti lahirnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 yang menyatukan segenap pemuda seluruh wilayah di Indonesia. Angkatan 45’ yang dengan kewibawaan berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa, mewakili segenap bangsa Indonesia dalam memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia di hadapan dunia. Angkatan 66’ yang mengakhiri pemerintahan seumur hidup Soekarno. 

Pada 21 Mei 1998 semangat kebangkitan yang sama itu mengakhiri otoritarianisme Soeharto dan menandai awal gerakan reformasi. Namun, reformasi yang menghendaki demokrasi itu, hari-hari ini terlihat muram. Demokrasi Indonesia hari-hari ini lebih mengusung tema-tema sentimental yang membangkitkan perasaan kesukuan, komunitarisme, identitas yang pada dasarnya tidak demokratis karena menegasi yang bukan ‘kami’. Bahkan menaruh permusuhan dan dendam.

Belajar dari Lembata

Sudah cukup tentang Indonesia dan masa lalu yang gilang-gemilang. Di masa sekarang ini, demokrasi Indonesia sedang diuji. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak serta merta membangkitkan semangat demokrasi dalam diri segenap bangsa Indonesia. Sekarang ini, sulit untuk menemukan guru-guru humanis yang mengajarkan demokrasi berdasarkan keterbukaan, dialog yang dilandasi nilai-nilai luhur.

Demokrasi cenderung menjadi anarki. Pemimpin cenderung memaksakan kehendak dan melindungi kepentingan kelompok. Demokrasi disamakan dengan bincang-bincang atau wicara atau bahkan gosip dibilang demokrasi. Jika dulu orang kurang ilmu, sekarang orang kurang keberanian. 

Orang tidak berani menyampaikan secara terus terang. Lebih mudah berbicara di belakang layar, mengumpulkan masa, lalu menyampaiakan khotbah murahan, ketimbang dengan berani berdialog dengan berpegang pada nilai-nilai luhur, dengan orang yang berbeda pendapat. Demokrasi sedang bergerak mundur.

Kendati demikian, di ujung timur pulau Flores, tepatnya di Pulau Lembata, rakyatnya memperjuangkan demokrasi. Hal ini tampak dalam demonstrasi (dalam arti yang sesungguhnya sebagai salah satu cara penyalur aspirasi rakyat) yang diwakili oleh Aliansi Rakyat Lembata sebagaimana diberitakan Pos Kupang (21/05/2021). 

Demonstrasi itu dilakukan bertepatan dengan peringatan hari Kebangkitan Nasional. Suatu potret demokrasi yang menggembirakan untuk masyarakat Indonesia dan Nusa Tenggara Timur khususnya. Tidak tanggung-tanggung, salah satu isi demonstrasi itu adalah tuntutan untuk memberhentikan Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur.

Itulah demokrasi. Rakyat bebas menyuarakan isi hatinya sejauh disampaikan dengan tepat dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa. Keterbukaan tampak di sana. Kejujuran hati nurani rakyat untuk mengungkapkan ketidakpuasan atas kiprah pemerintah yang berjalan ‘lepas’ dari rakyat. 

Namun, sejauh aspirasi rakyat tersebut hanya dianggap sebagai jeritan orang-orang yang tidak berdaya, demokrasi hanya sekedar formalitas belaka. Dalam demokrasi suara rakyat bukanlah suara-suara minor. Suara rakyat adalah suara yang melegitimasi, mempertanyakan legitimasi yang diberikan, dan juga suara yang bisa mencabut legitimasi tersebut.

Dalam sebuah negara modern, pemimpin ada karena mendapat legitimasinya dari rakyat. Sejauh rakyat mempercayakan kedaulatannya kepada pemimpin, pemimpin itu sah. Namun, tatkala legitimasi itu dipertanyakan maka pemimpin wajib mengoreksi diri. Bahkan suatu keharusan untuk berdialog dengan rakyat. Dialog yang dimaksud adalah dialog yang membebaskan. 

Kadang pemimpin tidak menyadari kebobrokkannya dan di sinilah rakyat melihatnya dan menyampaikan hal tersebut. Tentu, bukan gosip murahan tentang pemimpin yang bobrok, tetapi keberanian menyampaikan secara terbuka. Dalam demokrasi tidak ada sentimen dan takut untuk dikritik. Semua orang disatukan oleh kehendak bersama akan suatu kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Belajar Berdemokrasi

Pijar-pijar Kebangkitan Nasional yang mekar di ujung timur Flores itu memberi kita pelajaran tentang ethos demokrasi yang sejati. Entah aspirasi Aliansi Rakyat Lembata itu didengarkan dan ditindaklanjuti atau tidak, paling tidak ada dua hal yang dapat dipelajarai tentang demokrasi.

Pertama, demokrasi yang sejati melihat masyarakat apa pun perannya dalam kehidupan bermasyarakat adalah setara. Semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Hanya tugas yang membedakan peran mereka. Namun, tugas dan peran yang  berbeda itu sebenarnya juga disatukan oleh visi yang sama yaitu kesejahteraan seluruh masyarakat. Demokrasi menganut prinsip keseluruhan dengan menghargai kekhasan masing-masing dan bukannya prinsip utilitarian (kebaikan bagi sebagian besar orang dengan mengorbankan sebagian kecil orang).

Prinsip demokrasi adalah kecukupan dan kelayakan hidup bagi semua orang. Demokrasi bukan formalistik. Demokrasi mengandaikan cinta yang tampak dalam semangat kekeluargaan dan gotong royong yang terpadukan dalam sistem yang terbuka terhadap kritik dan kemauan belajar.

Kedua, demokrasi yang sejati mengharuskan adanya dialog. Karena semua orang melihat dirinya setara dengan orang lain, ruang dialog itu adalah suatu keniscayaan. Dalam alam demokrasi apa yang dimaksud dengan dialog ini? Dialog berarti dalam hal ini pemimpin dan rakyat selalu mengusahakan tindakan yang komunikatif. Artinya bahwa pemimpin dalam memimpin rakyatnya selalu berusaha mencapai pemahaman dengan rakyatnya.

Yang terbaik berdasarkan kehendak bersama itulah yang dijalankan secara bersama-sama. Sebagai contoh, tatkala pemimpin membuat suatu kebijakan menyangkut orang banyak, ia tidak serta merta memaksakan keinginannya tersebut. Namun, ia selalu membuka ruang dialog dan meminta aspirasi rakyat. 

Tentu, ada banyak kritik yang datang, tetapi ketika kritik itu dapat dijawab dengan alasan-alasan yang meyakinkan dan masuk akal atau mencapai kesepahaman, suatu kebijakan tentunya dapat disetujui dan dijalankan secara bersama-sama.

Pemimpin juga dapat mengkritk rakyat sejauh rakyat misalnya tidak terlibat secara aktif dalam berdemokrasi. Pemimpin juga mesti menuntut keterlibatan aktif rakyat dalam perpolitikkan. Ahli-ahli hanya tambahan, yang utama adalah rakyat. Jadi, misalnya saat pemimpin sepi dari kritik, ia harus bertanya apakah ketiadaan kritik berarti ia telah memimpin dengan baik, ataukah ia tidak memberi ruang bagi kritik-kritik dari rakyat, ataukah rakyat acuh tak acuh terhadap kehidupan berdemokrasi?

Hari-hari ini, bangsa Indonesia hanya dapat bertahan apabila semua elemen rakyat baik pemimpin maupun masyarakat terlibat secara aktif dalam kehidupan bernegara yang demokratis. Rakyat merasa memiliki atas apa yang dinamakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), demikian pun pemimpin merasa memiliki NKRI tersebut.

Post a Comment for "Pijar-Pijar Semangat Kebangkitan Nasional"