Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Jangan Tuduh Mereka Sembah Berhala!

Jangan Tuduh Mereka Sembah Berhala!

Jika kita menelusuri kembali jejak sejarah misi Gereja Katolik di NTT, tak jarang kita mendengar informasi seputar pembakaran rumah-rumah adat milik masyarakat lokal. Salah satu alasannya ialah di dalam rumah adat tersebut lazim diadakan ritual “penyembahan berhala,” seperti potong hewan kurban (misalnya ayam), juga ada ritus pada mesbah-mesbah batu sakral.

Selain itu, di sekitar rumah adat, masyarakat lokal NTT juga diklaim menyembah berhala pada pohon-pohon besar seperti beringin, rita dan seterusnya. Akibatnya, para misionaris Eropa tempo dulu seenaknya menghanguskan rumah-rumah adat sebagian warga NTT tanpa mendalami secara serius konsep teologis di balik kepercayaan lokal tersebut.

Pertanyaannya; apa itu sembah berhala? Siapa yang menciptakan konsep berhala? Atau siapa yang berhak mengklarifikasi perbedaan antara berhala dan halal? Lalu pertanyaan yang penting ialah, apakah sembah berhala itu buruk? Untuk menjawab beberapa pertanyaan ini, saya coba menguraikan pemikiran saya tentang tema ini secara sederhana dan dapat saya pertanggungjawabkan.

Sistim Kepercayaan Lokal

Di dalam Gereja Katolik sendiri, sejak Konsili Vatikan II, sistim kepercayaan tradisional sudah diakui dan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Hal ini bertolak belakang dengan sistim praKonsili Vatikan II yang dengan tegas menolak ajaran lain di luar Gereja Katolik.

Walaupun begitu, penghormatan terhadap sistim kepercayaan lokal orang Indonesia sudah mengalami degradasi seiring hadirnya agama-agama besar seperti Islam dan Kristen. Banyak sekali kritikan kontra terhadap eksistensi kepercayaan lokal yang seenaknya disimpulkan sebagai sistim sembah berhala.

Komentar-komentar para netizen yang berseliweran di media sosial bisa menjadi salah satu indikator. Mereka sangat berani mengkritik sistim kepercayaan tradisional sebagai sistim sembah berhala – tapi lihat saja jika kritik yang sama tertuju pada mereka tentu ceritanya lain lagi.

Lantas, dengan sombong, mereka mengklaim ajaran agama samawi yang dianutnya sebagai yang paling benar. Hal ini dapat kita analisis bahwa pola pikir negatif terhadap perbedaan ajaran sistim kepercayaan masih terus bertumbuh di Indonesia khususnya NTT.

Menurut Samsul Maarif, agama lokal di Indonesia seringkali direpresentasikan dengan berbagai terminologi negatif, seperti animisme dan dinamisme yang berkonotasi negatif dan invalid (Samsul Maarif, “Kajian Kritis Agama Lokal”, dalam Samsul Maarif, (ed.), Studi Agama di Indonesia (Jakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS, 2016), hlm. 39).

Pendapat tersebut, sekurang-kurangnya menghadirkan dua alasan mendasar. Pertama, sebagian orang beragama di Indonesia bermental instan menilai sistim kepercayaan tradisional.

Artinya, mereka tidak melakukan pendalaman serius tentang konsep teologis agama tradisional tertentu secara mandiri tetapi mudah memercayai pendapat figur publik tertentu yang menilai kepercayaan lokal sebagai berhala. Mereka mudah digiring tanpa memahami substansi. Entah benar-salah dan baik-buruk, mereka tidak paham. Intinya bisa ikut ramai dan ramai-ramai bully.

Kedua, kesalahpahaman konsep. Artinya, hingga saat ini, sebagian warga Indonesia memercayai bahwa sistim kepercayaan tradisional tidak sepadan dengan kepercayaan monoteisme yang menurut mereka paling sempurna. Pertanyaannya, apakah mereka bisa buktikan bahwa kepercayaan monoteisme paling benar dan baik atau hanya sekadar klaim?

Dua alasan mendasar tersebut mesti diluruskan karena konsep bahasa atau ungkapan tertentu dapat menggiring pola pikir manusia. Mereka akan cepat emosional ketika diajarkan bahwa sistim kepercayaan lokal itu bagian dari dinamisme atau animisme.

Padahal dinamisme dan animisme sendiri adalah konsep yang diciptakan oleh manusia. Apakah dinamisme dan animisme adalah bentuk dari sembah berhala? Tidak mudah menjawab pertanyaan seperti itu.

Oleh karena itu, kita membutuhkan sebuah kesadaran kolektif secara perlahan untuk mulai kembali ke kampung halaman dan mendalami konsep teologis dengan langkah-langkah ritus dalam sistim kepercayaan tersebut di wilayah kita masing-masing. Sebab dengan banyak mengenal dan mendalami, kita akan memberi respek kepada sistim kepercayaan tradisional kita dan hasilnya pola pikir kita tentang perbedaan sistim kepercayaan akan terbuka. Kita menjadi manusia inklusif dan pluralis.

Bukan Berhala

Kamus Bahasa Indonesia (2008) mendefinisikan kata berhala sebagai sesuatu yang didewakan atau disembah – patung dan lain-lain.  Dalam pengetahuan populer di tengah masyarakat, sistim kepercayaan lokal seperti ritus-ritus di hadapan pohon-pohon besar atau batu besar juga oleh sebagian orang beragama – yang menganggap agamanya paling benar – menilai sebagai bagian dari praktik berhala.

Padahal, kalau kita bertanya dan mendalami langsung, orang-orang yang melakukan ritus tersebut akan membantah kalau mereka dituduh menyembah pada batu atau kayu. Sebab mereka sedang menyembah pada Wujud Tertinggi mereka.

Saya seringkali berdiskusi di medsos dengan teman-teman yang juga punya pemahaman yang sama. Ada yang menganggap bahwa ritus dengan mengurbankan hewan atau di hadapan pohon besar yang hijau daunnya adalah praktik berhala.

Mereka bahkan bertanya, mengapa tidak sembah langsung saja pada Tuhan seperti di Mesjid atau Gereja? Artinya, sebagian orang beragama samawi, masih percaya diri menilai kepercayaan tradisional bukan dalam diri kepercayaan itu sendiri (in se) melainkan dari sudut pandang agama yang ia anut. Hasilnya, lahirlah penghinaan, ungkapan kotor dan negatif terhadap sistim kepercayaan tradisional tertentu.

Apa itu Berhala?

Dari uraian panjang di atas, saya berkesimpulan bahwa sistim kepercayaan lokal maupun agama-agama samawi bukanlah praktik berhala. Sebab setiap sistim kepercayaan tertentu memiliki dasar dan pedoman kepercayaannya masing-masing.

Kita sebagai manusia yang serba miskin wawasan tidak punya hak untuk menilai sistim kepercayaan agama lain sejauh mereka tidak mengganggu agama kita.

Kita mesti bertanya diri bukan menyombongkan diri dengan menuduh orang yang mewariskan sistim kepercayaan tradisional sebagai bagian dari berhala. Kita dituntut untuk terlibat dan belajar tentang mereka bukan meneropong dari sudut pandang kita sendiri.

Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan apa itu berhala dalam konteks agama; saya berkesimpulan bahwa yang berhala adalah tingkah laku negatif yang berakibat pada retaknya relasi interpersonal dalam beragama (bukan ritusnya), orang-orang yang sombong, suka fitnah dan intoleransi terhadap perbedaan agama.

Yang berhala adalah praktik menyudutkan agama lain, menjual agama demi kepentingan perut, mengolok-olok agama lain dan praktik serupa lainnya.

Justru orang yang mengakui dirinya beragama tapi suka sekali repot dengan iman agama lain, itulah yang layak disematkan kata berhala padanya. Sebab tak jarang kita menemukan fenomena seperti ini. Menganggap agamanya paling benar lalu seenaknya menghina agama lain. Itu berhala namanya. Ya, sekurang-kurangnya menurut saya. (Rian Odel/Admin)

 

 

Post a Comment for "Jangan Tuduh Mereka Sembah Berhala!"