Status Adat Wilayah Noni’, Desa Mahal I, Versi Suku Odel Wala
RAKATNTT.COM - Orang Kedang di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur terkenal dengan kefasihan mereka dalam menuturkan sejarah asal-usul, legenda, mitos dan cerita rakyat lainnya. Kebiasaan ini terus diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya. Dalam konteks ini, sistem pewarisan secara oral dikenal dengan sebutan tutu’ koda wade’ yang berarti menceritakan terus agar tidak putus atau musnah.
Ritual Adat Dilakukan di Puncak Noni' oleh Suku Odel Wala |
Dari konsep seperti ini, setiap orang Kedang, khususnya generasi muda dituntut untuk menghafal dan juga mendalami lebih lanjut tuturan lisan yang diwariskan oleh generasi terdahulu. Oleh karena itu, tulisan kecil ini akan mengulas secara cukup detail status adat wilayah Noni’ di Desa Mahal I dari versi suku Odel Wala.
Dorong Dope’ Suku Odel Wala
Dorong Dope’ dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai proses migrasi atau eksodus dari Gunung Uyelewun menuju lereng gunung. Suku Odel Wala yang kini terdapat di Desa Mahal I dan II pun mengalami dorong dope’. Leluhur yang melahirkan suku Odel Wala yaitu Baran Ai. Kampung lama pertama Baran Ai terdapat di Peu Uma Sawa.
Baca Juga Sejarah Panjang Suku Odel Wala
Kemudian Baran Ai melakukan migrasi lagi dari Peu Uma Sawa menuju Suba Wutu’ di ujung barat Pulau Lomblen (Lembata). Mula-mula ia menetap di Nuha Nera, Tapo Baran, kemudian melanjutkan perjalanan sampai ke Suba Wutu’. Ia kemudian melahirkan dua putra yakni Kayo Baran dan Lalung Baran. Kayo Baran melahirkan Lele Kayo. Sedangkan riwayat hidup Lalung Baran hingga kini musnah.
Baca Juga Ritual Adat di Puncak Noni'
Kayo Baran melahirkan Lele Kayo dan Lele Kayo Melahirkan lima orang putra yakni Bala Lele, Lake Lele, Koa Lele, Raya Lele dan Todo Lele. Dari Suba Wutu’, Lele Kayo dan kelima putranya bermigrasi ke arah Atanila dan menetap disana bersama dua suku lainnya yakni Leu Ape dan Lamukang yang kini ada di Desa Dolulolong.
Pada suatu hari dua leluhur suku Lamukang yakni Boli Mau dan Bara Mau melepas pukat di darat untuk menjerat induk rusa bertanduk tujuh. Singkat cerita usai tertangkapnya rusa tersebut, terjadilah bencana tahi’ wei keu (banjir besar, hujan deras, angin kencang). Maka ketiga suku tersebut pun bermigrasi keluar dari kampung Atanila.
Baca Juga Sejarah Suku Orolaleng
Suku Lamukang bermigrasi ke wilayah Leu Tamal Rawa Atarodang atau yang sekarang dikenal dengan Desa Dolulolong. Sedangkan suku Leu Ape dan Odel Wala bermigrasi bersama menuju arah timur. Bahasa sakral untuk menegaskan perjalanan suku Odel Wala dan Leu Ape dikenal dengan ungkapan Ola’ Wolo’ Odel Wala, Wuyo Payi Leu Ape. Batu besi milik suku Odel Wala kini masih ada di Atanila.
Perjalanan Leu Ape dan Odel Wala kemudian tiba di Wei Liang Layar di Hule. Di sini, Odel Wala masih menetap sedangkan Leu Ape sudah lebih dahulu pergi dan menetap di wilayah yang sekarang kita kenal dengan Perung di wilayah Mahal II/Leu Hapu. Kemudian Odel Wala menyusul. Dari Hule, mereka berlayar menggunakan perahu dan tiba di Wata Ana’ Noni’ (Desa Mahal I sekarang). Mereka kemudian naik ke puncak bukit Noni’, mencari tempat tinggi agar terhindar dari musuh yang datang baik dari darat maupun laut.
Baca Juga Keterlibatan Lako Bori dalam Perang Munaseli
Di Puncak Bukit mereka mendirikan ebang atau pondok untuk rumah tinggal. Jika disusun sesuai silsilah, diperkirakan Odel Wala berada di Noni’ sekitar tahun 1200/1300 masehi. Saat mereka tiba di Noni’, tuan tanah atau pemilik ulayat yang bernama Noni’ Beni barusan meninggal dunia, maka ulayat atau duli uhe di Wilayah Noni’ Beni menjadi milik sah suku Odel Wala. Sedangkan saudara Noni’ Beni bernama Patu’ Beni, Ia menetap di sebuah tempat yang kini dikenal dengan sebutan Wei Bupatu’ di wilayah angar laleng/Desa Mahal II.
Suatu hari, kelima saudara tersebut pergi mencari ikan atau melepas pukat sampai ke tanah Lepan Batan selama empat hari. Saat mereka kembali dari Lepan Batan ke Noni’, istri dan anak-anak mereka sudah mati berkalang tanah karena dibunuh oleh omang (Jin dari laut). Maka kelima saudara tersebut bertekad untuk bermigrasi lagi ke luar wilayah Kedang.
Namun, si Bungsu yang bernama Todo Lele tetap berpendirian untuk menetap di Noni’ untuk tunu koda dayang wade’ (menjaga rumah). Keempat saudara yang bermigrasi ke wilayah barat melalui jalur pantai selatan yakni Bala Lele (menetap di Labala), Koa Lele (Adonara) Raya Lele (Larantuka), Lake Lele berlayar dari larantuka pulang ke Lembata dan singgah di Atawatung. Ia menikah dengan seorang gadis dari Atawatung yang bernama Bori.
Kemudian keduanya kembali ke Kedang untuk mencari Todo Lele, si Bungsu. Namun, keduanya singgah di Honi’ero-Kalikur, kemudian diundang oleh Kerajaan Pandai di Pantar untuk berperang melawan kerajaan Munaseli. Lako dan Bori berhasil membunuh panglima munaseli yang bernama Pito Para dan Mau Para. Kemudian keduanya melakukan sayin bayan (janji adat) dengan orang Pandai.
Sambung Todo Lele
Setelah lama menetap di Noni’, Todo Lele kemudian bermigrasi ke arah utara dan menetap di Tua’ Mado bersama Manahoe’ dari suku Potiretu. Todo Lele kemudian menikah dengan Tontore dari Potiretu. Setelah melahirkan keturunan, Todo Lele dan Tontore berpindah dari Tua’ Mado ke wilayah barat tepatnya di wilayah milik Haba Leu dan Lawe Leu.
Todo Lele kemudian menetap tetap di sini dan keturunannya menyebar baik di bagian kampung lama maupun turun hingga di wilayah Riang Bao, Riang Wehe’, Riang Tuan dan seterusnya. Wilayah-wilayah ini secara administratif masuk dalam lokasi Desa Mahal I dan II.
Batas-Batas Ulayat Noni’ Beni
Batas bagian timur yakni mulai dari wa’ nuren di Poho sampai di Kaka Buan yang berbatasan dengan patu’ beni (Leu Ape). Batas ke arah barat mulai dari Pingan Pe’, Tuma Wete Balung, sampai Ruha Tomo Raking dengan Uli’ Nala’ Kata’ Rowa’ (orolaleng). Batas bagian utara yakni mulai dari Modang Horong sampai Kio’ Koro’ Biar dengan suku Neda’ Wala.
Narasumber:
Leonardus Leu Odel dan Thomas Toda Odel
Post a Comment for "Status Adat Wilayah Noni’, Desa Mahal I, Versi Suku Odel Wala"
Komentar