Gara-Gara SMS oleh Justin L Wejak
Gara-Gara SMS
Justin L Wejak
The University of Melbourne
Seorang ibu di sebuah desa sempat
bercerita. “Anak saya barusan dikeluarkan dari sekolah karena ada masalah”,
katanya. Saya lantas bertanya, “Ada masalah apa, ibu?” “Gara-gara sms, anak
saya dan kawannya dikeluarkan dari sekolahnya”, keluh sang ibu. Ia kemudian
bercerita panjang tentang apa yang dilakukan anaknya.
“Pada suatu malam di luar jam sekolah”,
demikian sang ibu mulai bercerita, “anak saya berkiriman sms dengan kawan
sekolahnya. Kebetulan malam itu listrik padam. Ada angin kencang dan hujan
deras. Mereka saling bercanda lewat sms tentang alasan kenapa listrik malam itu
padam. Secara gurau, mereka mencurigai seorang guru di sekolah mereka sebagai
biang terpadamnya listrik malam itu.”
“Bagaimana si guru itu bisa jadi biangnya?”
Tanya saya menggugat. “Iya, anak saya dan temannya kelakar bahwa mungkin guru
itu belum bayar uang listriknya”, tegas si ibu. “Lalu, bagaimana sampai isi sms
tersebut diketahui oleh pimpinan sekolah?” Tanya saya penasaran. “Saat anak
saya di sekolah keesokan harinya, HP anak saya disita oleh seorang guru lain
hanya karena melihat anak saya sedang memegang HP-nya. Tanpa izin, guru itu
lantas membuka HP anak saya dan membaca candaan malam sebelumnya tentang si
guru yang dicurigai belum melunasi uang listriknya.” Demikian cerita si ibu.
“Oh begitu. Lantas, apa yang terjadi?”
Tanya saya penuh kuriositas. “Isi sms tersebut dilaporkan kepada pimpinan
sekolah. Ada sidang kilat. Sidang memutuskan anak saya dan kawannya dikeluarkan
dari sekolah. Saya kesal bahwa anak saya mendapatkan hukuman seberat itu untuk
kejadian di luar jam dan halaman sekolah.” Demikian tutur si ibu dengan nada
kesal. “Bukankah pimpinan sekolah seharusnya berkonsultasi dulu dengan orang
tua sebelum mengambil keputusan?” Tanya sang ibu dengan suara tersendat pertanda
kecewa dan bingung. “Anak saya sekarang sudah pindah di sekolah lain, dengan
jurusan berbeda, yang sebetulnya kurang sesuai dengan minat dan cita-citanya;
namun apa boleh buat. Lebih baik dia bersekolah dari pada nganggur”, sambungnya
dengan nada pasrah.
Saya kemudian menghubungi anaknya untuk
mendengarkan langsung ceritanya. Cerita si anak mirip versi cerita ibunya.
Terlihat rasa tertekan dalam dirinya seolah telah melakukan kesalahan mortal.
Ia malu untuk bercerita panjang. Pendek kata, menurut si pelajar berusia 16
tahun itu, pernyataan dalam sms tentang guru mereka dilihat sebagai sebuah
olokan dan fitna. Konon, tuduhan telah melakukan fitna dipakai oleh pimpinan
sekolah sebagai dasar untuk memberikan ganjaran fatal, yakni mengeluarkan
mereka dari sekolah.
Cerita sang ibu membuat saya banyak
bertanya dalam diam. Kalaupun betul bunyi sms itu bernada mengolok, seserius
itukah olokan tersebut sehingga anak harus dikeluarkan dari sekolah? Olokan
bisa sekadar candaan, tanpa harus ada niat fitna dan mencoreng martabat
seseorang. Bercanda, bahkan bergosip sekalipun, tentang guru-guru itu hal yang
cukup biasa dewasa ini di kalangan para peserta didik di mana saja di seantero
jagat. Apabila setiap candaan dan gosip kecil tentang guru selalu ditanggapi dengan
mengeluarkan anak-anak dari sekolah, maka banyak sekolah mungkin akan menjadi
kosong. Bukankah tujuan utama sekolah adalah mendidik, bukannya sekadar
menghukum anak-anak? Mengeluarkan anak dari sekolah seharusnya merupakan opsi
terakhir setelah semua opsi lain terbukti gagal membawa perubahan dalam diri si
anak.
Sekolah bukan hanya tempat untuk menimbah
ilmu pengetahuan, tetapi juga tempat untuk belajar tentang kehidupan dan
kemandirian. Sekolah merupakan tempat di mana anak-anak bisa belajar tentang bagaimana
mengampuni dan diampuni untuk suatu kesalahan. Pimpinan sekolah berkewajiban
untuk terus mendampingi anak-anak didik ke arah pemahaman dan transformasi diri
secara utuh. Maka, sidang kilat dengan keputusan besar mengeluarkan kedua siswa
dalam cerita di atas dapat dilihat sebagai suatu tindakan cuci tangan. Sekolah
ingin kelihatan bersih dengan sekadar membersihkan (mengeluarkan) anak-anak
yang dianggap kotor.
Keputusan besar mengeluarkan siswa tanpa
mempertimbangkan faktor-faktor yang meringankan dapat dipandang sebagai bentuk
pelecehan terhadap prinsip keadilan. Keadilan berarti memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya, misalnya dengan
meminta maaf kepada pihak yang merasa dirugikan, dan berjanji untuk tidak lagi
mengulangi perbuatan yang sama di masa depan.
Dari segi pendidikan, ganjaran apapun yang
dikenakan kepada anak-anak seharusnya berfungsi mendidik. Hukuman tanpa
memberikan waktu kepada anak-anak untuk memperbaiki diri di sekolah yang sama
merupakan hukuman yang bukan cuma tidak mendidik, tetapi juga tidak adil.
Bahkan, secara prosedural, legalitas keputusan tersebut dapat dipertanyakan.
Sembari menghargai sikap tanpa kompromi
pimpinan sekolah terhadap perilaku asosial anak-anak, intervensi sekolah dalam
contoh cerita di atas agak berlebihan. Melebih-lebihkan sebuah masalah ternyata
bukan tanpa harga. Siswa dikeluarkan dari sekolah adalah harga yang harus
dibayar gara-gara sms. Iya, gara-gara sms. Demikian cerita seorang ibu dari
sebuah desa.