Strategi Pastoral, Mengatasi Kasus Perceraian dalam Gereja Katolik
(Menganalisis Pokok Persolan Dan Merancang Program Kerja Pastoral)
Leonard
Ferdinand Donatus Mukin
Perkawinan bukan hal baru dalam kehidupan manusia dewasa ini. Dari sejak awal kehidupan manusia, perkawinan menjadi salah satu fakta sosial dalam kehidupan bersama. Seiring dengan perkembangan zaman yang di dalamnya membawa serta kekuatan agama, maka agama merefleksikan perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dan dibuat rumusan dasar pelaksanaannya.
Melihat pentingnya perkawinan maka Gereja secara tegas menjadikan perkawina sebagai salah satu sakramen dari tujuh sakramen dalam Gereja Katolik. Perkawinan dalam Gereja Katolik, atau juga disebut sakramen perkawinan, adalah “perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan hidup”.
Hakekat perkawinan Dalam kanon 1055 "1" dan "2" termuat 5 gagasan pokok berkaitan dengan hakekat dan tujuan perkawinan, yaitu: perkawinan adalah perjanjian kasih antara suami-isteri, perrkawinan adalah kesepakatan untuk senasib sepenanggungan dalam semua aspek hidup, perkawinan bertujuan untuk kesejahteraan suami-isteri, perkawinan terarah pada kelahiran dan pendidikan anak, dan perkawinan sah antara dua orang yang sudah dibaptis. Sedangkan sifat perkawinan katolik adalah monogami dan tak terceraikan.
Di dalam perkembangan dunia dewasa ini, telah terjadi banyak kasus perceraian pada berbagai jenjang usia pernikahan. Kasus perceraian tidak terjadi begitu saja melainkan disebabkan oleh faktor-faktor tertentu dan dengan tujuan tertentu.
Sejak awal, Gereja telah menegaskan posisinya untuk menolak secara keras perceraian dari keluarga katolik demi menjaga sifat dari perkawinan itu. Namun dalam kehidupan keluarga katolik masih ditemukan kasus perceraian. Terjadinya kasus perceraian telah menegasikan hakekat dan sifat perkawinan yang sakral.
Berhadapan dengan situasi ini, peran agen pastoral sangat dibutuhkan. Agen pastoral mesti mencari persoalan mendasar dari semua kasus perceraian dalam gereja katolik dan merancang program pastoral yang tepat untuk mengatasi dan mencega terjadinya kasus perceraian.
Penulis dalam pembahasan ini, mengambil
sampel kasus perceraian yang terjadi dalam paroki asalnya yakni paroki St.
Yosep Lewotobi. Penulis memilih sampel ini karena penulis memiliki cukup
pengetahuan tentang kasus perceraian yang terjadi di paroki asal penulis.
1. Identifikasi Masalah Perceraian
Katolik di Paroki St. Yosep Lewotobi
Kasus perceraian di paroki St. Yosep Lewotobi cukup tinggi. Terjadi peningkatan kasus perceraian dari tahun ke tahun. Kasus perceraian yang terjadi melibatkan keluarga dengan berbagai variasi usia pernikahan.
Perceraian yang terjadi tidak saja dilakukan oleh keluarga-keluarga katolik yang punya usia pernikahan tergolong sudah cukup lama, tetapi juga oleh keluarga-keluarga katolik muda. Faktor penyebab perceraian yang menjadi fenomena umum adalah kurangnya pemahaman akan perkawinan sebagai sebuah sakramen dan kehidupan berkeluarga, pasangan-pasang tidak siap untuk menikah dan karena situasi yang memaksa untuk melakukan pernikahan, tidak adanya komunikasi yang baik dalam kehidupan berkeluarga, tidak bisa saling memuaskan dalam berbagai hal, dan perselingkuhan antara pasangan.
2. Tantangan dalam Mengatasi
Persoalan Perceraian
Dalam mengatasi persoalan
perceraian tentu terdapat banyak tantangan. Ada beberapa tantangan yang
dihadapi sebagai berikut:
a) Tantangan Dari keluarga sendiri
Masing-masing
pihak masih memilki sifat keras kepala, selalu mempertahankan egonya
masing-masing, gengsi, lingkungan budaya dan adat yang masih sangat kuat dalam
meneriam adanya perceraian agar keberlangsungan hidup adat bisa berjalan sesuai
kehendak mereka.
b) Tantangan dari dalam diri agen
pastoral
Kemampuan agen
pastoral dalam menganimasi keluarga-keluarga Kristen masih sangat rendah
apalagi keluarga-keluarga yang berada di pedalaman atau kampung, Kurang memahami
situasi atau latar belakang pasangan dan kehidupan sosial budaya dari pasangan.
3. Rancangan Program Pastoral
Untuk mengatasi
persoalan perceraian ini dibutuhkan langkah-langkah yang tepat. Ada banyak
langkah yang dapat ditempuh, namun berhadapan dengan kasus perceraian, agen
pastoral perlu memikirkan suatu program pastoral yang mampu mengatasi persoalan
percerian sampai pada akarnya.
Dalam menyusun
program pastoral ini, agen pastoral juga perlu membuat semacam survei agar
program yang dibuat sungguh tepat. Penulis sebagai anggota paroki, memiliki
keprihatinan yang besar terhadap kasus yang terjadi di paroki St. Yosep
Lewotobi. Penulis menawarkan program pastoral praktis berupa pembaharuan janji
perkawinan tiga bulan sekali.
Untuk mencapai
program ini dibutuhkan juga program pendukung seperti pendampingan
keluarga-keluarga melalui katekese, syering, sosialisasi, seminar bertemakan
keluarga dan lain-lain. Jadi program ini tidak langsung jadi tanpa adanya
persiapan melainkan melewati beberapa tahap persiapan yang dianggap cukup.
4. Penutup
Setiap masalah
yang dihadapi pasti memiliki jalan kelurnya masing-masing. Ada masalah yang
dapat dicega sebelum terjadi dan salah satu contohnya adalah masalah
perceraian. Agen pastoral harus memiliki kemampuan untuk mengatasi persoalan
ini lewat program pastoral yang tepat.
Penulis
mengusulkan agar program pembaharuan janji pernikahan serta program pendukung
yang lain harus diterapkan dan dijalankan dengan sungguh-sungguh demi masa
depan gereja dan keluarga yang baik.