Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Menyambut Pemilihan Kepala Desa Mahal (bagian 2), Penting mempertimbangkan Kualitas Personal Calon

Catatan Kritis untuk Para pemilih

Poya Hobamatan*)

Mempertimbangkan eksistensi desa sebagai fundamen masyarakat bangsa; mencermati perkembangan kecerdasan masyarakat pemilih, sebagaimana diperlihatkan Aminoto A. Datoq, Sophian, Sukiman dan Tobias Tola; juga memperhatikan realitas masyarakat pemilih yang didominasi oleh kaum milenial, maka pertimbangan atas kualitas calon harus merupakan tuntutan yang patut disikapi, baik oleh panitia maupun oleh pemilih saat memasuki bilik pemungutan suara. Penting dipertimbangkan aspek kualitas personal itu, karena selain masyarakat pemilih adalah angkatan muda; juga karena rata-rata pemilih berlatar pendidikan tinggi.

Realitas sosiologis seperti ini, bila tidak disikapi dengan cermat dan arif, melalui standarisasi calon, bisa berakibat fatal bila ternyata calon yang memenangkan suara ternyata memiliki kualitas personal yang rendah. Akibat fatal itu adalah kepemimpinanya akan terus dipersoalkan selama menjabat, oleh para pemilih, yang beresiko pada proses stagnasi desa (jalan di tempat). Selain untuk mengantisipasi terjadinya stagnasi pasca pemilihan, pentingnya standarisasi calon dimaksud agar calon tidak sekedar mengajukan diri hanya dengan modal nekad, untuk sekedar meramaikan perhelatan pilkades. Pilkades harus dimaknai sebagai moment untuk memilih kepala desa yang berkualitas supaya mampu menahkodai desa, dari ketertinggalan menuju managemen desa modern. 

Dengan latar belakang pemikiran seperti itulah, maka empat standard berikut ini diajukan kepada masyarakat yang memiliki hak pilih, bukan untuk memperberat proses pilkades, melainkan agar calon terpilih nanti dipastikan sebagai seorang yang layak memimpin dan membangun desa. Ia didaulat karena memenuhi prinsip-prinsip yang diterima akal sehat untuk seorang pemimpin, sesuai konteks zaman.

Pertama, seorang pemimpin desa harus memiliki kualitas moral yang mumpuni, sebab dia adalah perangkat pemimpin terendah yang sungguh dekat dengan masyarakat, dalam sebuah konstruksi bangsa dan negara. Sebagai orang yang berada di tengah masyarakat, kata dan tindaknya didengar dan dilihat dari jarak yang sangat dekat. Bahkan bau kentutnya pun bisa dicium oleh masyarakat. 

Hal itu berarti perilaku hidupnya tak bisa tersembunyi. Dan oleh karena itu, masyarakat pemilih harus memastikan kualifikasi moral ini, sebelum masuk ke bilik pemungutan suara. Sebab pemimpin desa, dengan kualitas moral rendah, akan sulit untuk memimpin yang dipimpinnya; sulit pula membangun dan memajukan desa, karena ia sendiri bagai duri dalam daging; bagian dari masalah desa yang harus diatasi.

Kedua, selain kualitas moral, seorang pemimpin desa harus dipastikan memiliki kualitas pengetahuan yang mumpuni pula. Penting menakar kualitas pengetahuan ini, karena sejak kementrian desa masuk dalam postur kabinet Presiden Gusdur; bola pembangunan menggelinding bukan lagi di pusaran kota, melainkan ke desa. Desa yang sebelumnya dianggap wilayah pinggiran (perferi), dibaiat Gusdur menjadi pusat pembangunan masyarakat. Pimpronya adalah Mentri Desa, petugas lapangannya adalah Kepala Desa. Konstruski tubuh kabinet seperti ini, terimplementasi pada terbukanyha aliran dana pembangunan untuk menghidupkan urat nadi kehidupan desa.

Orientasi pembangunan yang diarahkan ke desa untuk membangun desa, sejatinya harus ditanggapi dengan perubahan mindset masyarakat desa, bahwa bukan zamannya lagi untuk asal pilih kepala desa. Masyarakat pemilih harus memastikan bahwa calon terpilih memiliki kualitas pengetahuan yang tinggi, supaya bisa membawa masyarakat memasuki masa depan. 

Calon yang memiliki kualitas pengetahuan tinggi juga dimaksud agar ia tidak sekedar diperalat oleh lembaga-lembaga yang lebih tinggi di atasnya demi memapankan kebiasaan buruk yang telah menjadi budaya dalam managemen pemerintahan selama ini.

Dengan kata lain, pentingnya pemimpin desa memiliki kualitas pengetahuan dimaksud agar ia bersama jajaran pemerintah di atasnya sanggup melaksanakan fungsi pemerintahan sesuai undang-undang demi memajukan kehidupan masyarakat, yang secara factual hidup di desa. Atas dasar ini, ide sarjana masuk desa, bukan lagi sekedar sebuah gagasan menggantang asap, melainkan harus menjadi salah satu alasan bagi masyarakat untuk memilih calon.

Ketiga, pentingnya kualitas pendidikan juga dimaksud agar bisa menopang calon dalam mengembangkan kualitas managerial, tata kelola desa. Tak bisa dipungkiri bahwa dengan adanya kementrian desa, peluang untuk membangun desa sangat terbuka. 

Pembangunan desa itu tidak sekedar dimaknai dengan pembangunan jalan dalam desa dengan metode padat karya, melainkan bagaimana me-manage anggaran desa secara bertanggungjawab dalam mengembangkan dan memajukan desa,  baik pengembangan  human resourches, sarana dan pra sarana, maupun pengembangan desa yang berwajah modern. Pengembangan desa dari wilayah wilayah perferi menuju pusat pembangunan manusia, baik dari aspek social, budaya, ekonomi, dll; itu butuh kualitas managerial yang bersumber pada kualitas pengetahuan.

Keempat, kualitas moral, pengetahuan dan managerial, harus ditopang pula oleh kualitas social. Sebab bagaimanapun, calon diampuh bukan untuk memimpin kambing atau sapi, bukan pula untuk memimpin keluarga dan komunitas sukunya. Ia diampuh untuk memimpin manusia yang memiliki aneka latar belakang, maupun pilihan-pilihan. Dalam kondisi seperti ini, kualitas social perlu dimiliki agar dalam kebergamaan, terbangun kebersamaan untuk membangun dan memajukan desa. 

Empat standard kualitas personal ini perlu dikritisi oleh masyarakat pemilih, agar pilkades bukan sekedar siklus demokrasi tanpa makna, melainkan mement periodic menuju dunia baru; melepaskan ketertinggalan, meraih kemajuan. *) Pemerhati Masalah Sosial Politik, Tinggal di Bintan

Post a Comment for "Menyambut Pemilihan Kepala Desa Mahal (bagian 2), Penting mempertimbangkan Kualitas Personal Calon "