Faktor Ekonomi, Anak Nelayan di Lembata Gagal dalam Seleksi Akademi Sepak Bola
Abdulgani Bersama Ayahnya |
RAKATNTT.COM - Abdulgani, nama yang tak asing dan sudah cukup populer dalam dunia
sepak bola di Nusa Tenggara Timur, khususnya Kabupaten Lembata. Alumnus MAN Kedang,
Kecamatan Buyasuri ini memiliki kisah sedih dan menyakitkan selama
perjuangannya menempuh pendidikan sepak bola di Makassar, Sulawesi selatan. Ia
adalah putra dari Bilhaludin Muhammad Said, salah seorang nelayan sederhana
asal Desa Wowong, Kecamatan Omesuri, Lembata.
Selama
kurang lebih 11 bulan lamanya, Abdulgani bergabung dalam Alfatih 22 Foot Ball
Academy Makassar. Masuk ke akademi sepak bola ternama ini, Abdulgani dilatih
keuletan dalam memainkan bola sebagai pemain depan. Menurutnya, minat sepak
bola bertumbuh sejak umurnya masih belia. Ia juga bergabung dalam salah satu
klub lokal di Lembata yakni Badai Uyelewun. Bukan hanya itu, ia juga dipilih
untuk menjadi salah satu pemain Persebata Lembata. Fisik dan kelincahannya
membuat Abdulgani dilirik oleh pelatih Badai Uyelewun untuk kemudian
mengantarnya ke Makassar.
Walaupun
usahanya untuk masuk ke akademi sepak bola sudah tercapai, Abdulgani dan Bil,
nama pendek ayahnya mengisahkan perjuangan mereka yang cukup pahit menyayat
hati, Selasa (25/1/2022). Menurut Abdulgani, selama di akademi, biaya hidup dan
segala kebutuhan sangat mahal, sebulan bisa mencapai empat juta rupiah. Namun,
tidak berbanding lurus dengan pelayanan, misalnya makanan dan latihan yang
melebihi kemampuannya sebagai seorang anak muda. Ia juga pernah mendapat
perlakuan tidak adil dari pembesar di Alfatih 22 Foot Ball Academy.
“Waktu
itu bapa utang jadi mereka pernah paksa saya tanda tangan dengan isinya supaya
saya tidak boleh pulang sebelum bapa bayar utang. Padahal waktu itu saya sudah
jelaskan kalau itu tugasnya bapa, saya harus pulang bantu bapa cari uang,”
ungkapnya. Lebih dari itu, ketika Lembata dilanda badai Seroja yang juga
berdampak pada banjir di desa Wowong, para pengurus di akademi tetap memaksa
Abdulgani untuk segera melunasi utang tersebut.
Sementara
itu, Bil, sang nelayan dari Desa Wowong menjelaskan, ia pernah berdebat dengan
pengurus akademi yang memaksa anaknya untuk tanda tangan perjanjian tersebut. Ia
bahkan mengatakan kepada mereka, jika tetap memaksa anaknya menandatangani
surat perjanjian, ia akan melaporkan masalah ini ke polisi.
Lari dari Bali ke Makassar
Selain
mengikuti latihan sepak bola di Makassar, Abdulgani juga pernah diutus bersama
teman-temannya untuk berlatih di Bali. Biayanya juga tetap mahal dan pelayanan
memprihatinkan. Justru karena tidak tahan dengan situasi memprihatinkan di
Bali, Abdulgani bersama dua temannya melarikan diri pulang ke Makassar tanpa
pemberitahuan resmi kepada pembesar di akademi sepaka bola tersebut.
Menurut
Abdulgani, selama di Bali, ia pernah bermain bola bersama klub Persikaba Badung
yang sudah masuk level liga tiga. Kebahagiaan tersebut, sekonyong-konyong pupus
karena kewalahan biaya dan pelayanan yang tidak memadai. Menumpang Kapal Feri,
ketiganya menyeberang kembali ke Makassar setelah sebelumnya menumpang di
sebuah rumah milik orang baik dan tulus di Bali.
Cari Uang di Laut dan Tanam Terung 3000 Pohon
Demi
menunjang cita-cita sang buah hati, Bil, sang nelayan itu rela membanting
tulang dan menguras tenaga. Ia masuk sawah, menanam 3000 terung untuk berbisnis
sayuran dan buah-buahan. Selain itu, ia kerja kopra dan akhirnya kembali ke
laut menjadi nelayan usai air di kebun sayurnya macet. Lebih lagi, dua pick up
dan satu truk miliknya telah ia jual habis untuk membiayai kebutuhan Abdulgani
di Makassar.
Walaupun
demikian, semua itu sia-sia belaka, sebab kini Abdulgani sudah kembali ke
Wowong. Selain itu, Bil menuturkan kalau sebagian uang dari hasil penjualan
pick up dan truk masih berstatus utang dari tangan para pembeli. Sungguh, ia
mendapat masalah berlipat-lipat. Namun, Bil tetap tabah walau bercampur kecewa
dan menyesal. Mengapa tidak, jika dikalkulasi, sudah sekitar 100 lebih juta
yang ia korbankan demi sang buah hati.
Dalam
sela-sela diskusi bersama Bil dan Abdulgani, kedua orang hebat tersebut juga
mengeluh karena tidak mendapat perhatian dari Pemerintah Lembata, padahal
Abdulgani pernah membela Lembata dan namanya juga dipilih untuk bermain tingkat
provinsi NTT. Namun, Askab Lembata tidak mengurusnya. Bahkan, ia pernah membela
Lembata saat bertanding di Ende, Flores dan hanya diberikan uang ongkos pulang
ke Lembata sebesar Rp. 200.000.
“Waktu
itu ketua Askab janji kalau setelah dia lantik baru dia panggil kami semua
pemain datang untuk dapat hadiah tapi sampai sekarang tidak ada kabar,” ungkap
Abdulgani kecewa berat.
Tidak Bangun Rumah demi Sepak Bola
Sungguh
luar biasa kisah Bil dan Abdulgani. Bil sebagai ayah sangat mencintai putranya.
Karena itu, segala harta ia habiskan untuk menunjang cita-cita putranya dalam
dunia sepak bola. Bahkan lebih luar biasa, ia sampai-sampai lupa membangun
rumah layak huni bagi keluarga karena semua biaya ia pertaruhkan untuk
Abdulgani.
Usai
Abdulgani gagal dalam menuntut ilmu di akademi sepak bola, keduanya kembali ke
laut, sumber hidup keluarga. Abdulgani menemani sang ayah mengarungi arus laut
Sawu dan menaklukkan angin badai yang merongrong perahu mereka. Kini, keduanya
bertekad untuk memulai hidup yang baru, salah satunya membangun rumah layak
huni untuk keluarga.
Menjadi
nelayan adalah pekerjaan utama Bil dan Abdulgani membantunya sebagai pemberi
energi tambahan. Akhirnya, Abdulgani bertekad untuk melanjutkan kuliahnya nanti
di kota Makassar. (Rian)
Post a Comment for "Faktor Ekonomi, Anak Nelayan di Lembata Gagal dalam Seleksi Akademi Sepak Bola"
Komentar