Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Benarkah Orang Eropa Berasal dari Gunung Uyelewun di Kedang, Lembata?


Gunung Uyelewun, Kabupaten Lembata, NTT

RAKATNTT.COM – Sistem pewarisan secara oral atau lisan, bagi orang Edang (Kedang) di Kabupaten Lembata, NTT, diyakini sebagai sebuah kebenaran. Maka, setiap cerita sejarah atau warisan yang keluar dari mulut para tetua adat Kedang selalu dihormati, dan diwariskan terus. Salah satu bentuk warisan lisan yang masih hidup hingga saat ini ialah silsilah orang Kedang. Silsilah ini menjadi satu bentuk warisan dari Leluhur yang terus dijaga, dihafal oleh generasi penerus. Salah satu tantangan besar yang menghambat proses pewarisan silsilah orang Kedang yakni nama lokal orang Kedang sudah jarang dipakai.

Zaman kini, orang Kedang sudah mulai akrab dengan nama yang dibawa agama, misalnya Yohanes, Lukas, Abubakar dan lain-lain. Pemberian nama yang didominasi oleh agama – entah berasal dari mana – ini lambat laun akan menghilangkan nama lokal yang diwariskan oleh Tuan Wo’ (Leluhur) Kedang sebagaimana yang ada dalam daftar silsilah. Nama-nama itu, misalnya Peu, Oro, Beni, Baran dan lain-lain – dianjurkan agar nama agama diikuti nama lokal, misalnya Yohanes Robi.

Terlepas dari salah satu tantangan zaman tersebut, ada hal unik dalam silsilah orang Kedang yakni keyakinan bahwa umat manusia berasal dari puncak gunung Uyelewun. Hal ini dapat digambarkan dalam silsilah Kedang yakni tujuh anak Lewun yang ada di antaranya bermigrasi ke belahan dunia lain. Tujuh bersaudara tersebut yakni Eye’, Woka, Gaya, Raya, Beha’, Uyo, Tanah. Mereka menghuni puncak gunung Uyolewun kemudian melakukan migrasi, ada yang diyakini ke Eropa, China dan lain-lain; ada pula yang menjelma menjadi tumbuh-tumbuhan.

Misalnya menurut R.H. Barnes dalam bukunya Kedang: a Study of The Collective Thought of an Eastern Indonesia People (London: Oxford, 1974) menegaskan Raya berasal dari kata rai yang berarti banyak atau kaya. Maka, dalam keyakinan orang Kedang, Raya bermigrasi ke China, menjadi pedagang yang kaya raya. Selain itu, eye’ (secara harafiah berarti semut hitam) bermigrasi ke Afrika, Beha’ ke Eropa, Woka menjadi tumbuh-tumbuhan yang kini disebut Woka bareno, Uyo melahirkan orang Kedang dan sekitarnya.

Dari silsilah seperti itu, orang Kedang yakin bahwa gunung Uyelewun (Dari kata Uyolewun) adalah tempat pertama (taman Eden) asal-usul umat manusia di dunia. Uyolewun selain sebagai nama Leluhur, juga bisa dianalisis berdasarkan bahasa. Uyo (Uya: hujan); Lewun (Lewo/Leu: Kampung), maka Uyolewun/Uyelewun bisa berarti hujan dan kampung atau tanah air (pendapat ini diambil dari Rezak Wulakada). 

Tentu secara biologis atau pembuktian ilmiah belum diratifikasi bahwa orang Kedang sedarah dengan orang Eropa, China dan Afrika tetapi dari warisan tersebut, ada nilai-nilai positif yang perlu digali dan dipelajari. Sebab, mitos, legenda, dongeng memiliki relevansinya dengan konteks hari ini. Selain keyakinan yang diwariskan secara oral, ada nilai inklusivitas yang perlu didalami misalnya tentang toleransi lintas batas.

Toleransi Lintas Batas

Kata toleransi ramai dibicarakan jika orang membahas relasi antaragama, di Indonesia misalnya. Namun, sesungguhnya toleransi mesti lebih luas dari sekadar omong agama yakni toleransi lintas batas, entah antaragama, negara, suku, pendidikan, status sosial dan lain-lain. Hal inilah yang coba digali dari silsilah orang Kedang. Keyakinan bahwa ada saudara-saudara dari Uyolewun yang bermigrasi ke belahan dunia lain, sesungguhnya mau mengajarkan kepada orang Kedang bahwa semua umat manusia itu bersaudara. Karena itu, saling menghormati, terbuka, saling mengasihi seperti saudara kandung sendiri adalah hal yang mutlak. 

Orang Kedang mesti melihat yang lain sebagai saudaranya sendiri yang lahir dari satu kampung (Lewun/Leu). Selain membangun toleransi dengan sesama manusia, toleranis juga mesti dibangun antara manusia dengan tumbuh-tumbuhan. Dalam silsilah Kedang, Woka Lewun menjadi tumbuh-tumbuhan, maka saudaranya orang Kedang bukan hanya sesama manusia melainkan juga ciptaan Tuhan yang lain yakni pohon-pohon hijau. Karena itu, menjaga hutan, tidak tebang pohon sembarangan adalah bagian dari rasa toleransi, rasa sayang terhadap saudara tumbuh-tumbuhan. Dahulu, biasanya saat menebang pohon atau membuka kebun, biasanya ada ritual yang dilakukan sebagai bentuk rasa hormat terhadap pepohonan atau hutan.



Nilai-nilai kehidupan tersebut mesti dipahami oleh orang Kedang khususnya generasi milenial, Z dan Alfa. Sebab, seringkali intoleransi, rasisme masif datang dari pemahaman generasi Kedang zaman kini karena identitas budaya lokal tidak lagi menjadi pegangan. Orang sudah mulai berpikir bahwa budaya lokal sudah saatnya ditinggalkan – lalu maunya agama yang paling benar atau? Orang sudah perlahan-lahan apatis dengan warisan Leluhur, khusunya silsilah, ini bisa juga terindikasi ketika nama lokal Kedang tidak lagi dipakai menjadi identitas dalam pemberian nama pada bayi yang baru lahir.

Mendalami warisan budaya lokal mesti menjadi kewajiban generasi penerus Kedang. Sebab budaya menyimpan banyak nilai positif untuk menopang kehidupan yang lebih harmonis. Catatatan kritis yakni budaya itu hasil refleksi manusia. Artinya, ia dinamis, boleh dikritik jika tidak relevan. Demikian pun agama bukanlah institusi yang mutlak benar, maka perlu dikritik. (Admin)


1 comment for "Benarkah Orang Eropa Berasal dari Gunung Uyelewun di Kedang, Lembata?"

  1. Ulasan yang luar biasa. Kami tunggu tulisan berikutnya

    ReplyDelete