Menuju Tanjung Leur di Ujung Timur Lembata: Antara Surga dan Neraka
![]() |
Pohon Leur Terancam Punah |
Beberapa waktu lalu,
saya dengan salah seorang teman, Gervas Lolon Rain, bertualang ke sana. Sekitar
satu jam lebih perjalanan. Jalannya rusak berat dan berkelok-kelok. Bebatuan
berukuran kecil pun besar berserakan di tengah jalan menghambat laju sepeda
motor. Saya membayangkan betapa sulitnya penduduk di Desa Tobotani tatkala
mengadakan perjalanan ke Weirian.
Namun demikian,
penduduk Tobotani tetap betah menetap tetap di kampung halaman mereka yang
letaknya tepat di ujung timur pulau yang dahulu kala dikenal dengan nama
Lomblen ini. Di Tobotani, kita juga akan disuguhkan pemandangan alam yang
begitu memesona, salah satunya Tanjung Leur. Hasil alamnya sehat-sehat, apalagi
kalau bicara soal kacang hijau dan ubi-ubian; itu Tobotani tempatnya, yang lain
palsu.
Pasir putih, ombak laut
Sawu bergulung-gulung menciptakan keindahan, ada pohon-pohon Leur yang kini
terancam punah karena abrasi pantai. Lebih dari itu, di ujung tatapan mata ke
arah timur, beberapa daratan atau pulau milik Kabupaten Alor berbaris rapi. Ada
pulau Kangge, Rusa dan pulau Batang yang menurut penuturan warga setempat
merupakan daratan sisa dari pulau Lepan Batan yang pernah ditimpah musibah.
![]() |
Gervas Lolonrian Menikmati Serius Alam Tanjung Leur |
Pulau Lepan Batan ini juga
menjadi salah satu tempat asal sebagian penduduk Lembata saat ini. Ya, kisah
sejarahnya seperti itu. Katanya perpindahan nenek moyang mereka ke Lembata
dipaksa oleh musibah tsunami besar yang melanda Lepan Batan. Kurang tahu waktu
tepat terjadinya bencana itu.
Tak jauh dari situ, ada
beberapa pekuburan anonim. Bulu kuduk terasa berdiri, apalagi siang itu, hanya
kami berdua, saya dan Gervas. Di Tanjung Leur, tanahnya amat rata seperti
sebuah lapangan terbang besar. Sekali lagi, sangat rata.
“Ini kalau jadi
lapangan terbang cocok sekali le,” ungkap Gervas yang kini masih menimbah ilmu
di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, Maumere.
Pada hamparan tanah
yang rata itu, berdiri pula rerumputan liar, makanan sehat bagi sekelompok
kambing, sapi dan kuda. Tersedianya makanan yang cukup lengkap seperti itu
membuat para peternak di sana tak terlalu kewalahan mencari makanan untuk
ternaknya. Namun, susahnya ialah tersedianya air yang cukup.
Air bersih adalah salah
satu masalah yang ada di Tobotani dan sebagian besar wilayah Buyasuri lainnya. Bagian
pedalaman wilayah Buyasuri misalnya, selalu menyediakan bak penampung air hujan
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga setiap hari.
Pukul 15.00 Wita, saya
dan Gervas beranjak meninggalkan kenyamanan di Tanjung Leur, Desa Tobotani
menuju Weirian dan selanjutnya kembali ke Leuburi, salah satu Desa di bagian
pesisir Buyasuri, Kedang, Lembata. (RO/Red)