Di Hadapan Tamu Terhormat, Tuak Bukan Barang Haram
![]() |
Warga Kedang Menyuguhkan Tuak kepada Penjabat Bupati Lembata, Marianus Jawa di Angar Laleng, Desa Mahal II, Jumat (8/7) |
Namun, hingga kini, tuak masih menjadi minuman
bernilai “kudus” pada momen-momen tertentu yang juga sangat penting, katakan
saja acara adat penjemputan tamu agung. Bupati, Camat dan orang-orang besar
lainnya terkategori sebagai tamu agung.
Pada Jumat (8/7) di lokasi pantai Angar Laleng, Desa
Mahal II, Kecamatan Omesuri, saya menyaksikan betapa antusiasme warga amat menggebu-gebu
tatkala menjemput Penjabat Bupati Lembata, Marianus Jawa. Kunjungan dalam
rangka pelantikan BPD Desa Mahal II periode 2021/2027 dan BPD PAW Desa Normal
dan Nilanapo periode 2019/2025 ini didahului dengan penjemputan a la adat-kebiasaan orang Kedang
(Edang).
Dimulai dengan sapaan adat dengan bahasa yang amat
puitis meletus lancar tanpa sendatan secuilpun dari mulut sang molan, Lama Kiri
Hobamatan. Dilanjutkan dengan pengalungan sebagai tanda warga menerima mereka
untuk masuk dan tinggal bersama warga di sana.
Lebih lanjut
disuguhkan juga sirih pinang, rokok dan juga
tuak putih sebagai minuman resmi tatkala menjemput tamu agung.
Mengapa harus tuak? Ini sebuah pertanyaan yang
membuat orang bingung untuk menemukan jawaban yang valid. Mengapa bukan air
jenis lain? Padahal tuak bisa memabukkan. Untuk menelusuri jawabannya, tentu
sulit tetapi yang pasti dan tak terbantahkan, tuak adalah minuman khas, minuman
kebanggaan pada momen seperti itu.
Pada momen penjemputan tamu agung, tuak tidak
dilihat sebagai minuman yang haram alias memabukkan tapi sebagai tanda
persahabatan dan keterbukaan hati yang tulus. Tuak tidak memabukkan dalam
konteks ini, karena dikonsumsi hanya sedikit bukan sebanyak satu jeriken.
Ketika tamu sudah menerima suguhan tuak putih, maka
pintu pun dibuka dan tamu bersangkutan diterima sebagai saudara sendiri. Bunyi kong
bawa – gong gendang – bertalu-talu mengiringi tarian hedung huri’ yang dibawakan oleh ino-ino Edang dengan sentakan kaki yang serasi dan indah. Dua sosok
lelaki berbadan kekar dengan peda’ lota’
(parang adat) dan perisai tampak semangat menggoyangkan badan dan sentakan kaki
penuh semangat dengan suara, sa’ sa’ sa’.
Tamu pun dipersilahkan untuk masuk ke ruang pertemuan, rumah persaudaraan.
Kembali lagi ke atas, bukan hanya tanda persahabatan
dengan tamu agung, melainkan pada konteks lain, misalnya acara adat Edang
seperti poan kemer pun tuak tetap di
depan, bukan fanta, coca cola atau ale-ale. Tuak juga menjadi minuman yang
menyatukan relasi manusia dengan para leluhur yang sudah di alam lain. Mengapa
harus tuak? Jawabannya, ya harus tuak!
Yang pasti, tuak bukan untuk mabuk-mabukkan
melainkan untuk persahabatan. Tanpa tuak, barangkali suasana persahabatan itu
belum terasa akrab dalam konteks adat-budaya Edang di Kabupaten Lembata. Namun,
nama baik tuak menjadi buruk (dien
menjadi daten) tatkala manusia
memanfaatkannya hanya untuk hedonisme berlebihan bahkan berujung percekcokkan.
(RO/Red)