Pentas Teater di Harnus, SMAK St. Yakobus Rasul Lewoleba Sampaikan Kritik Lewat Panggung
Salah seorang yang terlihat
serius membereskan lighting mulai
bercanda dengan logat khas Lewoleba. “Biasanya tanggal satu November tu hujan
le,” ungkapnya sambil tersenyum kecil.
Matahari yang sedari
siang benderangkan cahayanya mulai redup dan perlahan dikuasai oleh awan tebal
yang pekat. Rintik hujanpun mulai jatuh perlahan tapi tak memberi tanda
berhenti.
“Pakai dukun saja,
kasih doi 50 ribu dia beli peralatan untuk tahan hujan,” ungkap salah seorang
yang lain penuh percaya diri. Rupanya ilmu tahan hujan juga dimiliki oleh orang
Lembata.
Sore itu agak aneh
memang. Di tengah kota Lewoleba, hujan turun dengan cukup deras. Namun, di
lapangan Harnus, rintik hujan tak berlangsung lama. Barangkali benar, ini semua
karena ada pawang hujan.
“Okelah, atur saja
yang terbaik, intinya pentas teater malam ini harus jadi,” ungkap salah seorang
guru yang mengajar di SMAK St. Yakobus Rasul Lewoleba.
Sekitar pukul 18.00
Wita, hujan yang rintik berhenti jatuh. Para tamu undangan mulai tunjukkan
batang hidungnya di lokasi pementasan yang sudah disiapkan oleh tuan pesta. Ada
dari kalangan pejabat dalam lingkup Pemerintah Kabupaten Lembata, dari Kantor
Kementrian Agama Kabupaten Lembata, dari Madrasah Aliyah, Lembata Accoustic,
Hip-hop Lembata Foundation (HLF) dan
juga tamu undangan lain. Semuanya datang dengan membawa senyum yang sama.
Kegiatan pentas pun
dimulai dengan didahului beberapa sambutan. Kegiatan ini dibuka secara resmi
oleh Penjabat Bupati Lembata, Marsianus Jawa yang diwakili oleh staf ahli.
Pentas pun dimulai.
Kritik Sosial untuk Lembata
Dalam sebuah monolog
berjudul “Antara Cinta dan Agama’ terbersit kritikan sosial yang menusuk sampai
ke jantung.
Maria, tokoh utama
dalam lakon monolog ini, mengisahkan bahwa pernikahannya dengan Lamber, kekasih
palsu yang dijodohkan ayahnya ibarat pulau cantik Awololong yang diperkosa
beton-beton besar atas nama pembangunan yang kini bermasalah karena uang.
Ia mengibaratkan
dirinya sebagai barang dagangan yang seenaknya diperjual-belikan dengan aturan
hukum rimba.
Aku seperti pertamax dan pertalite di Lembata yang
diperjual-belikan tanpa kontrol ketat dari aparat penegak hukum. Aku seperti
kapal pinisi yang dibeli dengan harga mahal tapi tak digunakan semestinya,...
Suara Maria menggema
di atas panggung pementasan.
Kritik sosial yang
dibangun di atas panggung merupakan cara kreatif yang diciptakan oleh anak-anak
SMAK St. Yakobus Rasul Lewoleba sebagai salah satu jalan menyampaikan keresahan
dan aspirasinya sebagai warga negara.
Lebih lanjut, dalam teater
‘Chaos’ menggambarkan suasana kacau, tak terurus yang ada di Lembata maupun
Indonesia secara lebih luas. Di dalamnya ada masalah pembunuhan, korupsi,
bencana alam dan sebagainya.
Kritik-kritik
sosial-politik lewat seni panggung memberi kesadaran kepada para penonton bahwa
Lembata sedang tidak baik-baik saja.
Baru-baru ini,
Kejaksaan Negeri Lembata sudah tetapkan 3 tersangka kasus kapal pinisi, juga
beberapa kasus lainnya yang telah merugikan keuangan masyarakat Lembata.
Maksud lain dari
pementasan ini tentu saja membuka cakrawala berpikir bagi peserta didik agar
tidak berpikir “lemah lembut” atau mengikuti begitu saja kemauan para elitis. Peserta
didik mesti berpikir progresif dan melampaui spiritualitas burung beo yang dipelihara dalam gedung-gedung megah.
(RO/Red)
Post a Comment for "Pentas Teater di Harnus, SMAK St. Yakobus Rasul Lewoleba Sampaikan Kritik Lewat Panggung"
Komentar