Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Tradisi Pendidikan dan Karakter Anak dalam Kearifan Lokal Kedang

 

Anak-anak Kedang memainkan musik tatong (sumber foto facebook)

A.    Dasar Pemikiran

Karakter dan kepribadian setiap orang menggambarkan budaya dan adat istiadatnya. Setiap orang dikenal dari cara dan tatakrama budayanya. Setiap orang disebut beradab jika memiliki atau menganut pola hidup yang beradab. Budaya peradaban memang beragam dan berbeda-beda pada setiap etnis dan suku bangsa di Indonesia.  Dari keberagaman budaya inilah tersimpul sekian banyak pola peradaban sebagai bangsa dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.

Etnis Kedang adalah sebuah rumpun suku bangsa yang hidup mendiami wilayah bagian Timur Pulau Lembata. Khazanah luhur yang merupakan warisan nenek moyang  dikenal sejak awal mula sebagai doktrin atau ajaran agama bumi yang dikenal sebagai Kepercayaan Edang Wela. 

Kata Kedang itu sendiri ditelisik berasal dari kata dasar “Edang” (Edang Wela) dan menurut versi lainnya, meyakini kata Kedang berasal dari kata Edang yang merupakan nama alat musik tradisional yang dibuat dari serpihan bambu yang dimainkan dengan mengandalkan nafas dan kelihaian lidah, sambil ditabuh pelahan dengan jari tangan.  Etnis Kedang memiliki bahasa dengan gaya dialek yang unik. 

Banyak menggunakan tanda ghotal atau tanda apostrom(‘) di tengah dan diakhir kata.  Adapun bunyi atau intonasi penekanan bunyi pada lidah dan tenggorokan yang dapat menimbulkan tekanan bunyi khas dengan mengandung maknanya berbeda-beda. 



Dari segala keunikan budaya dan dialek yang khas ini, terdapat sebuah kearifan lama yang cenderung hilang, yang dipandang perlu oleh penulis untuk ditulis sebagai referensi pelestarian budaya ke depannya. Tradisi khas pendidikan moral anak dan pembentukan karakter beradab, telah menjadi barang langka di zaman ini. Tradisi ini cenderung terkikis oleh gaya hidup modern dan pengaruh teknologi digital. Artikel ini juga diharapkan dapat memperkaya pengetahuan Mulok (Muatan lokal) untuk kepentingan guru-guru Mulok di sekolah-sekolah di Kedang. 

Adapun kearifan tradisi pendidikan dan pembentukan karakter anak dalam hidup berbudaya, beradat dan beradab, lazim dinamakan Tutu’ tuben tehe’ hoing  (mendidik dan mengajarkan).

B.     Pembahasan

Berikut bentuk dan macam praktek tradisi pendidikan dalam kehidupan komunitas Kedang, antara lain:

1.   Bote Pape Pung Lolo’,  Kaban Ede’ Naban Laleng (Menjalin Kedekatan Bathin Sejak Lahir)

Orang Kedang zaman yang lalu, meyakini bahwa anak yang dilahirkan akan dekat dalam kasih sayang orang tua, karena senantiasa mengalami perlakuan yang penuh kasih dari orangtuanya. Tradisi lama mengajarkan agar anak yang baru dilahirkan perlu diberi perhatian khusus, terutama emosional keakrabannya pada orang tua.

Anak yang menangis atau merajuk perlu di gendong dan ditimang-timang (bote pape pung lolo’), dan jika hendak tidur sebaiknya diperlakukan nyaman dalam gendongan yang dibentuk dari kain sarung, kemudian dikaitkan ke bahu ayah atau ibunya, sambil digoyang diiringi alunan senandung khas (kaban ede’ naban laleng). 

Masih segar dalam ingatan di mana generasi lalu menikmati perlakuan yang penuh kasih ini. Sekarang di zaman ini, perlakuan penuh kasih sebagaimana tradisi lama tergantikan dengan ayunan yang digantung bebas dan alunan musik dari handphone dan televisi.  Anak seakan dijauhkan dari dekapan kasih orang tua sejak masih bayi.  Para generasi tua di Kedang, kemudian berpendapat bahwa anak yang tidak mengalami secara intens perlakuan kasih yang istimewa semenjak bayi, cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak yang kurang mengasihi orang tuanya.



2.  Kaong Kete’ Ede’ Sele (Menimang dengan Senandung Kasih)  

Masih terbayang dalam ingatan, senandung kasih sang ibu, di tengah malam tatkala sang bayi menangis. Orang tua Kedang zaman dulu, mewariskan sebuah khazanah luhur dalam seni dan lagu. Anak-anak dipapah dalam pangkuan ibu, digoyang-goyang sambil duduk atau berdiri, dengan dan dihibur dengan senandung khas yang mengandung makna dalam dan penuh kasih.

3.   Ka Tutu’ Min Tehe’(Menasihati dan Mengajarkan)

Tradisi lama yang wajib diamalkan dalam keluarga adalah rutinitas makan bersama. Orangtua akan merasa ada yang kurang, jika semua anak-anaknya tidak sempat makan bersama. Para ibu sibuk mencari anak-anaknya yang sedang bermain atau ada di luar rumah, untuk pulang dan makan bersama. 

Anak-anak tidak dibiarkan mengatur waktu makannya sendiri-sendiri. Terutama anak-anak yang masih kecil. Adapun kebiasaan orangtua, memanfaatkan acara makan bersama ini untuk menasihati dan memberikan pengajaran tentang kehidupan yang beradat dan beradab. Kegiatan Ka tutu’ min tehe’ ini biasanya dilakukan pada waktu makan malam.

4.  Kaleka Bote Bei (Adab Pelayanan)

Setiap generasi Kedang tentu mengalami hal ini.  Adat pelayanan seorang anak kepada orang tuanya dan semua orang yang lebih tua merupakan pendidikan dasar akan ketaatan dan kepatuhan. Anak-anak ditugaskan untuk melayani minuman orangtua saat makan bersama dan pesta atau acara adat.

Budaya minum Tuak (minuman dari pohon lontar) merupakan minuman adat khas Kedang yang rutin ada pada setiap acara kebersamaan. Anak-anak yang ditugaskan untuk melayani orangtua, biasanya duduk di tengah bale-bale bambu dalam Ebang (rumah adat khas Kedang).  Setiap pelayan harus lihai menakar ukuran minuman agar tidak tekor hingga penghabisan.

Keunikan khas Kedang dalam acara makan bersama, baik waktu pesta atau kebersamaan biasanya adalah memulai makan dan minum harus serentak bersama dan menghabiskan atau menyelesaikan minuman harus serentak pula (ka hama min hama, peling hama bunung hama). 

Merupakan kelalaian dalam doktrin norma adat Kedang, jika seseorang dengan sengaja mendahului yang lain untuk memulai atau menghabiskan makanan dan minuman.  Keyakinan lama Kedang, melarang hal ini, karena dipandang sebagai tanda keserakahan dan ingat diri.

5.    A  Uda Tin Doha, Nimon Oi Palan Kare (Etika Keramahan Dan Saling Berbagi)

Suku bangsa Kedang sangat terkenal dengan keramahannya.  Sikap khas ini, tidak saja pada sesama kerabatnya tetapi juga bagi semua orang. Orangtua Kedang menghayati bahwa hidup penuh toleransi, ramah dan murah hati adalah kunci keharmonisan dan kedamaian. Kebiasaan a uda tin doha adalah karakteristik manusia yang murah hati.

Orang Kedang akan merasa bersalah atau malu, jika tidak mengajak (doha) orang di sekitarnya ketika mulai atau sedang makan. Setiap anak selalu diajarkan untuk mematuhi doktrin-doktrin sederhana ini.  Demikian juga tegur-sapa menjadi etika wajib bagi orang Kedang, apabila berpapasan dengan orang lain atau ada orang yang kebetulan lewat di depan rumahnya atau tempatnya berada saat itu.

Budaya tegur-sapa (nimon oi palan kare) merupakan salah satu ciri khas masyarakat adat Kedang.  Orang Kedang meyakini bahwa, setiap orang adalah baik dan membawa rahmat (ate di’en) dan layak mendapat perhatian secara moral dan kasih persaudaraan. 

6.    Ine Ame Binen Ma’ing, Eho’ Meker Kangaring (Etika Kekerabatan)

Dalam struktur sosial, masyarakat Kedang mengenal beberapa status kekerabatan.  Keluarga dalam garis turunan ibu atau istri disebut Ine ame. Keluarga dalam garis keturunan bapak atau suami disebut Ma’ing. Sedangkan jaringan keluarga yang terjalin karena ibu atau nenek serta bapak atau kakek bersaudara disebut eho’ meker kangaring.



Setiap pemangku status kekerabatan ini, memiliki tugas, kewenangan dan haknya masing-masing. Adapun status Ine ame atau keluarga dalam garis turunan ibu atau istri, merupakan pemangku yang paling disakralkan dalam hukum kekerabatan adat Kedang.  Setiap orang Kedang meyakini bahwa Ine ame adalah pengantara rahmat dari sang Pencipta. Doa dan restunya mampu membawa kemaslahatan bagi hidup kerabat Ma’ing-nya.

Wajib hukumnya kerabat Ine ame, harus dilibatkan dalam suka maupun duka.  Ketika dalam acara suka dan gembira, Ine ame akan memberikan restu dan doanya. Demikian pula ketika dalam duka, Ine ame wajib memberikan restu dan doanya lewat ritus akhir pemakaman. Ritus akhir ini, diyakini mampu melapangkan jalan menghadap sang Pencipta.

7.  Lia Namang Uri Sele (Budaya Seni dan Sastra Lisan yang Unik)

Kekerabatan yang kuat pada awal mula terbina lewat budaya seni, baik pantun, syair, dan tarian. Dialektika social komunitas Kedang menjadi indah karena dirajut dalam syair (uri sele).  Budaya seni yang unik dan satra lisan yang indah ini, kemudian menempatkan komunitas Kedang sebagai kaum yang hidup bersuka ria dan harmonis dalam seni lagu dan tarian (Edang tatong lia namang, peku nureng uri sele). 

8.   E’a Puting Air Maren (Etika Keramahan Pada Alam)

Doktrin kepercayaan lama Edang Wela, mengajarkan pantang larangan pada wilayah atau situs keramat.  Adapun wilayah atau situs keramat ini, umumnya merupakan area tadahan air hujan dan sumber mata air. Orang Kedang zaman dulu, percaya akan adanya tulah atau bencana yang akan ditimpahkan kepada manusia, jika situs-situs keramat ini dirusak atau dinodai. 

Kenyataan hari ini, pantang larang ini dianggap tidak relevan dan kemudian menyebabkan terjadinya tindakan pengrusakan dan penggundulan hutan yang makin masif. Kepercayaan lama Edang wela, meyakini bahwa semua tempat yang disakralkan itu, merupakan tempat tinggal para penjaga alam (Mi'er renga).  Para penjaga alam ini akan murka jika keutuhan ciptaan dinodai dan dirusakan oleh keteledoran manusia. Hubungan manusia dengan alam menjadi doktrin paling sakral dalam keyakinan lama Kedang.

9.     Ola Ka Pai' Min, Bun Tuen La' Kain (Etika Bercocok Tanam yang Ramah Alam)

Orang Kedang zaman dulu, meyakini bahwa alam akan memberi kehidupan jika selalu dihargai dan dihormati. Petani dilarang menebang atau membuka kebun pada area terlarang.  Dalam memastikan salah satu area layak dijadikan ladang, perlu melalui ritus khusus. Petani tersebut akan menancapkan kapak atau parang pada sebatang pohon dalam area tersebut dan melakukan ritus sesuai ketentuan. 

Kapak atau parang yang ditancap, dibiarkan semalaman dan akan dipastikan keesokan harinya.  Jika kapak atau parang tersebut jatuh ke tanah, berarti ada pesan yang tidak membenarkan area tersebut dibuka atau dibabat jadi ladang baru. Demikian juga sebaliknya, jika parang atau kapak tersebut masih tetap tertancap pada pohon, bermakna alam mengijinkan area tersebut dibuka untuk dijadikan ladang baru. Ketentuan bercocok tanam atau berladang sebagaimana ditemukan dalam pola pertanian generasi terdahulu, wajib mengamalkan terasering pada lahannya. 

Adapun pohon- pohon khas yang dipelihara untuk menjaga keseimbangan dan rantai kehidupan. Setiap petani yang hidup dari lahan tersebut wajib menjaga kelestarian makhluk lainnya, seperti burung-burung yang hidup di sekitar wilayah ladang, dilarang untuk menangkap atau membunuh makhluk tersebut meski berupa burung puyu sekalipun.  

C      Catatan Reflektif

Era globalisasi ini membuat kehidupan berbudaya sesuai warisan leluhur sulit mendapat tempat dalam hati masyarakat adat itu sendiri.  Artikel ini sangat disadari masih banyak kekurangan. Penulis dengan berbesar hati menerima kritikan dan saran demi kesempurnaan penulisan ke depannya.  Semoga para pendidik, guru dan para orangtua, menyadari betapa pentingnya budaya lokal Kedang ini dilestarikan.

Biodata Penulis:



Nama Lengkap                      : Emanuel Ubuq

Tempat/Tanggal Lahir         : Lewodawan Kobar, 8 Desember 1972

Umur                                      : 50 Tahun

Nomor HP                              : 0813-3829-3345

 

Post a Comment for "Tradisi Pendidikan dan Karakter Anak dalam Kearifan Lokal Kedang"