Derung, Tradisi Berburu Babi Hutan di Kedang Lembata yang Masih Lestari
RakatNtt.com – Tradisi berburu merupakan sebuah peradaban kuno yang masih eksis hingga saat ini. Berburu dalam sejarahnya lebih dikenal melekat dengan masyarakat nomaden. Ada rupa-rupa hewan buruan tetapi yang paling terkenal yakni babi hutan dan rusa. Tradisi berburu dengan menggunakan senjata tradisional masih eksis hingga saat ini.
Masyarakat Kedang di Kabupaten Lembata pun mengenal
adanya tradisi berburu secara tradisional atau dalam bahasa daerah setempat
dikenal dengan sebutan derung.
Tradisi berburu atau derung dilakukan
oleh sekelompok masyarakat dalam satu kampung tertentu dan pada musim yang tak
menentu. Tidak ada jadwal baku aktivitas derung dilakukan. Namun, sesuai dengan
observasi penulis. Derung dalam tradisi masyarakat Kedang biasanya dilakukan
pada musim hujan. Salah satu alasannya ialah pada musim hujan binatang hutan
seperti babi dan rusa akan keluar dari tempat persembunyiannya dan pergi mencari
makanan termasuk menyerobot kebun warga.
Proses
Derung
Para pemburu sesungguhnya adalah orang-orang yang
mahir menggunakan senjata tradisional yakni busur dan anak panah (wur name’),
parang dan tombak (Peda’ Kala). Para lelaki perkasa tersebut datang dari latar
belakang umur yang tak sama. Ada yang masih muda (20-40 tahun) ada pula yang
terkategori sudah lapuk umur. Walaupun umur menjelang jompo, jiwa ksatria
sebagai pemburu tak pernah mati. Orang-orang tua berjiwa pemburu tetap ikut
bersama para pemburu muda walaupun barangkali tenaga mereka untuk berlari
menaiki perbukitan dan turun ke lembah sudah mulai layu.
Pada dasarnya, tak ada jadwal baku dalam menjalankan
aktivitas berburu di Kedang, Kabupaten Lembata, NTT. Semuanya akan terjadi
hanya bertolak dari faktor kesepakatan. Jika salah seorang pemburu misalnya,
punya keinginan untuk berburu karena mendengar informasi babi hutan atau rusa
sudah mulai menampakaan diri dalam bentuk bekas kaki (lei nuang); maka hal ini bisa
dijadikan sebagai alasan untuk menggerakkan massa menuju tempat perburuan. Artinya,
tradisi berburu merupakan sebuah warisan atas kesepakatan bersama.
Biasanya para pemburu adalah lelaki yang memelihara
banyak anjing pelacak. Saat hendak berburu, anjing-anjing pelacak itu dibawa
serta agar memudahkan para pemburu menangkap mangsa. Biasanya anjing, lantaran
punya daya insting yang tinggi, dibiarkan berlari lebih dahulu ke hutan untuk
membongkar kemapanan para penghuni hutan seperti babi dan rusa.
Jika ada mangsa, maka anjing-anjing itu akan
langsung menangkapnya atau mengejar. Ketika babi atau rusa lari karena dikejar
anjing, maka para pemburu harus siaga, menyiapkan senjatanya agar bidikan bisa
langsung mengenai tubuh mangsa. Ada bidikan yang langsung mengenai sasaran dan
menewaskannya, tetapi ada pula yang tidak langsung menghabiskan nyawa sasaran.
Jika demikian, maka, para pemburu harus mengejar lagi dan membunuhnya entah
dengan memanahnya atau memotongnya menggunakan parang atau disebut sebagai henang. Luka pada tubuh babi atau rusa
yang belum parah, akan dilukai lagi oleh para pemburu lain (henang) agar hewan
tersebut bisa cepat mati.
Menuju
Api Rawa
Setelah berhasil menangkap hewan buruan, maka semua
pemburu yang ikut dalam petualangan tersebut akan berkumpul di sebuah tempat
yang sudah disepakati sebelum berburu sebagai tempat berkumpul yakni api rawa. Di
tempat ini, tubuh babi atau rusa akan dibagikan kepada semua pemburu yang
hadir. Memotong dan membagi tubuh hewan buruan ini harus dilakukan sesuai
aturan adat yang berlaku yakni nulo’ re’.
Tubuh hewan buruan ini tidak boleh dipotong dan
dibagikan di luar aturan adat, maka sang pemanah babi akan menentukan dan
memilih salah satu bentuk nulo’ re’ yang tepat sesuai kebiasaannya. Beberapa jenis
Nulo’ Re’ tersebut yakni Nulo’ Hoda’, Nulo’ Leu Ape, Nulo’ Duli Rian, Nulo’
Duli Utun dan Nulo’ I’a – khusus untuk Nulo’ Leu Ape, wajib dilakukan jika
tempat berburu yakni di Kampung Atanila.
Jika pemanah memilih Nulo’ Hoda’ maka tubuh babi
atau rusa akan dipotong sesuai dengan aturan adat tertentu, demikianpun
beberapa Nulo’ yang lain. Tubuh hewan akan dibagikan kepada sang pemanah, orang
yang membantu menghabiskan nyawa hewan setelah dipanah oleh pemburu yang lain
(henang), yang memikul babi atau rusa menuju api rawa juga semua yang hadir
akan dibagikan bagiannya masing-masing (nae’ nuhu paing weu’).
Setelah mendapatkan bagian masing-masing, tradisi
berburu ini juga membawa nuansa sakralitas tersendiri yakni memberi makan ibu
bumi atau uhe awu’. Orang Kedang
meyakini ada kekuatan dalam tanah yang memberi kehidupan dan dalam konteks
berburu, kekuatan itu memberi hewan seperti rusa dan babi, maka kekuatan ibu
bumi juga mendapat bagian atau Wutu’ Ale.
Yang
Negatif dari Berburu
Hal negatif yang dilakukan oleh para pemburu yakni
membakar hutan atau rumput alang-alang agar babi atau rusa bisa lari
menyelamatkan diri di satu tempat tertentu yang aman. Dengan demikian, para pemburu akan dengan mudah menangkap
hewan-hewan hutan tersebut. Tradisi model ini mesti dikritisi karena merusak
alam. (Rian Odel)
Post a Comment for "Derung, Tradisi Berburu Babi Hutan di Kedang Lembata yang Masih Lestari"
Komentar