Kematian Amo Eman Bokilia dan Refleksi Persaudaraan Generasi Muda Edang
RakatNtt.com – Kasus kekerasan yang berakhir dengan hilangnya nyawa manusia tak dimungkiri sudah banyak sekali terjadi baik di Desa terpencil maupun kota besar. Para pelaku pembunuhan biasanya kehilangan kesadaran normal karena mengonsumsi minuman keras yang berlebihan. Hal ini pula yang terjadi di simpang Hingalamamengi, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT. Eman Bokilia ditikam oleh pelaku yang tidak memiliki nurani kemanusiaan.
Bukan
baru kali ini, beberapa tahun lalu, Antonius Abo, salah seorang pemuda baik
hati dari Desa Mahal juga dihilangkan nyawanya secara terpaksa oleh pelaku yang
berasal dari Desa Panama, Kecamatan Buyasuri. Pelaku bersangkutan kini berada
di jeruji besi.
Selain
dua orang Kedang tersebut, jika ditelusuri lebih ke belakang, diketahui bahwa
pembunuhan model ini sudah banyak terjadi di Kedang yang dikenal masyarakatnya
memiliki budaya persaudaraan yang
tinggi. Lebih miris, pelaku dan korban adalah sama-sama warga Kedang yang
dilahirkan oleh leluhur yang sama. Sampai kapan pertikaian, pembunuhan yang menghilangkan
nyawa generasi muda Edang ini berakhir?
Eman
Bokilia yang dikenal pula sebagai seorang yang baik hati, tak menyangka dirinya
akan kehilangan nyawa. Ia adalah penjaga gawang Persedim yang sudah lama
berperan menghalau bola dari lawan tanding. Kiprahnya tak lagi terlihat, hanya
kenangan yang selalu membekas dan meninggalkan luka bagi keluarga dan
teman-temannya.
Kemarin,
Persedim, melalu Manajer tim, Supriyadi Lamadike meminta kepada pihak
kepolisian agar pelaku dihukum sesuai aturan berlaku. Persedim juga mengutuk
keras aksi pembunuhan ini. Semua ini berjalan pada koridor hukum. Namun, nyawa
manusia tak pernah bisa tergantikan oleh penjara 20 atau 30 tahun.
Budaya Edang dan Kesadaran Kita
Budaya
merupakan kekuatan yang keluar dari dalam diri manusia. Kekuatan itu keluar
dari rasa dan refleksi pikiran yang penuh dengan kebijaksanaan. Rasa persaudaraan
yang tinggi dilengkapi dengan ungkapan-ungkapan lokal yang diwariskan leluhur
Edang sesungguhnya perlu dimaknai dalam konteks kekinian.
Hal
yang miris, aksi pembunuhan oleh sebagian generasi Edang, khususnya pelaku
dianggap sebagai prestasi. Ini miris bukan main. Semakin ia membunuh orang, ia
menganggap diri sebagai jagoan.
Kita
telah mencederai persaudaraan, kita telah memutus tali pengikat sebagai sesama
anak-anak Kedang yang mestinya menjadi agen perubahan. Apakah masih relevan
ungkapan-ungkapan lokal Kedang tentang persatuan, one’ ude’ laleng eha’, tein ude’, dewa’ mawu dll? Apakah
ungkapan-ungkapan itu diwujudnyatakan oleh generasi muda Edang saat ini? Atau karena
faktor keegoisan wilayah dan geng atau kelompok, kita terpaksa bertikai dan
baku bunuh? Sampai kapan semua ini berakhir?
Hilangnya
kesadaran berbudaya kita sebagai sesama orang Kedang mesti diaktifkan kembali. Kita
mesti sadar bahwa kita satu darah, kita satu kodrat sebagai manusia – Atedi’en
herun – orang baik dan manis. Tindakan kekerasan dan menghilangkan nyawa sesama
kita adalah perbuatan tak terpuji. Itu bukan prestasi.
Pada
sisi yang lain, terdapat pula generasi muda Edang berbakat dan punya prestasi
dalam berbagai bentuk. Sebut saja Abdul Gafur Sarabity yang aktif sebagai orang
muda Edang di bidang pengembangan budaya Lembata dan Alor, lihat saja para
penyanyi yang viral di yotube dengan suara-suara merdu misalnya, Doddi Moieha’,
Tania, Abu Lado Purab dan masih banyak lainnya.
Mana
yang harus kita lanjutkan dalam membangun kehidupan kita di Awu’ Edang Ili
Uyeleun? Menjadi agen-agen muda berprestasi ataukah menjadi anak muda yang suka
minum tuak dan membunuh orang? (Rian Odel)