Bicara Tradisi Lisan Edang Lembata Bersama Yohanes Teheq
RakatNtt.com - Syair Lagu
berjudul Toye’ Moleng Pade Laleng
yang diunggah pada kanal youtube Ferdy Chanel merupakan salah satu dari sekian
banyak karya Yohanes Teheq. Lagu ini sudah ditonton sebanyak 72 ribu kali dan
kini dinyanyikan oleh kaum muda Edang, Kabupaten Lembata, NTT. Di balik syair
lagu yang indah bernuansa sastra dapat diketahui pula potensi penciptanya yakni
Yohanes Teheq sebagai salah seorang penutur juga peneliti sastra lisan Edang.
![]() |
Yohanes Teheq (sumber foto: RakatNtt.com) |
Pada kegiatan Sekolah
Lapang Kearifan Lokal di Desa Hoelea II, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata
(22-24 Juni 2023), Yohanes Teheq diberi kesempatan menjadi narasumber lokal
yang berbicara khusus tentang Tradisi Lisan dan Pangan Lokal Edang.
Ia membuka materinya
dengan menjelaskan proses dorong dope’ atau eksodus nenek moyang suku bangsa
Kedang (atau Edang) yang bermula dari puncak gunung Uyelewun. Pada bagian ini,
Yohanes Teheq menjelaskan bahwa mayoritas orang Kedang itu bersaudara secara
genealogis. Hal ini dapat ditemukan dalam susunan atau garis silsilah Keturunan
(Tedu’ Koda Bare Wade’) orang Edang atau orang Kedang.
Selain silsilah
keturunan, terdapat pula beberapa konsep atau istilah persatuan misalnya, ote koda roda ude’-ole wade puan sue; tein
peting lota’ dewa’ howe’ mawu; teyo piling pene polung palan sio wala’ wau
dan seterusnya.
Pada bagian berikutnya,
Yohanes Teheq menceritakan tentang adab hidup nomaden dan berkampung atau dalam
bahasa daerah Kedang disebut dorong dope’
ahe toha. Secara harafiah dapat diterjemahkan demikian, “bereksodus sambil
memperbaiki atau mengatur.” Mengatur di sini dapat berarti membentuk tata cara
hidup, hukum, etika dan lain sebagainya oleh masyarakat Kedang sejak dari
puncak Uyelewun hingga ke kampung-kampung.
Proses eksodus nenek
moyang orang Kedang, sesuai dengan penelitian Yohanes Teheq bermula dari puncak
Uyelewun hingga terakhir pada penetapan kampung-kampung. Secara runut dapat
diuraikan sebagai berikut yakni, Nome
hering tapi hala’ (peradaban awal mula Edang); Awu’ Edang (ulayat komunal); wela
(bentuk kepercayaan kuno); sayin talu
wula lahar loyo; Leu Rian Leu Eho’ (kampung perdana); witing tun ebir wa’ (situs perhentian pertama); koda leu uhe natang (penetapan pusat
ritual dan adab berkampung); sayin bo’
leu bati’ awu’ (kesepakatan pembagian wilayah hidup).
Khusus untuk ini, dikenal
ada tiga pembagian wilayah di kedang yakni pertama, Ili Olong e’a laleng-ning tein rai tari’ wau kapa, dite' apu’ oma’ lehe’
wai’ raha’ (Meluwiting sampai Wa’kio). Kedua, Bohor nui pari te’e – buriwutun maha' ayang utu kopi tumo’ doro
(Wulakada sampai Biarwala). Ketiga. Oro wideng
lapa keda’ – wideng pitu keda’ leme, lolon tola ain bala puhun nubu’ wuan laong,
timu lelu hau’ kae’ (Leuwohung sampai Peuuma).
Menurut Yohanes Teheq
dalam penelusuran sejarah Kedang, ia menemukan bahwa dalam sayin bo’ leu bati’ awu’ seorang manusia dikorbankan yang bernama
Beni Rai.
“Kita makan manusia
untuk sayin ini, jadi tidak boleh dilanggar. Potong kambing saja kita takut
apalagi manusia. Tubar (kepala) sara te’ang, ote’ (rambut) sara meran,” jelas
Yohanes Teheq. Kemudian yang paling terakhir adalah tilo leu pating awu’ (penetapan kampung-kampung).
Untuk diketahui,
Sekolah Lapang Kearifan Lokal difasilitasi oleh Direktorat Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat adat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
RI. Pada kegiatan ini, terdapat beberapa narasumber lokal yakni Agustinus Gehi:
Sistem Budaya Masyarakat Lamaholot; Krisantus Boro: Lahir dan Mati sebagai
Orang Lamaholot; Yohanes Teheq: Tradisi Lisan dan Pangan Lokal Edang; Eman
Ubuq: Kepercayaan Edang Wela dan Manifestasinya dalam Hidup Beradat Komunitas
Edang. (RO)***